NASKAH HADITS

عَنِ ابْنِ عُمَرَ p أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ a قَالَ أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوْا ذلِكَ عَصَمُوْا مِنِّي دِمَاءَ هُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ اْلإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ

Dari Ibnu Umar RMA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Aku dipe-rintahkan agar memerangi manusia sehingga mereka bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muham-mad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Jika mereka melakukan hal itu, maka terlindung dariku jiwa dan harta mereka, kecuali dengan hak Islam, dan perhitungan mereka diserahkan pada Allah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).*

SYARAH

Imam an-Nawawi berkata:

Sabdanya, “Aku diperintahkan…” hingga akhir hadits, di dalamnya berisikan dalil kemutlakan perintah itu dan pola katanya me-nunjukkan atas kewajiban.
Sabdanya,

فَإِذَا فَعَلُوْا ذلِكَ عَصَمُوْا مِنيِّ دِمَاءَ هُمْ وَأَمْوَالَهُمْ.

“Jika mereka melakukan hal itu, maka terlindung dariku jiwa dan harta mereka.”

Jika dinyatakan: Puasa adalah rukun Islam, demikian pula haji, tapi beliau tidak menyebutkan keduanya.

Jawabannya: Puasa tidak menyebabkan manusia diperangi ka-renanya, tetapi ia menahan makanan dan minum. Sedangkan haji menurut kemampuan, dan manusia tidak diperangi karenanya. Ra-sulullah SAW hanyalah menyebutkan ketiga perkara ini, karena manusia diperangi karena meninggalkannya. Karena itu, beliau tidak menye-butkan puasa dan haji kepada Mu’adz RA ketika mengutusnya ke Yaman, tetapi menyebut tiga perkara ini secara khusus.

Sabdanya,

إِلاَّ بِحَقِّ اْلإِسْلاَمِ.

“Kecuali dengan hak Islam.”

Di antara hak Islam ialah melaksanakan berbagai kewajiban. Barangsiapa meninggalkan kewajiban, boleh diperangi, seperti pemberontak, pembegal, perampok, orang yang menolak membayar zakat, orang yang menolak memberikan air kepada orang yang membutuh-kan dan binatang muhtaramah,** pelaku kejahatan, orang yang menolak membayar hutang padahal mampu, pezina muhshan (yang sudah per-nah nikah), orang yang meninggalkan shalat Jum’at dan berwudhu. Mengenai hal-hal tersebut dibolehkan membunuh dan memeranginya. Demikian pula seandainya meninggalkan shalat berjamaah. Menurut kami, shalat berjamaah adalah fardhu ‘ain atau kifayah.

Sabdanya,

وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ.

“Dan perhitungan mereka diserahkan pada Allah.”

Yakni, siapa yang mengucapkan dua syahadat, mendirikan shalat dan membayar zakat, maka darah dan hartanya dilindungi. Kemudian jika ia melakukan hal itu dengan niat yang ikhlas lagi baik, maka ia orang yang beriman. Jika ia melakukan hal itu karena pura-pura (Taqiyyah), atau takut pada pedang, seperti orang munafik, maka perhitungannya diserahkan kepada Allah, dan Dialah Yang Menguasai segala rahasia. Demikian pula siapa yang shalat dengan tanpa berwudhu atau mandi dari jinabat, atau makan di rumahnya dan mengklaim berpuasa, maka perbutannya diakui, sedangkan perhitungannya diserahkan kepada Allah SWT. Wallahu a’lam.

Imam Ibnu Daqiq berkata:

Ini hadits agung dan salah satu kaidah agama. Anas juga meriwayatkan hadits ini dengan lafal,

حَتىَّ يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَأَنْ يَسْتَقْبِلُوْا قِبْلَتَنَا وَأَنْ يَأْكُلُوْا ذَبِيْحَتَنَا وَأَنْ يُصَلُّوْا صَلاَتَنَا، فَإِذَا فَعَلُوْا ذلِكَ حُرِّمَتْ عَلَيْنَا دِمَاؤُهُمْ وَأَمْوَالُهُمْ إِلاَّ بِحَقِّهَا، لَهُمْ مَا لِلْمُسْلِمِيْنَ وَعَلَيْهِمْ مَا عَلَى اْلمُسْلِمِيْنَ.

“Hingga mereka bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya, mereka menghadap kiblat kami, makan sembelihan kami, dan shalat dengan shalat kami. Jika mereka melakukan hal itu, maka diharamkan atas kita darah dan harta mereka kecuali dengan haknya. Mereka mendapatkan hak sebagaimana yang diperolah kaum muslimin lain-nya dan mereka menanggung kewajiban sebagaimana yang berlaku atas kaum muslimin lainnya.”***

Disebutkan dalam Shahih Muslim dari riwayat Abu Hurairah,

حَتىَّ يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَيُؤْمِنُوْا بِمَا جِئْتُ بِهِ.

“Hingga mereka bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan beriman kepada ajaran yang aku bawa.”( HR. Muslim, no. 21) Dan itu selaras dengan riwayat Ibnu Umar dari segi maknanya.

Adapun makna hadits ini, para ahli sejarah mengatakan, “Ketika Rasulullah SAW wafat dan Abu Bakar ash-Shiddiq RA dinobatkan sebagai khalifah sesudahnya, sementara sejumlah kalangan bangsa Arab men-jadi kafir (murtad), maka Abu Bakar bertekad untuk memerangi mereka. Di antara mereka ada yang menolak membayar zakat dan tidak kafir serta memberikan takwil mengenai hal itu. Maka Umar y mengatakan, ‘Bagaimana mungkin Anda akan memerangi manusia padahal mereka mengucapkan, la ilaha illallah, sedangkan Rasulullah SAW bersabda, ‘Aku diperintahkan agar memerangi manusia sehingga mereka bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah… hingga akhir hadits?’ Ash-Shiddiq menjawab, ‘Zakat adalah hak harta.’ Ia melanjutkan, ‘Demi Allah, seandainya mereka menolak memberikan kepadaku anak kambing -dalam suatu riwayat: ‘iqalan (zakat umum)- yang dulu mereka serahkan kepada Rasulullah SAW, niscaya aku memerangi mereka karena penolakannya.’ Akhirnya, Umar pun mengikutinya dalam memerangi kaum tersebut.”

Sabdanya,

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتىَّ يَقُوْلُوْا: لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، فَمَنْ قَالَ: لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ فَقَدْ عَصَمَ مِنيِّ مَالَهُ وَنَفْسَهُ إِلاَّ بِحَقِّهِ وَحِسَابُهُ عَلَى اللهِ.

“Aku diperintahkan agar memerangi manusia sehingga mereka berucap: Tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah. Barangsiapa yang mengucapkan: la ilaha illallah, maka terlindung dariku harta dan jiwanya, kecuali dengan haknya, dan perhitungannya diserahkan pada Allah.”

Menurut al-Khaththabi dan selainnya, yang dimaksud dengan ini ialah para penyembah berhala, kaum musyrikin Arab, dan kalangan yang tidak beriman selain Ahlul Kitab. Siapa yang mengikrarkan tauhid, maka tidak cukup untuk diberi perlindungan dengan ucapannya: tiada tuhan kecuali Allah, jika ia mengucapkannya dalam kekafirannya dan pernyataan itu termasuk keyakinannya. Demikian pula disebutkan dalam hadits lainnya, “Dan aku adalah Utusan Allah, mendirikan shalat, dan membayar zakat.” Syaikh Muhyiddin an-Nawawi mengatakan, “Bersamaan dengan ini harus pula beriman kepada semua yang dibawa oleh Rasulullah SAW, sebagaimana disebutkan dalam riwayat lainnya dari Abu Hurairah, ‘Hingga mereka bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan ber-iman kepadaku serta apa yang aku bawa.”

Makna sabdanya, “Dan perhitungan mereka diserahkan pada Allah.” Yakni, mengenai apa yang mereka tutupi dan sembunyikan bukan apa yang mereka tampakkan berupa hukum-hukum yang wajib. Hal itu disebutkan al-Khaththabi seraya mengatakan, “Dalam hadits ini terdapat petunjuk bahwa siapa yang menampakkan Islam dan menyembunyikan kekufuran, maka Islamnya diterima menurut zhahirnya. Ini pendapat kebanyakan ahli ilmu. Imam Malik berpendapat bahwa taubatnya kaum Zindiq tidak diterima, dan ini juga riwayat dari Imam Ahmad.

Dalam sabdanya,

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتىَّ يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَيُؤْمِنُوْا بيِ وَبِمَا جِئْتُ بِهِ.

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka ber-saksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan beriman kepadaku serta apa yang aku bawa.”

Sebagai dalil yang jelas bagi madzhab muhaqqiqin dan jumhur salaf dan khalaf bahwa jika manusia meyakini agama Islam dengan keyakinan yang kuat tanpa ada keraguan, maka itu sudah cukup baginya, dan ia tidak “wajib” mempelajari berbagai argumen para mutakallimin dan mengenal Allah dengannya. Berbeda dengan pi-hak yang mewajibkan hal itu dan menjadikannya sebagai syarat, semisal ahli kiblat. Ini kesalahan yang nyata. Karena yang dimaksud ialah meyakini dengan kuat, dan itu telah diperoleh, serta karena Nabi SAW menilai cukup mengimani apa yang dibawanya dan tidak menyaratkan mengetahuinya dengan argumen. Terbukti dengan ha-dits ini dalam ash-Shahih, yang bila dihimpun keseluruhannya pada pokoknya, menjadi mutawatir dan ilmu yang Qath’i. Wallahu a’lam.

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata:

“Aku diperintahkan.” Yakni, Allah memerintahkan kepada-nya. Fa’il disembunyikan karena sudah dimaklumi. Karena yang memerintahkan dan melarang adalah Allah SWT.

“Untuk memerangi manusia sehingga mereka bersaksi.” Hadits ini bersifat umum, tapi ia dikhususkan dengan firmanNya, “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) pada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah Dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (At-Taubah: 29)

Demikian pula Sunnah menyebutkan bahwa manusia diperangi sehingga mereka masuk Islam atau menyerahkan jizyah (upeti).

Faedah Hadits Ini

1. Wajib memerangi manusia sehingga mereka masuk dalam agama Allah atau memberikan jizyah, berdasarkan hadits ini dan dalil-dalil lainnya yang kami sebutkan.

2. Orang yang menolak membayar zakat boleh diperangi. Karena inilah, Abu Bakar y memerangi orang-orang yang menolak mem-bayar zakat.

3. Jika manusia memeluk agama Islam secara zhahirnya, maka batinnya dipasrahkan kepada Allah. Karena itu, beliau bersabda,

فَإِذَا فَعَلُوْا ذلِكَ عَصَمُوْا مِنيِّ دِمَاءَ هُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ اْلإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ.

“Jika mereka melakukan hal itu, maka terlindung dariku jiwa dan harta mereka, kecuali dengan hak Islam, dan perhitungan mereka diserahkan pada Allah.”

4. Menetapkan hisab, yakni bahwa manusia akan dihisab berdasar-kan amalnya; jika amalnya baik, maka kebaikan yang diperoleh-nya dan jika buruk, maka keburukan yang diperolehnya. Allah SWT berfirman, “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (Az-Zalzalah: 7-8).

CATATAN KAKI:

* Muttafaq ‘alaih: al-Bukhari, no. 50; dan Muslim, no. 22
** Binatang yang tidak diperintahkan untuk membunuhnya, lihat Nawawi, Syarh Muslim 14/241
*** Muttafaq alaih: al-Bukhari, no. 25; Muslim, no. 22.