KOMPETENSI

Definisi dari kompetensi

Arti kompetensi secara bahasa adalah kelayakan. Dalam istilah ilmu fiqih, kompetensi yang bahasa Arabnya adalah ahliyyah berarti kelayakan seseorang untuk menetapkan atau menerima kewajiban. Yakni kelayakannya dalam menerima hak atau menjalankan kewajibannya.

Klasifikasi Kompetensi

Kompetensi diklasifikasikan menjadi dua: Kompetensi terhadap kewajiban dan kompetensi melakukan aktivitas. Masing-masing dari kompetensi tersebut bisa kurang dan bisa sempurna. Sehingga bisa diklasifikasikan ulang menjadi empat:

*Kompetensi Wajib Optimal:

Yakni kelayakan seseorang untuk melaksanakan kewajiban dan menerima haknya. Kelayakan itu sendiri sudah bisa dibuk-tikan apakah dimiliki seseorang atau tidak semenjak kelahirannya hingga ia meninggalkan dunia ini. Masing-masing manusia memi-liki kewajiban sesuai dengan kompetensi umur dan intelektuali-tasnya. Sehingga dibebani kewajiban yang berkaitan dengan hak-hak Allah hak-hak sesama makhluk sesuai dengan tabiat, kemam-puan, pemahaman, intelektualitas, dan karakter daripada kewa-jiban-kewajiban itu sendiri. Sehingga ketika ia sudah akil baligh, kompetensinya untuk melaksanakan kewajiban itu dianggap sudah mumpuni.

* Kompetensi Wajib Non Optimal:

Yakni kelayakan seorang manusia dalam menerima hak-haknya saja, yakni tanpa kelayakan untuk melaksanakan kewa-jibannya sedikitpun. Kelayakan ini sudah dimiliki oleh janin. Yakni dimulai ketika gumpalan darah melekat di rahim dan ber-langsung terus hingga lahir ke dunia. Pada fase ini janin pun sudah memiliki kehormatan untuk mendapatkan hak-haknya seperti pembebasan dari perbudakan, hak waris, wasiat dan nasab. Tetapi belum ada kewajiban apapun yang dibebankan kepadanya.

Yang menjadi sandaran dari adanya kompetensi optimal dan kompetensi non optimal adalah kehormatannya.

* Kompetensi Optimal Beraktivitas

Kompetensi optimal untuk melaksanakan aktivitas adalah kompetensi beroperasi dan beraktivitas. Yakni kelayakan sese-orang untuk melakukan berbagai aktivitas dengan cara yang di-anggap disyariatkan. Sandarannya tentu saja kesempurnaan daya nalar dan kesempurnaan fisik. Itu hanya bisa terjadi bila seseorang sudah mencapai masa akil baligh, tanpa ada akal. Kompetensi inilah yang menjadi barometer dibebankannya hukum syariat terhadap seseorang.

* Kompetensi Non optimal Beraktivitas

Yakni kelayakan seseorang melakukan sebagian aktivitas saja. Barometer kompetensi ini adalah keberadaan seseorang yang mumayyiz dan kompetensi ini akan terus berkembang hingga masa baligh.

Sebagian besar ulama menyatakan bahwa masa tamyiz itu dimulai pada umur tujuh tahun, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :

مُرُوْا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ لِسَبْعٍ

“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat pada usia tujuh tahun.”

Kalau dalam umur sekian seorang anak belum bernalar, tentu memerintahkan mereka itu tidak ada gunanya. Seorang anak kecil boleh saja melaksanakan ibadah dan dinasihati untuk melaksanakan ibadah, namun tidak diharuskan. Ia juga boleh melakukan berbagai aktivitas seperti jual beli di bawah penga-wasan walinya.

Setiap anak yang sudan nalar memiliki kompetensi mela-kukan kewajiban. Karena barometer dari kompetensi ini adalah daya nalar. Kompetensi ini bisa kurang dan bisa optimal, sesuai dengan kadar kemampuan akal seseorang.

Kompetensi optimal itu baru bisa dimiliki oleh orang yang sudah akil baligh dan sehat mental, yang juga tidak tercekal kare-na satu sebab.

Sementara kompetensi non optimal dalam melaksanakan ke-wajiban bisa dimiliki anak yang sudah nalar, meski daya nalarnya belum sempurna. Termasuk anak kecil yang sudah nalar, atau orang bodoh yang masih berakal. Orang yang bodoh sekali yang tidak mampu mengoperasikan harta mereka dengan baik, ditam-bah lagi dengan orang yang linglung misalnya, semuanya adalah orang-orang yang berkompetensi tidak optimal. Meskipun mereka memiliki dasar kemampuan nalar, tetapi mereka tidak memilik daya nalar yang normal dan tidak memiliki kemampuan menga-tur segala sesuatu.

Berbagai Terminologi yang Berkaitan dengan Kompetensi

1. Dzimmah (Kehormatan Dasar)

Dzimmah (kehormatan dasar) secara bahasa kata dzimmah dalam bahasa Arab artinya adalah ‘ahd (perjanjian). Secara termi-nologis artinya adalah satu karakter pada diri seseorang yang menyebabkan dirinya berkemampuan untuk membebani atau terbenani hukum berdasarkan perjanjian yang terjadi antara Allah dengan para hambaNya ketika masih berada di punggung orang tuanya.

Kehormatan asasi ini juga yang menjadi barometer kom-petensi melaksanakan kewajiban sebagaimana telah dijelaskan sebe-lumnya. Hak ini sudah ada pada diri manusia semenjak ia masih berupa janin di perut ibunya hingga ia berjumpa dengan Allah.

2. Akal

Yakni karakter yang membuat seseorang berkompetensi memahami pembicaraan.

Perbedaan antara akal dengan kehormatan dasar adalah bahwa kehormatan dasar manusia hanya menjadikan dirinya berkemampuan membenani dan dibebani hukum. Sementara akal membuat manusia mampu memahami ucapan.

Kalau kehormatan dasar manusia saja sudah menciptakan kompetensi bagi dirinya untuk melaksanakan kewajiban, maka akal menjadi barometer kompetensi dalam menyempurnakan pelaksanaan kewajiban. Kompetensi ini memungkinkan dirinya untuk memahami ucapan. Itulah arti bahwa akal menjadi syarat dari kompetensi melaksanakan kewajiban. Sehingga terlaksa-nanya kewajiban itu amat tergantung kemampuan akal.

3. Taklif (pembebanan hukum)

Arti taklif secara bahasa adalah perintah melakukan hal yang berat. Secara terminologis dalam ilmu fiqih, artinya adalah pem-bebanan hal yang merupakan tugas. Bisa juga dikatakan, ucapan yang mengandung perintah dan larangan.

Barometer dari munculnya at-Taklif adalah kondisi akil dan baligh. Kalau seseorang sudah akil baligh, ia sudah berhak men-dapatkan beban taklif. Tidak dipersyaratkan ia harus mencapai masa baligh sempurna seperti halnya persyaratan dalam kom-petensi optimal dalam melaksanakan kewajiban. Barangsiapa yang sudah mimpi basah dan ia sudah memiliki dasar kemam-puan nalar yang bisa digunakan memahami ucapan, berarti ia sudah mencapai batas mendapatkan pembebanan hukum, meski-pun ia memiliki semacam kelainan mental atau kurang cakap menggunakan uang.

4. Al-Wilayah (Kekuasaan Syar’i)

Al-Wilayah adalah kekuasaan secara syar’i terhadap diri sendiri atau terhadap harta yang membawa konsekuensi terlaksa-nanya aktivitas sesuai ketentuan syariat pula. Syarat adanya ke-kuasaan ini tidak diragukan lagi adalah kompetensi menjalankan kewajiban.

Perbedaan antara kompetensi sendiri dengan kekuasaan syar’i adalah bahwa kompetensi tersebut lebih terorientasikan kepada kelayakan secara khusus, yang dengan kelayakan itu sega-la perjanjian dan aktivitas bisa dilaksanakan. Sementara al-Wilayah atau kekuasaan syar’i itu sendiri yang memungkinkan orang yang berakad menjalankan perjanjiannya, serta menetapkan segala konsekuensi dari perjanjian tersebut.

Faktor munculnya kekuasaan syar’i itu sendiri ada tiga:

Pertama: Dasar landasan. Yakni bahwa secara mendasar ia memang orang yang berhak melakukan perjanjian tersebut, ia adalah pemilik perjanjian. Itu terjadi karena adanya kompetensi optimal dalam menjalankan kewajiban, sehingga ia bisa mengi-katkan diri pada perjanjian tersebut.

Kedua: Kekuasaan syar’i terhadap orang lain. Seperti kekuasaan seorang ayah atau kakek terhadap anak atau cucunya yang masih kecil atau kurang nalarnya. Atau kekuasaan orang yang diwasiati oleh bapak atau kakek terhadap anak asuhannya, atau kekuasaan seorang hakim terhadap mereka semua.

Ketiga: Surat kuasa dari pihak yang berhak.

Kalau ketiga hal ini tidak ada, maka hilanglah kekuasaan syar’i tersebut, sehingga yang kita hadapi adalah sebuah aktivitas (fudhuli) tak berarti. Aktivitas fudhuli adalah segala aktivitas yang sebenarnya syar’i akan tetapi tidak memiliki landasan kekuasaan syar’i yang mendukungnya. Seperti orang yang menjual barang yang bukan miliknya, tanpa ada surat kuasa atau izin resmi dari pemiliknya. Asal hukum dari aktivitas fudhuli semacam itu adalah tergantung pada izin resmi dari orang yang memiliki kekuasaan.