Dia bernama Ashhamah, Raja Habasyah (Ethiopia), dan termasuk kelompok sahabat. Selain termasuk orang yang baik keislamannya, ia tidak pernah berhijrah dan tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dia seorang tabi’in di satu sisi dan seorang sahabat di sisi yang lain.

Di meninggal pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup, dan umat Islam yang tidak menghadiri jenazahnya menshalatinya dengan shalat ghaib. Dalam hadits dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hanya mengerjakan shalat ghaib untuk Najasyi, karena Najasyi meninggal ditengah-tengah komunitas Nashrani dan ketika itu tidak seorang pun umat islam yang menshalatinya, karena para sahabat yang hijarah ditempatnya (Habasyah) telah pulang dan hijrah ke Madinah pada waktu perang Khaibar.

Diriwayatkan dari Ummu Salamah, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dia berkata, “Ketika kami singgah di negri Habasyah, kami tinggal bersama tetangga yang paling baik, yaitu Najasy, yang beriman kepada agama kami. Kami menyembah Allah Ta’ala tanpa pernah diganggu dan tidak pernah mendengar sesuatu yang mengganggu kami. Ketika berita tentang masalah itu sampai kepada orang-orang Quraisy, mereka sepakat untuk mengutus dua pria yang kuat menemui Najasyi dan memberikan beberapa hadiah kepada Najasyi berupa perhiasan Makkah. Di antara hadiah yang paling menakjubkan yang mereka berikan kepadanya adalah kulit. Mereka mengumulkan banyak kulit untuknya. Mereka tidak meninggalkan seorang pejabat kerajaan pun yang tidak diberi hadiah. Setelah itu mereka mengutus Abdullah bin Abu Rabi’ah bin al-Mughirah al-Makhzumi dan Amr bin al-Ash ash-Shami dan mereka menberikan perintah kepada mereka seraya berkata, “Berilah kepada setiap pejabat hadiahnya masing-masing, kemudian minta agar mereka menyerahkan orang-orang Islam itu kepada kalian sebelum mereka sempat berbicara dengan Najasyi tentang mereka.

Mereka kemudian memberikan hadiah tersebut kepada Najasyi, sedangkan kami berada di sisi Najasyi seperti halnya berada di rumah yang paling bagus dan tetangga yang paling baik. Setiap pejabat pda saat itu diberi hadiah oleh mereka. Keduanya lalu berkata kepada Najasyi, ‘Wahai raja, ada beberapa orang bodoh dari kaum kami melarikan diri. Mereka meninggalkan agama kaum mereka dan tidak masuk ke dalam agamamu. Mereka datang dengan membawa agama baru yang kita tidak mengetahuinya dan begitu juga engkau. Kami telah di utus oleh para pembesar kaum mereka, dari nenek moyang, paman-paman mereka, dan kerabat mereka, agar mengembalikan orang-orang itu kepada mereka. Derjat mereka lebih tinggi daripada orang-orang itu dan mereka lebih mengetahui kekurangan mereka.’ Para utusan itupun berkata kepada mereka, ‘Ya’.
Tidak ada sesuatu yang menjadikan Najasyi marah kepada Abdullah dan Amr daripada mendengarkan mereka.

Para pejabat disekitarnya lalu berkata, ‘Mereka benar wahai Raja, serahkan mereka saja kepada mereka berdua’. Najasyi pun marah, ia berkata, “Tidak, demi Allah, aku tidak akan menyerahkan mereka kepada kalian berdua dan aku tidak akan menyakiti kaum yang berkunjung ketempatku dan memilih tempatku serta memilihku daripada selainku hingga aku memanggil mereka dan bertanya kepada mereka”.

Najasyi kemudian mengutus seseorang untuk memanggil sahabat-sahabat rasulullah. Ketika utusan itu datang kepada mereka, mereka pun berkumpul, kemudian sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain, “Apa yang akan kalian katakan kepada raja jika kalian mendatanginya? Mereka berkata, akan kami katakan, ‘Demi Allah, kami tidak mengetahui dan Nabi kami shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyuruh kami sesuatu, kecuali telah ada perintah seperti itu sebelumnya’”.

Ketika mereka datang kepada Najasyi dan Najasyi telah memanggil pejabat-pejabatnya, mereka membuka mushaf mereka disekelilingnya dan bertanya kepada mereka. Najasyi lalu bertanya kepada mereka, ‘Agama apa yang kalian anut sehingga dapat memisahkan diri dari kaum kalian dan kalian tidak masuk agama kami dan agama umat lain?’

Yang menjawab pertanyaan itu adalah Ja’far bin Abu Thalib, dia berkata kepadanya, ‘Wahai raja, dulu kami kaum yang bodoh, menyembah berhala, mengonsumsi bangkai, memakan kotoran, memutus silaturrahim, berbuat buruk kepada tetangga, dan yang kuat memakan yang lemah. Kami dalam kondisi tersebut hingga Allah mengutus kepada kami seorang utusan dari bangsa kami yang kami sendiri tahu nasabnya, kejujurannya, amanahnya, dan kehati-hatiannya. Beliau mengajak kami mengesakan Allah dan memyembahNya serta melepas tuhan-tuhan yang disembah oleh nenek moyang kami berupa batu dan berhala. Beliau juga menyuruh kami berkata jujur, menunaikan amanat, menyambung silaturrahim, serta mencegah dari perbuatan haram dan pertumpahan darah. Beliaupun menyuruh kami menjauhi perbuatan keji, perkataan bohong, memakan harta anak yatim, dan menuduh wanita baik-baik berbuat zina. Selain itu, beliau menyuruh kami hanya menyembah Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu.

Beliau menyuruh kami mengerjakan shalat, zakat, dan puasa’. –Ummu Sulaim berkata : Dia lantas menyebutkan beberapa perintah dalam Islam-. Kami lalu membenarkannya, mengimaninya, serta mengikutinya. Tetapi kaum kami memusuhi kami dan menyiksa kami serta memfitnah agama kami agar kami kembali kepada penyembahan berhala dan bergumul kembali dengan kekejian seperti dulu. Ketika mereka menyiksa kami, menzhalimi kami dan menghalangi kami, kami pun pergi ke negrimu ini dan memilih engkau. Kami senang berada dalam perlindunganmu dan kami berharap tidak lagi di zhalimi di sisimu wahai raja’.

Mendengar penjelasan itu, Najasyi berkata, ‘Apakah kamu hafal sedikit dari wahyu yang diturunkan Tuhanmu?’ Ja’far menjawab, ‘Ya’. Najasyi berkata, ‘Bacakanlah kepadaku!’ Ja’far pun membacakan firman Allah Ta’ala : ‘Kaaf, haa, yaa, ain, shaad…’ Demi Allah, setelah mendengar lantunan ayat tersebut, Najasyi menangis hingga air matanya membasahi jenggotnya. Begitu juga para pejabatnya, hingga mereka lupa dengan shahifah-shahifah mereka. Setelah itu Najasyi berkata, ‘Sesungguhnya ini juga yang di bawa oleh Musa. Ini keluar dari satu sumber. Pergilah kalian berdua, demi allah, aku tidak akan menyerahkan mereka kepada kalian selamanya dan tidak akan.’
Setelah keduanya keluar, Amr berkata, ‘Demi Allah, besok aku akan menceritakan aib mereka kepada raja, kemudian aku cabut mereka sampai keakar-akarnya dan membinasakan mereka’. Abdullah bin Abu Rabi’ah yang ketika itu orang yang lebih bertakwa dibandingkan Amr, berkata, ‘Jangan lakukan itu, karena mereka masih memiliki kasih sayang, walaupun mereka berbeda dengan kita’. Amr lalu berkata, ‘Demi Allah, aku akan menceritakan kepada raja bahwa mereka mengira bahwa Isa adalah hamba’.

Keesokan harinya Amr menemui Najasyi dan berkata, ‘Wahai raja, mereka sebenarnya berkata tentang Isa bin Maryam dengan perkataan yang tidak senonoh, maka panggilah mereka dan tanyakan kepada mereka mengenai pendapat mereka tentang Isa!’.
Raja Najasyi pun memanggil mereka dan bertanya kepada mereka.

Setelah itu kaum berkumpul, kemudian mereka berkata, ‘Demi Allah kami berkata tentang Isa seperti yang di firmankan oleh Allah sebelumnya’. Ketika mereka menghadap, raja bertanya kepada mereka, ‘Apa yang kalian katakan tentang Isa?’ Ja’far berkata kepada raja, ‘Kami katakan tentangnya seperti yang dijelaskan oleh Nabi kami, bahwa dia adalah hamba Allah, rasulNya, rohNya, dan kalimatNya, yang dititipkan kepada Maryam yang masih perawan dan belum pernah disentuh laki-laki’. Mendengar itu Najasyi memukulkan tangannya ke tanah, lalu mengambil tongkat, lantas berkata, ‘Isa tidak akan memusuhi apa yang kamu katakan’. Sikap Najasyi sempat membuat para pejabat yang ada disekitarnya ketakutan. Najasyi lalu berkata, ‘Demi Allah jika kalian ketakutan, pergilah, karena kalian aman dinegeriku. Barangsiapa mencela kalian maka dia akan didenda dan dihukum. Aku tidak senang walaupun aku memiliki segunung emas jika aku harus menyakiti seseorang diantara kalian. Kembalikan hadiah-hadiah itu kepada mereka berdua! Demi Allah, Allah tidak mengambil suap dariku ketika aku diberi kerajaan ini, maka apakah aku harus mengambil suap didalamnya? Barangsiapa taat kepadaku maka aku akan taat kepada mereka’.

Keduanya (Amr dan Abdullah) pun keluar dengan rasa malu, sedangkan hadiah-hadiah mereka dikembalikan seluruhnya, sementara kami tetap tinggal di istananya dengan nyaman dan aman. Demi Allah, ketika kami dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba ada seseorang menyerang kekuasaan Najasyi. Demi Allah, kami tidak pernah melihat kemarahan yang lebih dahsyat dari kemarahannya pada saat itu.

Setela itu datang seorang pria yang tidak mengetahui hak kami sebagaimana yang diketahui oleh Najasyi. Setelah itu Najasyi keluar dan mereka dibatasi sungai Nil. Sahabat-sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, ‘Siapa orang yang mau keluar dan datang dengan membawa berita tentang peperangan mereka, setela itu mengabarkannya kepada kita?’ Zubair berkata, ‘Aku’. Dia adalah orang yang paling muda usianya. Lalu mereka meniupkan tempat air untuk diletakkan dipunggungnya. Setelah itu ia menyebrangi sungai Nil hingga keluar ke tempat pertempuran dan dia hadir. Kami berdoa kepada Allah agar Najasyi diberi kemenangan atas musuh-musuhnya dan tetap berkuasa dinegerinya serta ditaati di Habasyah. Ketika disisinya, kami seakan-akan tinggal di rumah yang paling baik, hinmgga kami datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di Makkah’.

Perkataan Ummu Salamah, “Hingga kami datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di Makkah”, adalah menurut dirinya sendiri, karena dia kembali kepada suaminya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Di antara kebaikan Najasyi adalah bahwa Ummu Habibah, Ramlah binti Abu Sufyan, pada waktu perang Umawiyah, masuk Islam bersama suaminya, Ubaidullah bin Jahsyin al-Asadi. Keduanya hijrah ke Habasyah. Lalu Ramlah melahirkan Habibah, anak perempuan tiri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian Ubaidullah terkena musibah karena dia tertarik kepada agama Nashrani sehingga memeluknya. Beberapa saat setelah itu, Ubaidullah meninggal di Habasyah. Ketika dia selesaai menghabiskan masa iddah, (Iddah adalah masa penantian bagi seorang istri yang dijatuhi thalak atau ditinggal mati suaminya. Diantara tujuan adanya masa iddah adalah mengetahui kondisi rahim, hamil atau tidak), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus seseorang untuk melamarnya dan Ramlah pun menerimanya. Dalam hal ini Najasyi ikut campur dan beliau menyaksikan pernikahan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut. dia memberikan mahar atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari uangnya sendiri sebanyak empat ratus dinar. Lalu beliau mendapatkan darinya (Ramlah) sesuatu yang tidak diperolehnya dari Ummahatul Mukminin lainnya. Kemudian Najasyi mempersiapkannya.

Ketika Najasyi meninggal dunia, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada orang-orang, “Sesungguhnya saudara kalian telah meninggal dunia di negeri Habasyah”. Beliau lalu keluar bersama para sahabat lainnya menuju padang pasir dan menyuruh mereka untuk membuat shaf, kemudian melakukan shalat ghaib atas wafatnya Najasyi.

Sebagian ulama menukil bahwa peristiwa tersebut terjadi pada bulan Rajab tahun 9 Hijriyah.

Sumber : Ringkasan Siyar A’lam an-Nubala’ (Imam adz-Dzahabi), Pustaka Azzam.