Barang yang Dapat Digadaikan

Dari definisi pegadaian di atas, dapat disimpulkan bahwa barang yang dapat digadaikan adalah barang yang memiliki nilai ekonomi, agar dapat menjadi jaminan bagi pemilik uang. Dengan demikian, barang yang tidak dapat diperjual-belikan, dikarenakan tidak ada harganya, atau haram untuk diperjual-belikan, adalah tergolong barang yang tidak dapat digadaikan. Yang demikian itu dikarenakan, tujuan utama disyariatkannya pegadaian tidak dapat dicapai dengan barang yang haram atau tidak dapat diperjual-belikan.

Oleh karena itu, barang yang digadaikan dapat berupa tanah, rumah, perhiasan, kendaraan, alat-alat elektronik, surat saham, dan lain-lain.

Berdasarkan penjelasan tersebut, bila ada orang yang hendak menggadaikan seekor anjing, maka pegadaian ini tidak sah, karena anjing tidak halal untuk diperjual-belikan.

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغْيِ وَحِلْوَانِ الْكَاهِنِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hasil penjualan anjing, penghasilan (mahar) pelacur, dan upah perdukunan.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Imam as-Syafi’i berkata, “Seseorang tidak dibenarkan untuk menggadaikan sesuatu, yang pada saat akad gadai berlangsung , (barang yang hendak digadaikan tersebut) tidak halal untuk diperjual-belikan.”[4]

Beliau juga berkata, “Bila ada orang yang hendak menggadaikan seekor anjing, maka tidak dibenarkan, karena anjing tidak memiliki nilai ekonomis. Demikian juga bagi setiap barang yang tidak halal untuk diperjual-belikan.”[5]

Waktu Pegadaian

Sebagaimana dapat dipahami dari teks ayat di atas dan juga dari tujuan akad pegadaian, maka waktu pelaksanaan akad ini ialah setelah atau bersamaan dengan akad utang-piutang berlangsung. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika beliau berutang setakar gandum dari seorang Yahudi.

عَنْ أَبِي رَافِعٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ ضَيْفاً نَزَلَ بِرَسُوْلِ اللهَ، فَأَرْسَلَنِي أَبْتَغِي لَهُ طَعَاماً، فَأَتَيْتُ رَجُلاً مِنَ الْيَهُوْدِ فَقُلْتُ: يَقُوْلُ لَكَ مُحَمَّدٌ إِنَّهُ قَدْ نَزَلَ بِنَا ضَيْفٌ، وَلَمْ يَلْقِ عِنْدَنَا بَعْضَ الَّذِي يُصْلِحُهُ، فَبِعْنِي أَوْ اَسْلِفْنِي إِلَى هِلاَلِ رَجَب. فَقَالَ الْيَهُوْدِيُّ: لاَ وَاللهِ لاَ أُسْلِفُهُ وَلاَ أَبِيْعُهُ إِلاَّ بِرَهْنٍ، فَرَجَعْتُ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ: وَاللهِ إِنِّي لَأَمِيْنٌ فِي أَهْلِ السَّمَاءِ أَمِيْنٌ فِي أَهْلِ اْلأَرْضِ، وَلَوْ أَسْلَفَنِيْ أَوْ بَاعَنِيْ لَأَدَّيْتُ إِلَيْهِ. اِذْهَبْ بِدِرْعِيْ!

Dari Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu, ia mengisahkan, “Pada suatu hari ada tamu yang datang ke rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau mengutusku untuk mencari makanan sebagai hidangan. Lalu, aku pun mendatangi seorang Yahudi, dan aku berkata kepadanya, ‘Nabi Muhammad berkata kepadamu bahwa sesungguhnya ada tamu yang datang kepada kami, sedangkan beliau tidak memiliki apa pun yang dapat dihidangkan untuk mereka. Oleh karenanya, jual atau berilah utang (berupa gandum) kepadaku, dengan tempo (pembayaran hingga) bulan Rajab.’ Maka, orang Yahudi tersebut berkata, ‘Tidak, sungguh demi Allah, aku tidak akan mengutanginya dan tidak akan menjual kepadanya, melainkan dengan gadaian.’ Maka, aku pun kembali menemui Rasulullah, lalu aku kabarkan kepada beliau, lalu beliau pun bersabda, Sungguh demi Allah, aku adalah orang yang terpercaya di langit (dipercaya oleh Allah) dan terpercaya di bumi. Andaikata ia mengutangiku atau menjual kepadaku, pasti aku akan menunaikannya (melunasinya).’” (Hr. Abdurrazzaaq, dengan sanad yang mursal/terputus)

Pada kisah ini, proses pegadaian terjadi bersamaan dengan berlangsungnya akad jual-beli atau utang-piutang.

Akan tetapi, bila ada orang yang sebelum berjual-beli atau berutang telah memberikan jaminan barang gadaian terlebih dahulu, maka menurut pendapat yang lebih kuat, hal tersebut juga diperbolehkan. Yang demikian itu dikarenakan beberapa alasan berikut:
1. Hukum asal setiap transaksi adalah halal, selama tidak ada dalil nyata dan shahih (benar) yang melarang transaksi tersebut.
2. Selama kedua belah pihak yang menjalankan akad rela dan telah menyepakati hal tersebut, maka tidak ada alasan untuk melarangnya.[6]

Sebagai contoh, bila ada orang yang hendak berutang kepada Anda, lalu Anda berkata kepadanya, “Saya tidak akan mengutangi Anda, melainkan bila Anda menggadaikan sepeda motor atau sawah Anda kepada saya.” Lalu, orang tersebut berkata kepada Anda, “Ya, saya gadaikan sawah saya kepada Anda sebagai jaminan atas piutang yang akan Anda berikan kepada saya.” Kemudian, setelah Anda selesai melakukan akad pegadaian, dimulai dari penandatanganan surat perjanjian gadai hingga penyerahan surat tanah, Anda baru bertanya kepadanya, “Berapa jumlah uang yang Anda butuhkan?” Maka, dia pun menyebutkan (misalnya) bahwa dia membutuhkan uang sejumlah Rp 30.000.000,-, dan Anda pun kemudian menyerahkan uang sejumlah yang dia inginkan. Pada kasus ini, akad pegadaian terjadi sebelum akad utang-piutang.