Untuk kali kedua penyidangan terhadap pendeta Katolik Rwanda, Athanasi Sieromba yang berusia 42 tahun ditunda. Pendeta tersebut dituduh telah memprovokasi tindakan pembantaian massal dan genocide terhadap kemanusiaan yang terjadi pada tahun 1994 di mana menelan korban sebanyak 2000 jiwa manusia.

Sebuah sumber di pengadilan pidana internasional, Rwanda (TPIR) yang bermarkas di Arosha, Tanzania, mengatakan bahwa penyidangan telah ditunda untuk waktu yang belum ditentukan.

Sebelumnya, tim advokasi pendeta tersebut menuntut agar penyidangan ditunda dulu karena mereka wajib mengajukan kesaksian sekitar 30 orang ke pengadilan pada persidangan mendatang.

Sementara itu, pendeta Athanasi Sieromba bersikeras bahwa dirinya tidak bersalah dan tuduhan-tuduhan yang mengaitkannya terlibat dalam pembantaian tahun 1994 itu tidak benar. Kejadian tragis itu sendiri terjadi saat 2000 orang dari suku Tutsi berlindung ke gereja yang dipimpinnya, di kawasan Niang untuk meminta bantuan dari keganasan milisi suku Houto. Ternyata, mereka ibarat orang-orang yang berlindung ke bara api yang panas di mana pendeta tersebut akhirnya memerintahkan orang-orangnya yang menjalin kerja sama dengan suku Houto untuk membantai mereka semua di depan dan di dalam gereja.

Setelah pada Juli 1994 suku Tutsi berhasil meraih tampuk kekuasaan, pendeta itu kabur dari Rwanda menuju Republik Demokratik Congo, kemudian ke Kenya hingga akhirnya menetap di bawah perlindungan Vatikan, Italia.

Setelah adanya tekanan yang begitu gencar dari lembaga HAM internasional, banyaklah tuntutan agar mengekstradisinya ke Rwanda untuk diadili namun pihak Vatikan bersikeras membelanya. Baru pada bulan Februari 2002, pendeta tersebut menyerahkan diri kepada pihak pengadilan.

Hingga saat ini, pendeta Sieromba masih mendapatkan dukungan kuat dari pihak Vatikan yang terus mengerahkan para advokat berkaliber internasional guna menyelamatkan pendeta tersebut dari masalah besarnya.

Seperti diketahui bahwa pembantaian massal di Rwanda, Afrika Tengah yang terjadi antara suku Houto dan Tutsi yang terletak di Afrika Tengah pada tahun 1994 itu telah menelan korban sekitar 1 juta jiwa. (ismo/AH)