• Hendaknya orang yang duduk di masjid berniat i’tikaf, karena hal itu sah menurut kami, meskipun dia hanya tinggal sesaat. Bahkan sebagian kawan kami berkata, “I’tikaf orang yang masuk masjid untuk sekedar lewat walaupun tidak duduk adalah sah.” Orang yang lewat hendaknya berniat i’tikaf agar meraih keutamaannya menurut orang yang berpen-dapat demikian, dan yang lebih utama adalah berhenti sejenak kemudian berlalu. (Semua itu adalah pendapat-pendapat yang lemah, tidak didasari pancaran sinar kebenaran, hal itu karena di samping ia memerlukan dalil dan dalil-dalilnya tidak ada, ia juga benar-benar merubah ibadah yang satu ini kepada yang lain yang lebih kecil nilainya.
    1) Sudah dimaklumi -sebelum apa pun- bahwa orang yang pergi ke masjid untuk shalat fardhu atau selainnya, dia hanya berniat untuk sesuatu yang menjadi tujuan kepergiannya. Jika dia menambahkan niat i’tikaf dengan lisan-nya maka hal itu tidak merubah sedikit pun dari hakikat niatnya, meskipun seolah-olah bahwa dia berniat itu dengan hatinya.
    2) Kemudian makna i’tikaf tiada lain kecuali berdiam diri di masjid, dan sudah dimaklumi bahwa orang yang berjalan, orang yang berdiam sesaat dan orang yang shalat fardhu bukan orang yang berdiam di masjid. Bagaimana hal itu dikatakan i’tikaf.
    3) Kemudian i’tikaf tidak sah kecuali di tiga masjid. Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha. Adapun ber-diam diri di selainnya maka ia adalah amal shalih yang mengandung banyak kebaikan akan tetapi ia bukan i’tikaf dan tidak memiliki hukum-hukum i’tikaf?, pent.)
  • Orang yang duduk di dalamnya hendaknya beramar ma’ruf dan nahi mungkar terhadap apa yang dilihatnya, walaupun seseorang tetap diperintahkan untuk melaku-kan itu di luar masjid, hanya saja hal itu lebih ditekankan di dalam masjid demi menjaga, menghormati, memuliakan dan mengagungkan masjid.
  • Sebagian sahabat kami berkata, “Barangsiapa yang masuk masjid dan dia tidak mungkin menunaikan shalat Tahiyatul Masjid, bisa jadi karena hadats atau kesibukan atau sepertinya, maka dianjurkan baginya untuk mengucapkan empat kali,

سُبْحَانَ اللهِ، وَالْحَمْدُ لله، وَلاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ.

“Mahasuci Allah, segala puji hanya bagi Allah, tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah, Allah Mahabesar.”
Ini dikatakan oleh sebagian Salaf dan ia tidak mengapa. (Tahiyatul Masjid adalah dua rakaat, wajib bagi orang yang masuk masjid, dengan niat tidak sekedar lewat berdasar-kan dalil-dalil yang banyak, kedua rakaat ini tidak gugur darinya kecuali jika dia sibuk dengan shalat yang lain di masjid atau karena alasan tertentu yang penting. Jadi tidak disunnahkan menggantinya dengan sesuatu yang lain. Dzikir kepada Allah disunnahkan di setiap kesempatan. Adapun pembatasan anjuran tasbih, tahmid, tahlil dan takbir, empat kali bagi yang tidak mampu tahiyatul masjid maka hal itu adalah perkara yang diada-adakan, tidak berdasar baik dari as-Sunnah, atau ucapan sahabat dan tabiin. Dan Salaf yang disebut oleh an-Nawawi di sini adalah al-Ghazali, penulis al-Ihya’. Aku tidak mengetahui ada orang yang mendahuluinya dalam hal itu. Wallahu a’lam, pent.)

Sumber: dikutip dari Buku “Ensiklopedia Dzikir dan Do’a Al-Imam An-Nawawi Takhrij & Tahqiq: Amir bin Ali Yasin. Diterbitkan oleh: Pustaka Sahifa Jakarta. Telp. (021)84998039. Oleh: Abu Nabiel)