TEKS HADITS

عَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قََالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ a يَقُولُ إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ.

Dari Abu Abdillah an-Nu’man bin Basyir RA, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah a bersabda, ‘Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu juga jelas, dan di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang tidak jelas (syubhat), yang tidak diketahui oleh banyak orang. Barangsiapa yang meninggalkan perkara-perkara syubhat dia telah mencari kebebasan untuk agamanya (dari kekurangan) dan ke-hormatan dirinya (dari aib dan cela), dan barangsiapa yang terjatuh dalam perkara-perkara syubhat dia telah terjatuh dalam perbuatan haram, bagaikan seorang gembala yang menggembala (ternaknya) di sekitar daerah terlarang yang hampir saja dia terjerumus ke dalamnya. Ingatlah, bahwa sesungguhnya setiap raja memiliki daerah terlarang, dan ingatlah bahwa sesungguhnya daerah terlarang Allah adalah perkara-perkara yang diharamkanNya. Ingatlah, bahwa di dalam tubuh terdapat segumpal daging; jika baik, maka seluruh tubuh menjadi baik dan jika rusak, maka seluruh tubuh menjadi rusak pula, yaitu hati’.” (HR. al-Bukhari dan Muslim). (Muttafaq ‘alaih: al-Bukhari, no. 52; dan Muslim, no. 1599)

SYARAH

Imam an-Nawawi
Sabdanya,

إِنَّ اْلحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ اْلحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ

“Sesungguhnya yang halal itu sudah jelas dan yang haram itu sudah jelas pula, serta di antara keduanya terdapat perkara-perakara yang syubhat….”

Para ulama berselisih mengenai halal dan haram. Menurut Abu Hanifah RAH, halal ialah apa yang ditunjukkan oleh dalil atas kehalalannya. Sedangkan menurut asy-Syafi’i RAH, haram ialah apa yang ditunjukkan oleh dalil atas keharamannya.

Sabdanya, “serta di antara keduanya terdapat perkara-perakara yang syubhat.” Yakni, di antara halal dan haram terdapat perkara-perkara menyerupai halal dan haram. Ketika syubhat tertiadakan, maka kemakruhannya tertiadakan pula, dan bertanya tentangnya adalah bid’ah. Sebagai contoh, ketika orang asing datang dengan membawa barang dagangan untuk dijualnya, maka tidak wajib membahas tentang hal itu, bahkan tidak dianjurkan, dan dimakruhkan bertanya mengenainya.
Sabdanya,

فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ

“Barangsiapa meninggalkan perkara-perkara syubhat, maka ia mencari keterbebasan untuk agamanya dan kehormatannya.”

Yakni, mencari keterbebasan agamanya dan selamat dari perkara syubhat. Adapun keterbebasan kehormatan, jika ia tidak meninggalkannya, maka kaum yang dungu tidak berhenti menggunjingnya dan menggolongkannya sebagai pemakan barang haram, lalu hal itu mendorong mereka untuk melakukan perbuatan dosa. Disebutkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يَقِفَنَّ مَوَاقِفَ التُّهَمِ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah berdiri di tempat-tempat yang mencurigakan.”*

Dari Ali bin Abi Thalib RA bahwa ia mengatakan, “Hati-hatilah kamu terhadap perkara yang segera diingkari oleh hati, meskipun kamu punya alasan (udzur). Berapa banyak orang yang mendengar perkara kemungkaran, namun kamu tidak dapat mendengarnya sebagai udzur.” Dalam Shahih at-Tirmidzi bahwa Nabi SAW bersabda,

إِذَا أَحْدَثَ أَحَدُكُمْ فيِ الصَّلاَةِ فَلْيَأْخُذْ بِأَنْفِهِ ثُمَّ لِيَنْصَرِفْ

“Jika salah seorang dari kalian berhadats di dalam shalat, maka peganglah hidungnya kemudian pergilah.”**

Hal itu dilakukan agar tidak dikatakan bahwa ia berhadats.
Sabdanya, “Siapa yang jatuh dalam syubhat, maka ia jatuh dalam keharaman,” mengandung dua hal:
Pertama, ia jatuh dalam keharaman, sedangkan ia menyangka bahwa itu bukan suatu yang haram.
Kedua, bisa juga bermakna bahwa ia sudah hampir jatuh dalam keharaman. Sebagaimana dinyatakan, kemaksiatan itu pengantar kekufuran, karena ketika jiwa jatuh dalam perbuatan yang menyeli-sihi, maka jiwa tersebut berjenjang dari suatu mafsadah ke mafsadah[/i lainnya yang lebih besar dari sebelumnya.
Konon, itulah yang diisyaratkan dengan firmanNya, “Dan mereka membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.” (Ali Imran: 112)

Maksudnya, mereka bermaksiat secara bertahap hingga membunuh para nabi saw. Dalam hadits disebutkan,

لَعَنَ اللهُ السَّارِقَ يَسْرِقُ اْلبَيْضَةَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ وَيَسْرِقُ اْلحَبْلَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ.

“Allah melaknat pencuri yang mencuri telur lalu tangannya dipotong, dan mencuri tali lalu tangannya dipotong.” Yakni bertahap dari telur dan tali hingga nisab pencurian.

Dan kata “Hima” ialah apa yang dipagari orang lain berupa rumput di tanah umum. Siapa yang menggembala di sekitar pagar maka ternaknya nyaris masuk di dalamnya, lalu makan dalam apa yang dipagari orang lain tersebut. Berbeda, jika ia menggembalakan untanya jauh dari pagar.

Ketahuilah bahwa setiap yang diharamkan itu memiliki pagar yang melingkupinya. Kemaluan itu diharamkan, dan pagarnya ialah dua paha, karena keduanya dijadikan sebagai pagar untuk suatu yang diharamkan. Demikian pula berduaan dengan wanita asing adalah pagar untuk suatu yang diharamkan. Oleh karena itu, seseorang wajib menjauhi pagar berikut larangannya. Suatu yang diharamkan adalah haram dengan sendirinya, sedangkan pagarnya diharamkan karena membawa kepada keharaman.

Sabdanya, “Ketahuilah bahwa di dalam tubuh terdapat segumpal daging.” Yakni, di dalam tubuh terdapat segumpal daging, jika khusyu’, maka khusyu’lah seluruh anggota tubuh. Jika berkeinginan, maka berkeinginanlah semua anggota tubuh. Jika rusak, maka rusaklah seluruh anggota tubuh. Menurut para ulama, tubuh adalah kerajaan jiwa dan kotanya, hati berada di tengah kota, anggota tubuh seperti pelayan, kekuatan pikir batin seperti harta kota, akal seperti menteri yang belas kasih lagi menasihati, syahwat adalah pencari rizki bagi para pelayan, dan amarah adalah polisinya. Ia adalah hamba yang suka berbuat makar lagi keji yang berpenampilan sebagai penasihat, tapi nasihatnya adalah racun yang mematikan. Kebiasaannya selamanya adalah menentang menteri penasihat. Daya imajinasi berada di awal otak sebagai penyimpan, daya pikir di tengah otak, daya ingat di akhir otak, lisan sebagai juru bicara, panca indera adalah mata-mata. Masing-masing dari mereka diberi tugas. Mata ditugaskan pada dunia warna, pendengaran ditugaskan pada dunia suara, dan demikian pula seluruhnya adalah para pencari be-rita. Kemudian, konon, semua itu seperti penjaga pintu gerbang yang menginformasikan kepada jiwa apa yang mereka ketahui. Konon, pendengaran, penglihatan, dan penciuman itu seperti kekuatan yang darinya jiwa bisa melihat. Sedangkan hati adalah raja. Jika pemimpin-nya baik, maka rakyatnya baik dan jika rusak, maka rusak pula rak-yatnya. Kebaikannya terealisir dengan keterbebasannya dari penyakit-penyakit batin, seperti kedengkian, kebakhilan, kesombongan, suka mengolok-olok, riya’, sum’ah, makar, ketamakan dan tidak ridha dengan takdir. Penyakit-penyakit hati sangat banyak mencapai sekitar 40-an. Semoga Allah menyelamatkan kita darinya, dan menjadikan kita termasuk orang yang diberi hati yang bersih.

Imam Ibnu Daqiq berkata: Hadits ini adalah salah satu prinsip agung dari prinsip-prinsip syariat. Menurut Abu Daud as-Sijistani, Islam itu berporos pada empat hadits. Ia menyebutkan, di antaranya, hadits ini. Para ulama bersepakat atas besarnya kedudukannya dan banyaknya faedahnya.***

Sabdanya, “Sesungguhnya yang halal itu sudah jelas dan yang haram itu sudah jelas pula, serta di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat.” Yakni, sesuatu itu ada tiga macam: Pertama, apa yang dinashkan Allah kehalalannya maka ia halal, seperti firmanNya,“Dihalalkan bagimu yang baik-baik, dan makanan (sembelihan) orang-orang yang diberikan al-Kitab itu halal bagimu.” (Al-Ma’idah: 5)

Juga seperti firmanNya, “Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian.” (An-Nisa’: 24). Dan sejenisnya

Kedua, apa yang dinaskan Allah atas keharamannya maka ia keharaman yang nyata, seperti firmanNya, “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan.” (An-Nisa’: 23).

Dan frirmanNya, “Dan diharamkan atasmu (manangkap) binatang buruan darat, se-lama kamu dalam keadaan berihram.” (Al-Ma’idah: 96)

Juga, seperti diharamkannya perbuatan nista, baik yang nyata maupun tersembunyi, dan segala yang diberikan oleh Allah hukuman tertentu (Hadd), sanksi atau ancaman, semua itu haram. Adapun syubhat ialah segala yang diperselisihkan oleh dalil-dalil dari Kitab dan Sunnah serta maknanya saling tarik menarik (kontradiktif), maka menahan darinya adalah wara’ (ketakwaan).

Para ulama berselisih mengenai mutasyabihat yang diisyaratkan oleh Nabi SAW dalam hadits ini. Segolongan mengatakan, ia diharam-kan, berdasarkan sabdanya, “maka ia mencari keterbebasan buat aga-manya (dari kekurangan) dan kehormatannya.” Menurut mereka, siapa yang tidak mencari keterbebasan buat agamanya dan kehormatannya, maka ia telah jatuh dalam keharaman.

Menurut segolongan yang lainnya, ia halal, berdasarkan sabdanya dalam hadits ini, “Seperti pengembala yang menggembala di sekitar larangan.” Ini menunjukkan bahwa itu halal, dan meninggalkannya adalah wara’. Segolongan yang lainnya lagi mengatakan, al-Musytabihat yang disebutkan dalam hadits ini, kita tidak mengatakannya halal dan tidak pula mengatakannya haram. Karena beliau meletakkannya di antara kehalalan yang jelas dan keharaman yang jelas. Oleh karena itu, semestinya kita meninggalkannya, dan ini termasuk bagian dari kewara’an juga.

Termaktub dalam hadits Shahihain dari hadits Aisyah RHA, ia mengatakan, “Sa’d bin Abi Waqqash dan Abd bin Zam’ah berselisih tentang (kepemilikan) anak. Sa’d mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, ini adalah anak saudaraku, Utbah bin Abi Waqqash. Ia mengatakan kepa-daku bahwa anak ini adalah anaknya. Lihatlah kemiripannya.’ Semen-tara Abd bin Zam’ah mengatakan, ‘Ini saudaraku, wahai Rasulullah, ia dilahirkan di tempat tidur ayahku dari sahaya wanitanya.’ Rasu-lullah a memandangnya dan ternyata beliau melihat keserupaan yang nyata dengan Utbah, maka beliau mengatakan, ‘Ia milikmu, wahai Abd bin Zam’ah. Anak itu milik orang yang punya tempat tidur dan bagi pezina adalah dirajam dengan batu, serta berhijablah darinya, wahai Saudah.”( Muttafaq alaih: al-Bukhari, no. 2053, 7182); dan Muslim, no. 1457, dari hadits Aisyah RHA) Dan saudah tidak pernah melihatnya sama sekali. Rasulullah SAW memutuskan anak untuk pemilik tempat tidur. Artinya, ia untuk Zam’ah, menurut zhahirnya, dan ia saudara Saudah, istri Nabi SAW, karena ia putri Zam’ah. Itu berdasarkan keumuman, bukan kepastian. Kemudian beliau memerintahkan kepada Saudah agar berhijab darinya, karena syubhat yang terdapat padanya. Jadi, beliau berhati-hati terhadap dirinya, dan itu merupakan perbuatan orang-orang yang takut kepada Allah SWT. Sebab, seandainya anak tersebut putra Zam’ah dalam pengetahuan Allah SWT, niscaya beliau tidak memerintahkan Saudah supaya berhijab darinya, sebagaimana beliau tidak memerintahkannya supaya berhijab terhadap seluruh saudaranya, ‘Abd dan selainnya.

Dalam hadits Adi bin Hatim bahwa ia mengatakan, “Wahai Rasulullah, aku mengutus anjingku dan aku menyebut nama Allah atasnya (Bismillah), lalu aku menjumpai anjing lainnya, bersamanya ada binatang buruan?” Beliau menjawab, “Jangan makan, karena kamu hanyalah menyebut nama Allah pada anjingmu dan tidak menyebut nama Allah atas anjing selainnya.”( Muttafaq alaih: al-Bukhari, no. 175; dan Muslim, no. 1929) Rasulullah a memberi fatwa kepadanya dengan syubhat juga, karena khawatir anjing yang membunuh buruan tidak disebutkan nama Allah atasnya, sehingga seolah-olah ia di-sembelih untuk selain Allah. Dia berfirman mengenai hal itu, “Sesungguhnya itu adalah kefasikan.” (An-An’am: 121)

Dalam fatwa Nabi SAW berisikan dalil tentang perlunya kehati-hatian dalam berbagai peristiwa atau kasus yang mengandung ke-mungkinan halal atau haram karena kemiripan sebab-sebabnya. Inilah makna sabdanya,

دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلىَ مَا لاَ يَرِيْبُكَ.

“Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak mera-gukanmu.”

Menurut sebagian ulama, musytabihat (atau syubhat) itu ada tiga macam:
Pertama, apa yang diketahui manusia bahwa itu haram, ke-mudian ia ragu mengenainya: apa sudah hilang pengharamannya atau tidak? Seperti binatang yang diharamkan atas seseorang sebelum menyembelihnya, jika ia ragu perihal penyembelihannya, maka peng-haraman tersebut tetap berlaku hingga yakin telah disembelih. Asal mengenai hal itu ialah hadits Adi yang telah disebutkan sebelumnya.

Kedua, sebaliknya dari hal itu, bila sesuatu itu halal lalu ia ragu mengenai pengharamannya. Seperti seorang laki-laki yang punya istri lalu ia ragu dalam hal diceraikannya, atau wanita sahaya yang ia ragu mengenai kemerdekaannya. Semua dalam bagian ini adalah dihalalkan sehingga diketahui pengharamannya. Asal dalam hal ini ialah hadits Abdullah bin Zaid mengenai orang yang ragu berhadats setelah yakin masih dalam keadaan suci.****

Ketiga, seseorang ragu mengenai sesuatu. Ia tidak tahu apa-kah halal ataukah haram, dan mengandung dua kemungkinan ter-sebut, serta tidak ada petunjuk atas salah satu dari keduanya. Yang terbaik ialah menjauhinya, sebagaimana yang dilakukan Nabi a mengenai kurma yang tercecer ketika beliau menemukannya di rumahnya, lalu beliau bersabda, “Seandainya aku tidak khawatir bila kurma tersebut berasal dari sedekah, niscaya aku telah memakannya.” (Muttafaq alaih: al-Bukhari, no. 2055; dan Muslim, no. 1071, dari hadits Anas RA)

Adapun jika ada kemungkinan kebalikan apa yang rajih (kuat) menurutnya dengan perkara yang diduga yang tiada asalnya, seperti tidak mempergunakan air yang masih tetap pada sifatnya karena khawatir diperkirakan kemasukan najis, menghindari shalat di tempat yang tiada bekas najisnya karena khawatir terdapat air ken-cing yang sudah kering, mencuci pakaian karena khawatir sudah terkena najis yang tidak dilihatnya, dan sejenisnya, maka ini tidak perlu dihiraukan. Karena kebimbangan yang disebabkan faktor ke-mungkinan kecil adalah tindakan bodoh, dan menjauhinya adalah was-was dari setan. Sebab, tiada di dalamnya makna syubhat sedikit pun. Wallahu a’lam.

Sabdanya, “Yang tidak diketahui oleh banyak manusia.” Yakni, tidak mengetahui hukumnya, baik halal maupun haramnya. Jika tidak, maka orang yang mengetahui syubhat mengetahui syubhat tersebut dari segi bahwa ia musykil karena membimbangkan di antara perkara-perkara yang mengandung beberapa kemungkinan. Jika ia mengetahui pada asal manakah ia dihubungkan, maka sirna-lah kesyubhatannya, dan ia menjadi halal atau haram. Ini juga se-bagai dalil bahwa syubhat itu memiliki hukum khusus yang terdapat dalil syar’inya yang mungkin dapat diketahui oleh sebagian orang.

Sabdanya, “Barangsiapa yang meninggalkan perkara-perkara syubhat maka ia mencari keterbebasan buat agamanya dan kehormatannya.” Dari perkara yang syubhat.

Adapun sabdanya, “Dan barangsiapa yang jatuh dalam perkara syubhat, maka ia jatuh dalam keharaman.” Itu terjadi karena dua aspek:

Pertama, orang yang tidak bertakwa kepada Allah dan lancang dalam perkara syubhat, maka hal itu membawanya kepada keha-raman, sedangkan menganggap remeh perkara syubhat akan mem-bawanya kepada sikap berani terhadap keharaman. Sebagaimana kata sebagian ulama, dosa kecil membawa kepada dosa besar, dan dosa besar membawa kepada kekafiran. Dan, sebagaimana diriwayat-kan, “kemaksiatan itu pengantar (menuju) kekafiran.”

Kedua, siapa yang banyak melakukan perkara-perkara syubhat, maka ia telah membuat hatinya menjadi gelap, karena hilangnya cahaya ilmu dan cahaya wara’, lalu ia jatuh dalam keharaman dalam keadaan tidak menyadarinya. Mungkin saja ia berdosa karena hal itu, jika membawanya kepada kelalaian.

Sabdanya, “Seperti penggembala yang menggembala di sekitar la-rangan, nyaris ia jatuh di dalamnya.” Ini adalah perumpamaan yang dibuat beliau untuk perkara-perkara yang diharamkan Allah SWT. Pada asalnya bangsa Arab biasa memagari tempat gembalaan un-tuk ternak mereka, dan memberi ancaman berupa hukuman buat siapa yang mendekatinya. Orang yang takut terhadap siksa penguasa, ia menjauhkan ternaknya dari pagar larangan tersebut. Karena jika mendekatinya, maka kemungkinan besar akan masuk di dalamnya. Karena kadangkala seekor gembalaan masuk, dan ia tidak dapat menahannya. Oleh karenanya, sebagai kehati-hatian, ialah membuat jarak yang aman antara dirinya dengan pagar larangan tersebut se-hingga terhindar jatuh di dalamnya. Demikian pula hal-hal yang diharamkan Allah berupa membunuh, riba, mencuri, minum khamr, menuduh zina, ghibah, adu domba dan sejenisnya, tidak boleh sese-orang berkutat di sekitarnya karena dikhawatirkan akan terjerumus di dalamnya.

“Yusyiku” dengan mengkasrahkan Syin adalah Mudhari’ (kata kerja kini, sedang dan akan datang), sedangkan “Ausyaka”, ia termasuk Af’al al-muqarabah. Dan “Yarta’u” dengan memfathahkan Ta’, artinya binatang ternak makan. Dari Mar’a (tempat gembalaan), yang pokok (permasalahannya) ia digembalakan di dalam (tempat syubhat) dan dibiarkan makan.

Sabdanya, “Ketahuilah bahwa di dalam tubuh terdapat segumpal daging yang jika baik, maka menjadi baiklah seluruh tubuh.” Al-Mudhghah ialah sepotong daging, yaitu sebesar suapan seseorang. Maksudnya, kecil bentuknya tapi besar nilainya.

Shaluhat, dan kami meriwayatkannya dengan memfathahkan Lam (shalahat). Sedangkan al-Qalbu (hati) pada asalnya adalah bentuk masdar. Anggota tubuh yang paling mulia ini dinamakan dengan qalbu, karena sedemikian cepatnya lintasan pikiran masuk di dalam-nya dan berbolak-balik padanya. Sebagian penyair bersenandung mengenai makna ini:

مَا سُمِّيَ اْلقَلْبُ إِلاَّ مِنْ تَقَلُّبِهِ
فَاحْذَرْ عَلَى اْلقَلْبِ مِنْ قَلْبٍ وَتَحْوِيْلٍ

Tidak dinamakan qalbu melainkan karena berbolak-baliknya
Maka hati-hatilah dari berbolak-balik dan perubahannya

Allah mengkhususkan spesies hewan dengan anggota tubuh ini dan menitipkan padanya untuk mengatur berbagai kemaslahatan yang dikehendaki. Anda melihat binatang dengan berbagai jenisnya mengetahui berbagai kemaslahatannya dengannya, dan dapat mem-bedakan yang mudharat dari yang bermanfaat. Kemudian Allah mengkhususkan spesies manusia dari semua hewan dengan akal, di samping hati. Allah SWT berfirman, “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mem-punyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar.” (Al-Hajj: 46)

Allah menjadikan anggata tubuh tunduk dan patuh kepadanya. Apa yang bersemayam dalam dirinya, nampak pada anggota tubuh-nya dan melakukan berdasarkan spiritnya. Jika baik, maka menjadi baik dan jika buruk, maka menjadi buruk. Jika anda memahami ini, maka menjadi jelaslah sabda beliau SAW,

أَلاَ وَإِنَّ فيِ اْلجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ اْلجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ اْلجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ اْلقَلْبُ.

“Ingatlah, bahwa di dalam tubuh terdapat segumpal daging, jika baik maka seluruh tubuh menjadi baik; jika rusak, maka seluruh tubuh menjadi rusak pula, yaitu hati.'”

Kita memohon kepada Allah Yang Mahaagung agar memper-baiki kerusakan hati kita. Wahai Dzat Yang membolak-balikkan hati, teguhkan hati kami di atas agamamu. Wahai Yang Memalingkan hati, palingkan hati kami untuk menaatiMu.

Syaikh Utsaimin berkata:

Nabi SAW membagi perkara menjadi tiga macam: Pertama, jelas kehalalannya yang tidak ada kesamaran di da-lamnya. Kedua, jelas keharamannya yang tiada kesamaran di dalamnya.

Kedua perkara ini jelas. Adapun yang halal adalah halal dan manusia tidak berdosa melakukannya. Sedangkan yang haram adalah haram dan manusia berdosa melakukannya.

Contoh pertama, kehalalan binatang ternak. Contoh kedua, di-haramkannya khamr. Adapun bagian yang ketiga, ialah perkara syubhat yang hukumnya samar: apakah ia halal ataukah haram? Hukumnya tidak diketahui oleh banyak manusia. Jika tidak, maka ia diketahui oleh yang lainnya.

Mengenai ini, Rasulullah SAW mengatakan bahwa sikap wara’ ialah meninggalkannya dan agar manusia tidak terjerumus di dalamnya. Karenanya, beliau bersabda, “Barangsiapa yang meninggalkan per-kara syubhat maka ia mencari keterbebasan untuk agamanya dan kehormat-annya.” Ia mencari keterbebasan buat agamanya dalam apa antara dirinya dengan Tuhannya, dan kehormatannya dalam apa antara dirinya dengan manusia sehingga orang-orang tidak mengatakan, “Si fulan melakukan perbuatan haram.” Karena mereka mengetahui-nya, sedangkan perkara itu baginya masih samar. Kemudian Nabi SAW membuat suatu perumpamaan untuk itu dengan penggembala yang menggembala di sekitar pagar larangan. Yakni, sekitar tanah yang di-pagari yang tidak boleh dimasuki binatang ternak karena tempat tersebut subur. Karena tidak boleh dimasuki, maka ia menarik binatang ternak sehingga mendekatinya dan memasukinya.

كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ اْلحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ.

“Seperti penggembala yang menggembala di sekitar daerah larangan maka nyaris akan terjerumus ke dalamnya.”
Kemudian beliau SAW bersabda,

أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمَى.

“Ingatlah bahwa setiap raja memiliki daerah larangan.”

Yakni, sudah menjadi kebiasaan bahwa raja-raja memagari su-atu dari tamannya yang di dalamnya terdapat rumput yang banyak dan tanaman yang banyak pula.

أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ.

“Ingatlah bahwasanya larangan Allah ialah hal-hal yang diharam-kanNya.”

Yakni, apa yang diharamkanNya atas hamba-hambaNya adalah laranganNya. Karena Dia melarang mereka memasukinya. Kemudian beliau menjelaskan bahwa dalam tubuh ini terdapat segumpal da-ging, yakni daging sebesar satu suapan; jika baik, maka seluruh tubuh menjadi baik, dan jika rusak, maka rusak pula seluruh tubuh. Kemudian beliau menjelaskannya dengan sabdanya, “yaitu hati.” Ini mengisyaratkan tentang kewajiban seseorang mengendalikan apa yang terdapat dalam hatinya berupa keinginan yang membinasakan-nya, sehingga ia tidak jatuh dalam keharaman dan perkara-perkara yang syubhat.

Dari hadits ini dapat dipetik sejumlah faedah

1. Syariat Islam, halalnya jelas dan haramnya jelas pula. Sementara yang samar (syubhat) darinya diketahui oleh sebagian orang.

2. Ketika suatu perkara tidak jelas bagi manusia: apakah halal atau-kah haram, maka seyogyanya ia menjauhinya hingga menjadi jelas baginya bahwa perkara tersebut adalah halal.

3. Ketika manusia jatuh dalam perkara yang syubhat, maka mudah baginya jatuh dalam perkara yang nyata (keharamannya). Jika ia membiasakan sesuatu yang syubhat, maka jiwanya akan mendorongnya untuk melakukan suatu yang nyata. Dan, ketika itu, ia akan celaka.

4. Boleh membuat perumpamaan demi tujuan supaya perkara yang bersifat maknawi (non materi) menjadi jelas dengan membuat permisalan suatu yang nyata. Yakni, menyerupakan suatu yang logis dengan suatu yang nyata untuk memudahkan memahaminya.

5. Rasulullah SAW mendidik dengan baik, dengan cara membuat ber-bagai perumpamaan dan menjelaskannya.

6. Poros kebaikan dan kerusakan terletak pada hati. Berdasarkan kesimpulan ini, maka wajib bagi manusia untuk memperhatikan hatinya selalu dan selama-lamanya, sehingga ia tetap beristiqamah pada perkara yang semestinya ditetapinya.

7. Kerusakan zhahir adalah sebagai bukti atas rusaknya batin, ber-dasarkan sabda Nabi a,

إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ اْلجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ اْلجَسَدُ كُلُّهُ.

“Jika baik, maka seluruh tubuh menjadi baik dan jika rusak, maka se-luruh tubuh menjadi rusak pula.”

Jadi, kerusakan zhahir itu adalah tanda kerusakan batin.

CATATAN:

* As-Silsilah adh-Dha’ifah, no. 1155
** Hadits shahih: Abu Daud, no. 1114; al-Baihaqi dalam al-Kubra, 3/ 223; dan dishahihkan al-Albani dalam Shahih al-Jami’, no. 386
*** Ibnu Hajar 5 mengatakan, “Para ulama memuliakan perkara hadits ini sehingga mereka menilainya se-bagai keempat dari empat hadits yang menjadi poros berbagai hukum, seperti dinukil dari Abu Daud. Ada dua bait yang masyhur berkaitan dengannya, yaitu:
Pilar agama bagi kami ialah beberapa kalimat
Yang disandarkan dari ucapan Sebaik-baik makhluk:
Tinggalkan syubhat, berzuhudlah
Tinggalkan apa yang tidak bermanfaat bagimu
Dan beramallah dengan niat
Ibnu al-Arabi mengisyaratkan bahwa dapat ditarik semua hukum darinya semata, sebagaimana dinyatakan al-Qurthubi, karena ia mencakup perincian antara yang halal dan selainnya, serta berkaitan dengan semua amalan hati. Dari sini, semua hukum bisa dikembalikan kepadanya. Dan Allahlah yang dimohon pertolong-anNya.” (Al-Fath, 1/ 157, dengan diringkas).
**** Mengisyaratkan pada apa yang diriwayatkan al-Bukhari dalam Shahihnya, no. 137, dari Abbad bin Tamim, dari pamannya, bahwa telah mengaduh kepada Rasulullah a seorang laki-laki yang menduga bahwa ia berhadats dalam shalatnya, maka beliau bersabda, “Janganlah ia beranjak sehingga mendengar suara atau mencium baunya.” An-Nawawi 5 mengatakan, “Hadits ini adalah dasar mengenai hukum tetapnya sesuatu pada asalnya sehingga timbul keyakinan yang menyelisihi hal itu, dan keraguan yang meliputinya tidak membahayakannya.” (Al-Fath, 1/ 287)