Kedua, tentang cercaan terhadap perayaan musim-musim serta hari-hari besar tertentu yang diada-adakan. Sebenarnya banyak kerancuan dalam agama yang diakibatkannya. Namun ketahuilah bahwa tidak setiap orang, bahkan tidak banyak orang yang mengetahui tingkat kerancuan bid’ah ini, terutama jika perbuatan bid’ah berasal dari jenis ibadah lain yang disyariatkan. Termasuk kaum cerdik cendekia yang biasa mengetahui sebagian kerancuan. Maka hendaknya seseorang mengikuti Kitab dan Sunnah, walaupun tidak harus mengenal semua kemashlahatan dan kemudaratan yang ada padanya. Di sini kami coba mengingatkan sebagian kerancuan yang diakibatkan oleh bid’ah tersebut.

Di antaranya, barangsiapa melakukan perbuatan baru pada suatu hati, misalnya melakukan puasa hari Kamis pertama bulan Rajab dan shalat pada malam Jum’atnya yang oleh orang-orang bodoh dinamakan shalat ‘Raghaib’. Berikut segala perbuatan yang mengikuti perbuatan-perbuatan itu, menyediakan makanan, perhiasan, berlebih-lebihan dalam belanja, dan sebagainya. Tentu saja perbuatan ini akan diikuti oleh keyakinan di dalam hati.

Karena seseorang pasti mempunyai keyakinan bahwa hari itu lebih mulia daripada hari-hari biasanya, maka puasa pada hari itu menjadi sunnah yang melebihi puasa sunnah hari Kamis sebelum atau sesudahnya. Ada keyakinan bahwa malam ini lebih mulia daripada malam-malam Jum’at lainnya dan shalat pada malam itu lebih utama dari pada shalat pada malam-malam Jum’at lainnya secara khusus dan umumnya lebih utama daripada malam-malam lainnya. Sebab jika tidak ada keyakinan di dalam hatinya atau hati para pengikutnya, tentu tidak akan muncul di dalam hati tersebut semangat untuk mengkhususkan hari dan malam itu, karena pembenaran terhadap sesuatu tanpa ada unsur pembenarannya tidak mungkin terjadi.

Pengertian ini oleh syariah Islam telah disahkan sebagai hukum dan dikukuhkan dengan nash dalil atas pengaruh yang ditimbulkannya, masalah ini termasuk dalam kategori munasabah mu’atstsirah (momen yang punya pengaruh terhadap hukum syar’i). Sebab hanya dengan momen yang disertai dengan berbagai korelasi yang cukup menjadi penyebab suatu hukum, ini pendapat orang yang setuju dengan sahnya munasib gharib (momen yang aneh), sebagian mereka para fuqaha dari kalangan sahabat kami atau yang lainnya. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa momen itu tidak bisa mempengaruhi status hukum, maka tidak cukup hanya dengan momen (untuk menentukan suatu hukum), hingga syariah itu sendiri yang membuktikan bahwa suatu sifat memang dapat mempengaruhi suatu hukum, ini pendapat sebagian fuqaha yang juga para sahabat kita dan lainnya. Jika mereka melihat pada suatu hukum yang ditetapkan oleh nash terdapat pengertian yang dapat mempengaruhi hukum lainnya pada kontek lain, mereka mencari sebab (illat) pada hukum yang ditetapkan dengan nash itu.

Ada pula pendapat ketiga yang dikemukakan oleh sebagian besar sahabat kita dan lainnya, bahwa hukum yang ditetapkan dengan nash tidak boleh dicari sebabnya (illat) kecuali terdapat sifat yang oleh syariah telah dijadikannya sebagai sebab bagi hukum tersebut. Dan tidak cukup hanya dengan beberapa sebab untuk menentukan hukum yang sama dengannya atau yang semacamnya.

Ringkasan perbedaan antar beberapa pendapat di atas adalah, jika kita melihat Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) telah menetapkan nash untuk suatu hukum dan menunjukkan juga sebabnya sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ، إِنَّهَا مِنَ الطَّوَّافِيْنَ عَلَيْكُمْ وَالطَّوَّافَاتِ.

“Kucing itu tidaklah najis, ia termasuk yang biasa mondar-mandir di rumah kalian.”

Sebab (illat) dinamakan manshushah (yang ditetapkan dengan nash) atau yang diisyaratkan oleh nash, baik momennya diketahui atau tidak. Maka atas kesepakatan ketiga kelompok di atas, hadits ini diamalkan karena sebab yang telah ditentukan. Walaupun mereka tetap berbeda pendapat, apakah hal ini di-namakan qiyas atau bukan?

Contoh lain yang biasa diucapkan orang, misalnya seorang majikan berkata, “Si Fulan itu jangan dimasukkan ke dalm rumahku, karena ia pelaku bid’ah,” atau karena ia hitam, atau karena yang lain. Dari ucapannya ini bisa dipahami bahwa pelaku bid’ah atau orang hitam siapa saja tidak boleh memasuki rumahnya. Pengertian ini sama dengan ungkapan, “Janganlah kamu masukkan pelaku bid’ah atau orang hitam ke dalam rumahku!” Dalam bab sumpah, kita mengamalkan nash semacam ini. Jika seseorang berkata, “Saya tidak akan mengenakan baju yang diberikan si Fulan itu!” orang itu tergolong melanggar sumpah jika mengenakan baju pemberian yang sama dengan baju pemberian tadi, yaitu harganya atau yang lain.

Jika kita melihat Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) menetapkan hukum namun tidak menyebutkan sebabnya (illat) akan tetapi yang justru disebutkan itu sebab hukum yang sama dengannya atau semacam, misalnya dibolehkannya seorang ayah menikahkan anak gadis kecilnya tanpa izin darinya. Apakah dengan demikian kita berkeyakinan kiranya sebab wilayah untuk meni-kahkan itu karena kecilnya anak gadisnya sebagaimana wilayah harta? Atau kita katakan, dibolehkannya menikahkan gadis kecil mungkin ada sebab lain, yakni kegadisannya misalnya. Sebab tersebut menjadi pengaruh (untuk menentukan hukum). Atau mungkin Syari’ telah menentukan ‘pengaruhnya’ melalui hukum yang ditetapkan dengan nash dan tidak menyebutkannya pada hukum yang sama dengannya.

Kedua kelompok pendapat pertama berpendapat demikian, yang sejatinya hal itu berarti menetapkan illat untuk qiyas. Bahwa sifat ini mempunyai pengaruh terhadap penetapan hukum pada kondisi itu, maka ia juga berpengaruh pada kondisi ini. Sedang kelompok pendapat ketiga tidak sependapat dengan mereka kecuali terdapat dalil khusus untuk menentukan bolehnya satu macam hukum mempunyai sebab (illat) yang bermacam-macam.

Contoh pendapat ini adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, (Melarang seseorang menjual atas jualan saudaranya, atau menawar dagangan di atas dagangan saudaranya, atau melamar di atas lamaran saudaranya).

Penyebab larangan itu adalah rusaknya hubungan sebagaimana sebab yang ada pada sabda beliau,

لاَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا وَلاَ عَلَى خَالَتِهَا، فَإِنَّكُمْ إِذَا فَعَلْتُمْ ذَلِكَ قَطَعْتُمْ أَرْحَامَكُمْ.

“Seorang perempuan tidak boleh dimadu dengan bibi (dari ayahnya), juga tidak boleh dengan bibi (dari ibunya). Sebab jika kalian lakukan hal itu kalian telah memutuskan hubungan rahim kalian.”

Kendatipun pada contoh tersebut disebutkan sebabnya sedang pada contoh sebelumnya tidak disebutkan, karena pada contoh pertama tidak nampak sifat yang sesuai untuk pelarangan itu, berbeda dengan yang kedua.

Contoh untuk dalil khusus yang menetapkan sebab suatu hukum atau yang semacamnya sebagaimana kata orang, “Janganlah kamu memberi sesuatu kepada orang fakir itu, karena ia pelaku bid’ah.” Setelah itu seorang fakir lain yang juga pelaku bid’ah datang dan meminta kepadanya dan orang itu berkata (kepada pembantunya), “Jangan memberi kepadanya!” Padahal bisa orang fakir yang ini musuh orang fakir pertama. Apakah sebab yang ditentukan adalah bid’ahnya atau apa karena ia sering mondar-mandir ke sana? Boleh jadi sebabnya adalah adanya permusuhan.

Jika kita melihat Syari’ menentukan suatu hukum dan kita juga melihat adanya sifat yang sesuai, akan tetapi Syari’ tidak menyebutkan illatnya, pada hukum yang sama dengannya juga tidak disebutkan. Sifat yang demikian disebut dengan ‘munasib gharib’ (momen yang aneh). Karena sifatnya sama dengan sifat yang ditentukan dalam syariah namun nash Syari’ tidak menyebutkan atau mengisyaratkannya sebagai illat.

Kelompok pendapat pertama membolehkan kita mengikutinya sedang dua kelompok lainnya tidak. Yang ini (kelompok pendapat terakhir) mengetahui illat hukum yang ditentukan Syari’ melalui akal kita tanpa adanya dalil yang menunjukkannya. Sedang pendapat sebelumnya mengetahui illat melalui pengqiyasan terhadap ucapan Syari’. Adapun pendapat pertama, mengetahui illat itu melalui ucapan Syari’ langsung.

Illat suatu hukum juga dapat diketahui melalui penyelidikan atau melalui dalil-dalil lain.

Setelah perbedaan pendapat ini jelas bagi kita, permasalahan kita kini tinggal apakah illat yang ditentukan dapat mempengaruhi (penentuan hukum) pada konteks lainnya.

Sebab ketika nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang adanya pengkhususan waktu shalat atau puasa serta membolehkan hal itu jika tidak ada unsur pengkhususannya.

Dalam Shahihnya Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لاَ تَخُصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِيْ، وَلاَ تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَاٍم مِنْ بَيْنِ اْلأَيَّامِ، إِلاَّ أَنْ يَكُوْنَ فِيْ صَوْمٍ يَصُوْمُهُ أَحَدُكُمْ.

“Janganlah kalian mengkhususkan malam Jum’at untuk melakukan shalat di antara malam-malam lainnya dan janganlah mengkhususkan siang hari Jum’at dengan puasa di antara hari-hari lainnya, kecuali jika itu adalah puasa yang biasa dilakukan oleh seseorang di antara kalian.”

Dalam kedua kitab Shahih dari Abi Hurairah yang berkata, “Aku dengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لاَ يَصُوْمَنَّ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِلاَّ يَوْمًا قَبْلَهُ أَوْ يَوْمًا بَعْدَهُ.

‘Janganlah salah seorang berpuasa hari Jum’at selain berpuasa sehari sebelum atau sesudahnya.” Lafadz hadits ini milik Al-Bukhari.

Al-Bukhari meriwayatkan dari Juwairah binti Al-Harits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memasuki rumahnya pada hari Jum’at yang kala itu Juwariyah sedang puasa. Beliau bertanya, ‘Apakah kamu kemarin puasa?’ ia menjawab, ‘Tidak.’ Beliau bertanya lagi, ‘Apakah kamu berniat puasa esok hari?’ ia menjawab, ‘Tidak.’ Beliau bersabda, ‘Berbukalah!”

Ibnu Abbas meriwayatkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

لاَ تَصُوْمُوْا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَحْدَهُ.

“Janganlah kalian hanya berpuasa pada hari Jum’at saja!” (Diriwayatkan Ahmad)

Yang sama dengan contoh tersebut adalah hadits yang dikeluarkan dalam kedua kitab shahih dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda,

لاَ يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ، إِلاَّ أَنْ يَكُوْنَ رَجُلٌ كَانَ يَصُوْمُ صَوْمًا فَلْيَصُمْ ذَلِكَ الْيَوْمِ. لفظ البخاري (يَصُوْمُ عَادَتَهُ).

“Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari, kecuali jika seseorang biasa berpuasa , maka hendaknya ia tetap berpuasa pada hari itu.” Sedangkan pada lafadz Al-Bukhari disebutkan, “Ia biasa melakukan puasa.”

Pengertiannya adalah, dalam konteks puasa Syari’ (Allah) membagi hari menjadi tiga macam:

Ada hari-hari khusus untuk berpuasa, baik wajib sebagaimana Ramadhan atau sunnah sebagaimana puasa Arafah dan Asyura (10 Muharram).

Dilarang berpuasa pada hari-hari tertentu secara mutlak sebagaimana kedua hari raya.

Dilarang mengkhususkan puasa pada hari-hari tertentu sebagaimana hari Jum’at dan bulan Sya’ban.

Pembagian terakhir ini jika dibarengi dengan puasa lainnya jadinya tidak dilarang, namun jika dikhususkan melakukan puasa, itulah yang dilarang, baik dengan sengaja atau tidak, baik diyakini kebenarannya atau tidak.

Sisi kerancuan pengkhususan puasa pada hari Jum’at tanpa dibarengi dengan puasa pada hari lainnya, jika ada, bisa-bisa ia termasuk dalam larangan mutlak sebagaimana hari raya, atau menjadi tidak dilarang seperti hari Arafah. Kerancuan seperti itu tidak terdapat pada hari-hari lainnya. Jika tidak demikian, tentu larangan mengkhususkannya tidak ada gunanya.

Maka jelaslah bahwa kerancuan amal itu muncul karena pengkhususan yang mestinya tidak perlu dikhususkan. Pada setiap sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu terdapat hikmah, baik yang berupa perintah atau larangan. Seperti sabda beliau,
خَالِفُوا الْمُشْرِكِيْنَ.

“Berbedalah dengan orang-orang musyrik!”

Teks larangan mengkhususkan waktu untuk puasa atau shalat mengisyaratkan bahwa kerancuan itu muncul dari pengkhususan. Memang Jum’at merupakan hari mulia, dimana pada hari itu disunnahkan shalat, do’a, dzikir, membaca Al-Qur’an, bersuci, menggunakan wewangian, dan berdandan yang tidak disunnahkan pada hari lainnya. Kemuliaan ini kemudian melahirkan dugaan bahwa berpuasa pada hari Jum’at lebih mulia daripada hari lainnya, juga diyakini bahwa qiyamul-lail pada malamnya sebagaimana puasa pada siangnya, yang mempunyai keutamaan dibanding dengan malam lainnya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang pengkhususan untuk mencegah kerancuan yang memang muncul karena pengkhususan itu.

Demikian halnya dengan penyambutan datangnya bulan Ramadhan dengan melakukan puasa, padahal hal itu tidak ada keutamaannya dalam syariah, oleh karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang menyambut Ramadhan (dengan puasa).

Pengertian ini terdapat pada permasalahan kita, orang-orang mengkhususkan musim-musim tertentu berdasarkan keyakinan adanya keutamaan. Ketika ada pengkhususan untuk waktu tertentu dengan melakukan puasa atau shalat, hal ini sangat erat kaitannya dengan keyakinan adanya keutamaan pada sesuatu yang sejatinya tidak ada. Dilarangnya pengkhususan itu karena munculnya keyakinan adanya keutamaan melalui pengkhususan.

Jika ada yang mengatakan, “Sebenarnya shalat dan puasa pada hari itu sama dengan hari lainnya. Inilah keyakinan saya, meski demikian saya tetap mengkhususkannya.”

Motif pengkhususan ini pasti karena taqlid kepada orang lain, atau karena mengikuti kebiasaan, atau takut dihujat karena tidak melakukannya, atau lainnya. Jika tidak demikian, tentu orang tersebut berbohong. Motif melakukan perbuatan itu tidak keluar dari adanya keyakinan yang salah atau motif lain di luar masalah agama, dan keyakinan seperti itu sesat!

Sebab kita ketahui secara yakin bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beserta para sahabat beliau, juga para ulama tidak menyebutkan keutamaan hari tersebut, juga tidak menyebutkan keutamaan puasa dan shalat khusus pada hari itu barang satu huruf pun. Hadits yang tentang hal itu palsu, dan hal itu terjadi setelah empat abad sejak muncul Islam.

Memang pada waktu tersebut tidak perlu ada keutamaan, sebab jika keutamaan itu tidak diketahui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, juga para sahabat dan tabi’in atau para ulama. Kitapun mestinya lebih tidak tahu lagi tentang agama yang dapat mendekatkan diri kita kepada Allah, dimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga tidak mengetahuinya, demikian pula para sahabat, tabi’in, dan para ulama. Kendatipun misalnya mereka mengetahuinya, tetap hal itu dilarang karena motivasi mereka hanya untuk melakukan amal shalih, juga untuk memberikan pelajaran dan nasihat kepada manusia. Maka mereka tidak mengajarkan kepada seorangpun keutamaan tersebut dan tidak seorangpun yang boleh lancang melakukannya.

Jika dugaan keutamaan memang ada tanpa sepengetahuan Rasulullah dan sebaik-baik generasi tentang sebagian ajaran agama, atau karena mereka menyembunyikan sesuatu dimana syariat dan adat kebiasaan mereka tidak membolehkan mereka menyembunyikan sesuatu atau meninggalkannya. Sedangkan hal yang mengharuskan mereka menyembunyikan atau meninggalkan memang tidak ada; baik dari sisi syariah atau adat kebiasaan bersama syariah. Berarti hal itu tidak ada dan keutamaan itu hanya dugaan semata.

Kemudian perbuatan bid’ah itu tetap dilakukan, baik dengan keyakinan tentang ketersesatannya dalam agama, atau perbuatan itu untuk selain Allah. Maka beragama dengan keyakinan yang sesat atau beragama untuk selain Allah tidak diperkenankan.

Bid’ah ini atau semacamnya mengharuskan dilakukannya perbuatan lain yang tidak diperbolehkan, baik secara tegas atau tidak. Minimal perbuatan yang dilakukan itu, kalau tidak haram, tentu makruh. Kaidah ini ada pada semua perbuatan bid’ah.

Perbuatan bid’ah ini juga dibarengi dengan keyakinan di dalam hati yang berupa pengagungan dan penghormatan. Itu juga batil dan bukan dari ajaran agama Allah.

Jika ada orang yang berkata, “Saya tidak meyakini keutamaannya.” Pada saat itu tidak mungkin baginya menghilangkan rasa pengagungan dan hormat dari hatinya sementara ia tetap mengamalkannya. Sebab pengagungan dan penghormatan tidaklah muncul selain karena adanya perasaan serupa. Jika ia menduga bahwa perbuatan itu dilakukan karena keterpaksaan. Sebenarnya jika jiwa terbebas dari perasaan akan keutamaan sesuatu, tentu tidak ada pengagungan di dalamnya. Barangkali memang ada perasaan lain.

Kalau terdapat keyakinan bahwa perbuatan itu bid’ah, tidak mungkin ada pengagungan dalam diri. Dan karena ada perasaan tertentu terhadap apa yang dituturkan kepadanya tentang perbutan itu, atau karena banyak orang yang mengamalkannya, atau karena Fulan dan Fulan melakukannya, atau nampaknya ada sisi manfaatnya, maka ia pun melakukannya dan mengagungkannya.

Jelaslah kiranya bahwa perbuatan bid’ah ini bertentangan dengan keyakinan, berseberangan dengan apa yang dibawa Rasul dari Allah. Perbuatan ini bisa menimbulkan kemunafikan di dalam hati, walau hanya sekedar kemunafikan ringan.

Keadaan semacam ini sama dengan orang-orang yang mengagungkan Abu Jahal atau Abdullah bin Ubay bin Salul karena kepemimpinannya, hartanya, nasabnya, kebaikannya kepada mereka, dan pengaruhnya terhadap mereka. Lalu jika Rasulullah mencelanya atau diperintahkan untuk menghinanya atau membunuhnya. Maka seseorang harus membersihkan keimanannya atau jika tidak, di dalam hatinya terdapat pertarungan antara taat kepada Rasulullah yang diiringi dengan keyakinan yang benar, atau ia harus mengikuti dorongan jiwanya layaknya orang yang mengikuti semua praduga bohong.

Siapa yang mengamati hal ini, ia akan tahu bahwa pada perbutan bid’ah terdapat racun yang dapat melemahkan keimanan. Benar kiranya orang berkata, “Sesungguhnya bid’ah lahir dari kekafiran.”

Pengertian yang saya sebutkan tadi berlaku untuk semua jenis ibadah yang dilarang oleh Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) dalam syariat Islam. Jika seseorang diperbolehkan menduga adanya keistemawaan pada sesuatu, misalnya shalat di kuburan, menyembelih binatang di sisi patung atau semacam itu. Walaupun misalnya seseorang tidak meyakini adanya keistimewaan, akan tetapi perbuatannya itu sendiri menunjukkan adanya dugaan keistimewaan. Sebagaimana menetapkan keutamaan dalam syariat Islam itu menjadi satu tujuan, maka menghilangkan keutamaan yang tidak disyariatkan juga menjadi tujuan.

Jika ada yang mengatakan, “Inilah sanggahannya, bahwa perayaan Maulid dan sebagainya dilakukan oleh para ulama, orang-orang mulia, dan orang-orang jujur, atau selain mereka. Pada perbutan tersebut juga terdapat banyak manfaat yang dirasakan seorang Mukmin di dalam hatinya atau di luar hatinya; kesucian hati dan kelembutannya, hilangnya bekas-bekas dosa dari hatinya, dikabulkannya doanya, atau yang lain. Disamping adanya dalil-dalil umum yang menunjukkan keutamaan shalat dan puasa sebagaimana firman Allah Ta’ala,

“Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang, seorang hamba ketika dia mengerjakan shalat.” (Al-‘Alaq: 9-10).

Juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

اَلصَّلاَةُ نُوْرٌ وَبُرْهَانٌ.

“Shalat adalah cahaya dan petunjuk.”
Atau dalil lain.

Kita katakan, pastilah yang melakukan itu seorang penta’wil, mujtahid, atau yang hanya ikut-ikutan. Masing-masing mendapat pahala sesuai dengan kebaikan niatnya dan amal yang ditetapkan oleh syariat Islam. Ia juga diampuni jika pada perbutannya terdapat bid’ah, jika memang ia bisa dimaklumi atas ijtihad dan taklidnya. Demikian pula adanya beberapa manfaat sebagaimana yang kami sebutkan yang memang ada dan dikandung oleh amal yang disyariatkan semisal puasa, shalat, membaca Al-Qur’an, ruku’, sujud, niat yang bagus terhadap Allah, ketaatan, dan doa kepada Allah. Ada pula hal-hal makruh yang dikandung di dalamnya. Namun yang makruh itu kemudian ditiadakan berkat ampunan dari Allah, bukan karena ijtihad pelakunya atau taklidnya. Kaidah ini berlaku juga bagi manfaat yang ada pada setiap bid’ah.

Namun kadar manfaat yang ada tidak menghalangi adanya pelarangan terhadapnya serta sisi kemakruhannya, juga adanya alternatif lain dengan ibadah yang disyariatkan dan jauh dari bid’ah. Sebagaimana orang-orang yang menambahkan adzan pada dua hari raya merupakan dugaan semata. Sedangkan orang-orang Yahudi dan Nashrani juga mendapatkan manfaat pada ibadah mereka. Hal itu dikarenakan di antara ibadah yang mereka lakukan ada jenis-jenis yang disyariatkan, sebagaimana yang mereka katakan bahwa di antara ibadah mereka ada yang mengandung unsur kebenaran sebagai peninggalan dari para nabi. Meski demikian ibadah mereka tidak wajib diamalkan dan kata-kata mereka tidak perlu diriwayatkan karena semua bid’ah pasti mengandung keburukan yang mendominasi di samping kebaikan. Jika ternyata kebaikan yang mendominasi, tentu syariah Islam tidak akan mengabaikannya.

Oleh karena itu, kita menghukuminya sebagai perbuatan bid’ah karena dosanya lebih banyak daripada manfaatnya, itulah yang menjadi maksud dengan pelarangan ini. Saya katakan, “Mungkin dosanya bisa dihapus dari seseorang karena adanya unsur ijtihad atau lainnya sebagaimana hilangnya nama riba atau sari anggur yang masih menjadi perselisihan dari sebagian mujtahidin salaf. Meski demikian harus ada penjelasan tentang kesalahannya agar orang yang menghalalkannya tidak diikuti dan agar seseorang tidak malas untuk mencari ilmu yang benar tentang hakikat permasalahan itu.

Keterangan ini kiranya cukup untuk menjelaskan bahwa bid’ah semacam ini mengandung kerusakan akidah atau kondisi yang berseberangan dengan risalah yang dibawa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di samping ada pula sisi manfaat yang terdominasi dan tidak layak menjadi pertimbangan (untuk menghalalkannya).

Lalu ada yang mengatakan secara rinci, “Jika dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kemuliaan.” Sebenarnya hal itu telah ditinggalkan pula oleh orang-orang pada zaman mereka sendiri dengan keyakian akan keharamannya, juga diingkari oleh yang lain. Sedangkan mereka yang meninggalkannya dan mengingkarinya jika memang tidak lebih mulia dengan orang-orang yang melakukan itu tentu mereka tidak lebih hina. Atau jika mereka ternyata lebih hina pastilah ada pertentangan di kalangan ulama, lalu permasalahannya dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya, sementara Kitab dan Sunnah Rasul-Nya berpihak kepada orang yang mengingkarinya, bukan kepada orang yang merekomendasi-kannya.

Sedangkan sebagian besar para ulama terdahulu yang memang lebih mulia dari yang belakangan berpihak kepada orang-orang yang meninggalkan dan mengingkarinya. Adapun manfaat yang dikandungnya, sebenarnya telah dikalahkan oleh sisi kerusakan bid’ah yang lebih mendominasi sebagaimana yang telah dijelaskan, baik dari sisi akidah atau lainnya; misalnya adanya hati yang lebih mendapatkan kenikmatan dan merasa puas dengan perbuatan bid’ah itu daripada dengan perbuatan-perbuatan sunnah. Sampai-sampai Anda menemukan seorang awam berantusias untuk mengamalkannya padahal ia tidak melakukan hal yang sama untuk shalat Tarawih dan shalat lima waktu.

Di antara sisi kerusakan lainnya adalah, karena perbuatan bid’ah ini para ulama dan orang awam menjadi berkurang amal mereka terhadap kewajiban dan sunnah, semangat mereka juga menjadi kendor. Anda mendapatkan seseorang begitu bersemangat melakukan perbuatan ini, ia begitu ikhlas dan total, ia kerjakan demi perbuatan ini dengan kadar yang tidak dilakukannya pada kewajiban dan sunnah. Sampai-sampai ia melakukan bid’ah ini layaknya sebuah ibadah, sementara ia melakukan kewajiban dan sunnah sebagai kebiasaan dan rutinitas belaka. Ini jelas berlawanan dengan agama, karena perbuatan ini seseorang kehilangan ampunan dan rahmat yang ada di balik kewajiban dan sunnah, juga kehilangan kelembutan, kesucian, kekhusyu’an, dikabulkannya doa, dan lezatnya munajat serta kebaikan lainnya. Jika tidak kehilangan semua itu, tentu ia kehilangan kesempurna-annya. Di antaranya, berubahnya yang ma’ruf menjadi mungkar dan sebaliknya, yang mungkar menjadi ma’ruf. Pada gilirannya hal itu akan mengakibatkan bodohnya banyak orang terhadap agama para rasul dan tersebarnya tumbuhan kejahiliyahan.

Di antara kerusakan lainnya, adanya bermacam-macam perbuatan yang tidak terpuji menurut syariah Islam. Misalnya, mengakhirkan waktu berbuka, melakukan shalat Isya’ di akhir waktu dan tanpa kehadiran hati, bersegera melakukan perbuatan bid’ah itu, adanya sujud usai salam bukan karena lupa, adanya bermacam-macam dzikir dan wirid yang tidak jelas asal-usulnya, dan kerusakan lainnya yang tidak dapat diketahui kecuali oleh orang yang terang mata hatinya dan bersih jiwanya.

Di antara kerusakan lain, tabiat menjadi rusak dan tidak ada semangat mengikuti sunnah serta kehilangan jalan yang lurus. Karena ketika melakukan perbuatan bid’ah itu jiwa dijangkiti semacam kesombongan, lalu ia mencoba untuk keluar dari segala ibadah dan sunnah sebisa mungkin. Benarlah kiranya yang dikatakan Abu Utsman An-Naisaburi, “Seseorang tidak meninggal-kan sebagian dari sunnah kecuali karena keseombongan dalam jiwanya.” Lalu hal ini berakibat juga kepada orang lain, jadinya hakikat mengikuti sunnah Rasulullah terlepas dari hati, muncul kesombongan dan giliran berikutnya kelemahan iman merusak agamanya, atau hampir merusak. Sementara mereka tetap mengira telah melakukan kebaikan.

Hal lain lagi, sebagaimana telah disinggung sebelumnya tentang kerusakan yang ada pada perayaan hari-hari besar ahli kitab. Dimana kedua sisi kerusakan ada padanya; adanya kemiripan pada kerusakan itu dan yang tidak ada kemiripannya.

Pembicaraan tentang bid’ah mestinya tidak dibahas pada kesempatan semacam ini, kami belum dapat memuaskan jiwa melalui pemaparan ini dan kami hanya menyebutkan sebagian hari-hari besar saja.

Telah kami singgung, hari raya adalah nama tempat, waktu, dan perkumpulan. Tiga hal ini dapat memunculkan berbagai perbuatan.

Dari sisi waktu terbagi menjadi tiga macam, yang di antara-nya terdapat bid’ah hari besar dari sisi tempat dan perbuatan.

Pertama, Hari yang pada dasarnya syariah tidak meng-agungkannya dan tidak pernah disebutkan pada zaman ulama salaf dan tidak ada pengagungan pada mereka. Sebagaimana hari Kamis pertama bulan Rajab dan malam Jum’atnya yang disebut dengan ‘Raghaib’. Sebab pengagungan hari dan malam tersebut terjadi setelah empat abad dalam Islam. Terdapat riwayat hadits maudhu’ (palsu) menurut kesepakatan pada ulama yang isinya tentang keutamaan puasa pada hari itu. Sedang shalat pada hari itu dinamakan oleh orang-orang bodoh itu dengan shalat ‘Raghaib’. Para ulama kontemporer dari kalangan sahabat kami menyebutkan hal itu, demikian pula ulama lain.

Yang benar adalah pendapat para ulama ahli ilmu, yakni larangan mengkhususkan puasa pada hari itu serta larangan shalat yang diada-adakan pada malamnya. Juga larangan melakukan segala sesuatu yang bertujuan untuk mengagungkan hari itu, misalnya menyediakan makanan, pamer dandanan, dan lain-lain. Agar hari ini sama dengan hari-hari lainnya dan agar tidak ada keistimewaan pada hari tersebut.

Kedua, Hari yang terjadi di dalamnya suatu kejadian sebagaimana yang terjadi pada hari lainnya, tanpa ada pengharusan untuk menjadikan hari tersebut sebagai tradisi musiman, ulama salaf juga tidak mengagungkannya. Seperti halnya tanggal delapan belas Dzul Hijjah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkhutbah di dekat selokan pada sebuah kebun sepulangnya dari haji Wada’. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkhutbah dan menasihati agar berpegang kepada Kitab Allah, juga berpesan agar berbuat bagi kepada ahlu bait beliau. Sebagaimana yang diriwayatkan Muslim dalam Shahih-nya dari Zaid bin Arqam radhiallahu ‘anhu.

Para pengikut hawa nafsu memberi tambahan atas peristiwa itu sampai-sampai menimbulkan dugaan bahwa beliau menjanjikan kekhalifahan kepada Ali dengan nash yang jelas, setelah digelarkan alas untuknya dan ditempatkan di tempat tidur yang tinggi. Mereka juga menyebutkan cerita sesat dan perbuatan yang dapat dipastikan bahwa beliau tidak mungkin melakukan hal itu. Mereka mengira bahwa para sahabat menyembunyikan nash ini dan merampas hak orang yang diwasiati (Ali), mereka menjadi fasik dan kafir, kecuali beberapa orang saja.

Sebagaimana kebiasaan yang Allah tetapkan berlaku bagi anak cucu Adam, juga tradisi menjaga amanah dan agama kaum itu, dan kewajiban untuk menjelaskan kebenaran dari syariat Islam. Semua itu melahirkan keyakinan yang pasti, bahwa apa yang mereka tuduhkan tidak ada wujudnya.

Tujuan pembahasan ini bukan masalah Imamah (dalam Syiah), namun tujuannya adalah, bahwa menjadikan hari semacam ini sebagai hari raya adalah perkara baru yang tidak ada dasarnya. Para ulama salaf, demikian pula ahli bait, atau selain mereka menjadikan hari ini (18 Dzul Hijjah) sebagai hari raya, hingga dilakukan berbagai macam perbuatan. Hari raya dalam Islam merupakan syariah agama yang harus diikuti dan bukannya untuk dibid’ahkan. Sementara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri seringkali menyampaikan khutbah, janji, mengalami berbagai peristiwa pada hari-hari yang berlainan. Sebagaimana peristiwa Badar, Hunain, Al-Khandaq, Fathu Makkah, peristiwa hijrah, masuknya beliau ke Madinah. Juga khutbah yang bermacam-macam saat beliau menjelaskan dasar-dasar agama. Lalu peristiwa-peristiwa itu tidak harus dijadikan sebagai hari raya sebagaimana hari-hari lainnya. Yang melakukan perbuatan semacam ini justru orang-orang Nashrani yang menjadikan peristiwa-peristiwa yang dialami nabi Isa sebagai hari raya, atau orang-orang Yahudi.

Hari raya adalah syariah agama, apa yang disyariatkan Allah harus diikuti, jika tidak disyariatkan, berarti hal itu kejadian baru yang bukan dari agama.

Demikian pula apa yang dilakukan sebagian orang, yang boleh jadi hal itu untuk menyaingi orang Nashrani dengan perayaan kelahiran Isa ‘alais salam (natal), atau sebagai wujud kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan pengagungan untuk beliau. Bisa jadi memang Allah memberikan pahala kepada mereka atas kecintaan dan ijtihad semacam ini, bukan atas perbuatan bid’ahnya.{ket. Tambahan : Ini catatan Syaikh Muhammad Hamid Faqi rahimahullah, ia berkata, “Bagaimana mungkin ia mendapatkan pahala atas perbuatan bid’ahnya ini? Sedangkan mereka berseberangan dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam serta para sahabat beliau? Jika ada yang mengatakan, karena mereka berijtihad dan salah dalam ijtihad itu. Kami katakan, ijtihad macam apakah ini?, apakah nash-nash yang jelas memberikan peluang untuk ijtihad? Sementara perkara ini sudah sangat jelas dan gamblang, perbuatan ini hanyalah dominasi jahiliyah dan hawa nafsu yang membawa manusia untuk berpaling dari petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada agama Yahudi dan Nashrani maupun paganisme. Mereka itu berhak mendapatkan laknat dan murka Allah. Apakah kecintaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diwujudkan dengan cara berpaling dari petunjuk beliau dan membenci kebenaran serta kebaikan bagi manusia yang beliau bawa dari Tuhannya? Juga dengan bersegera menyambut ajaran paganisme, Yahudi, dan Nashrani? Siapakah sejatinya orang-orang yang menghidupkan hari-hari besar kaum paganisme itu? Apakah mereka itu Imam Maliki, Syafi’i, Ahmad, Abu Hanifah, kedua Sufyan, atau selain mereka, para ulama pembawa petunjuk radhiallahu ‘anhu ? Hingga bisa dimaklumi atas kesalahan mereka? Sekali-kali tidak, justru yang melakukan perayaan hari-hari raya yang penuh dengan kesyirikan ini orang-orang ubaidiyah dimana para ulama sepakat bahwa mereka orang-orang Zindiq, bahkan mereka lebih kafir daripada Yahudi dan Nashrani. Mereka menjadi bencana bagi kaum Muslimin. Melalui tangan dan celotehan mereka tersebarlah racun tasawwuf yang jelek itu hingga banyak di antara kaum Muslimin yang menyimpang dari jalan yang lurus. Sampai-sampai kaum Muslimin termasuk yang mendapatkan kemurkaan dan tersesat. Sedangkan ucapan Syaikhul Islam sendiri bertentangan dengan apa yang mereka duga. Sebab cinta dan pengagungan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan kewajiban bagi setiap Muslim. Dan hal itu dilakukan dengan cara mengikuti apa yang beliau bawa dari Allah sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Katakanlah, ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali Imran: 31). Juga firman Allah lainnya, “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka, ‘Marilah kalian (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul,’ niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. Maka bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu mushibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah, ‘Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna.’ Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. Dan kami tidak mengutus seseorang rasul, melainkan untuk dita`ati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisa’: 60-65). Allah berfirman lagi, “Dan mereka berkata: “Kami telah beriman kepada Allah dan rasul, dan kami mentaati (keduanya).” Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman. Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya, agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang. Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada rasul dengan patuh. Apakah (ketidak datangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan rasul-Nya berlaku zalim kepada mereka? Sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang zalim. Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan: “Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (An-Nur: 47-51).} Yakni dengan menjadikan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai hari besar padahal masih terjadi perbedaan pendapat mengenai hari kelahiran beliau. Hal itu tidak pernah dilakukan ulama salaf padahal ke-sempatan untuk itu ada dan tidak ada penghalang untuk melakukannya. Jika terdapat kebaikan dalam hal ini, atau jika perbuatan merupakan kebenaran, tentunya ulama salaf radhiallahu ‘anhum itu lebih berhak melakukannya daripada kita, sebab kecintaan mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih besar daripada kecintaan kita. Mereka juga lebih berantusias terhadap kebaikan daripada kita. Namun sempurnanya kecintaan dan pengagungan mereka lakukan dengan mengikuti beliau, mentaati, menjalankan perintah beliau, meng-hidupkan sunnah beliau secara lahir dan batin, menyebarkan ajaran yang beliau bawa, dan berjihad menegakkan itu semua dengan hati, tangan, serta harta. Inilah jalan yang ditempuh generasi pertama, para Muhajirin dan Anshar, juga orang-orang yang mengikuti kebaikan mereka.

Sedangkan orang-orang yang memiliki antusiasme terhadap bid’ah semacam ini, dengan niat baik dan ijtihad mereka karena mengharapkan pahala. Ternyata Anda mendapati mereka malas melakukan perintah dengan semangat. Kondisi mereka sama dengan orang yang meninggalkan Al-Qur’an dan tidak membaca-nya, atau membacanya namun tidak dengan penghayatan, atau sama dengan orang yang menghias masjid namun tidak melakukan shalat di dalamnya, atau melakukan shalat namun hanya sekali waktu, atau sama dengan orang yang mengoleksi tasbih, sajadah yang berhias indah, atau hiasan-hiasan lahir lainnya yang tidak disyariatkan. Di samping semua itu diiringi dengan sikap riya’, sombong, dan menyibukkan diri dari yang disyariatkan, juga merusak kondisi pelakunya sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits,

مَا سَاءَ عَمَلُ أُمَّةٍ قَطٌّ إِلاَّ زَخْرَفُوْا مَسَاجِدَهُمْ.

“Sama sekali perbuatan umat tidak buruk selain jika mereka menghiasi masjid-masjid.”

Ketahuilah bahwa di antara perbuatan yang terdapat sisi kebaikannya, tapi juga mengandung keburukan adalah bid’ah. Perbuatan semacam itu buruk dan bertentangan dengan agama Allah secara keseluruhan, sebagaimana layaknya orang-orang munafik dan fasik.

Pada akhir zaman banyak orang yang dijangkiti masalah ini, oleh karena itu hendaknya Anda memperhatikan dua adab di bawah ini:

Pertama, agar Anda bersungguh-sungguh dalam berpegang teguh dengan sunnah secara lahir dan batin sepenuh hati Anda atau orang yang berada dalam kewenangan Anda, kenalkan yang ma’ruf dan tolak yang mungkar.

Kedua, agar Anda mengajak manusia kepada sunnah sebisa mungkin. Jika Anda melihat orang telah melakukan perbuatan bid’ah dan tidak meninggalkannya kecuali semakin menimbulkan kerusakan yang lebih besar dari sebelumnya, maka jangan Anda mengajaknya meninggalkan kemungkaran yang menimbulkan kemungkaran yang lebih buruk lagi, atau jangan mengajaknya meninggalkan perbuatan makruh yang menyebabkannya meninggalkan kewajiban atau perbuatan sunnah dimana meninggalkannya lebih berbahaya daripada perbuatan makruh yang mereka lakukan.

Namun jika terdapat semacam kebaikan pada perbuatan bid’ah, ubahlah ia untuk melakukan kebaikan yang disyariatkan sebisa mungkin. Sebab jiwa manusia tidak akan meninggalkan sesuatu kecuali ada penggantinya, tidak selayaknya seseorang meninggalkan kebaikan kecuali ia mendapatkan kebaikan serupa dari lainnya, atau yang lebih baik darinya. Karena jika para pelaku perbuatan bid’ah dicaci karena perbuatannya, demikian pula orang-orang yang meninggalkan sunnah, mereka juga tercela. Karena di antara sunnah-sunnah itu ada yang wajib secara mutlak ada pula yang wajib dengan syarat. Seperti halnya shalat-shalat sunnah, barangsiapa ingin melakukannya, ia wajib melaksanakannya dengan rukun-rukunnya. Sebagaimana orang yang melakukan dosa-dosa, wajib baginya melakukan kafarat, qadha’, taubat, dan perbuatan baik yang menghapus perbuatan buruk. Demikian pula wajib bagi seorang pemimpin, hakim, mufti, atau wali untuk mengembalikan hak-hak orang lain. Demikian pula bagi para penuntut ilmu, atau orang yang meninggalkan ibadah-ibadah sunnah, wajib menunaikan kewajiban-kewajibannya.

Di antaranya ada pula yang tidak boleh terus-menerus ditinggalkan, ada pula yang tidak boleh ditinggalkan dan wajib dilakukan oleh para pemimpin saja, sementara orang-orang awam wajib diajari dan dinasihati serta diajak melakukan sunnah-sunnah itu.

Banyak di antara orang-orang yang mengingkari ibadah-ibadah bid’ah ternyata malas melakukan ibadah-ibadah sunnah atau memerintahkan orang lain untuk melakukannya.

Bisa jadi kondisi sebagian mereka lebih buruk daripada orang-orang yang biasa melakukan kebiasaan-kebiasaan makruh. Sedangkan agama adalah mengajak kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Dan hal itu tidak akan bisa tegak kecuali dengan ‘sejawatnya’, seseorang tidak dilarang melakukan kemungkaran kecuali ia juga diajak melakukan yang ma’ruf, sebagaimana ia diperintahkan menyembah Allah juga dilarang menyembah selain-Nya.

Sedangkan inti urusan adalah syahadat ‘La Ilaha Illlallah’. Sementara jiwa manusia diciptakan untuk berbuat, bukan untuk dibiarkan saja, ketika suatu perbuatan terlihat ditinggalkan, tentu untuk tujuan lainnya. Jika jiwa tidak melakukan amal shalih, pasti ia tidak meninggalkan perbuatan buruk atau yang kurang. Jika amal-amal buruk itu dapat merusak amal shalih, dilaranglah perbuatan semcam itu untuk menjaga amal shalih tersebut.

Bisa jadi seseorang mengagungkan Maulid dan menjadikannya sebagai perayaan rutin mendapatkan pahala yang besar karena kebagusan niatnya serta penghormatannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana yang telah saya kemukakan, bahwa suatu perbuatan kadang dianggap baik oleh sebagian orang tetapi dianggap buruk oleh seorang mukmin yang benar. Ketika Imam Ahmad ditanya tentang penguasa yang menyumbangkan sekitar seribu Dinar untuk satu mushaf Al-Qur’an, ia menjawab, “Biarkan saja dia, sesungguhnya itu emas paling baik yang diinfakkannya.” Kendatipun pendapat madzhabnya tidak membolehkan memberi hiasan untuk mushaf Al-Qur’an. Bisa jadi ada di antara ulama yang mengartikan sumbangan itu untuk mengganti kertas atau tulisannya.

Sebenarnya bukan itu yang dimaksudkan Ahmad, pada perbuatan tersebut terdapat sisi kemaslahatannya, namun juga terdapat sisi kerusakannya. Oleh karena itu ia dihukumi makruh.

Jika tidak melakukan itu, tentu mereka melakukan kerusakan yang sama sekali tidak ada sisi kebaikannya. Misalnya penguasa tadi menyumbangkannya bagi pengadaan buku-buku bejat, buku tentang kencan malam, syair-syair, atau hikmah Persia dan Romawi.

Oleh karena itu gunakan kecerdasan Anda untuk mengetahui hakikat agama ini, lihatlah sisi kemaslahatan dan sisi kerusakan yang dikandung oleh setiap perbuatan, yang pada gilirannya Anda akan menemukan tingkatan-tingkatan ma’ruf dan tingkatan-tingkatan mungkar. Hingga Anda dapat memprioritaskan hal-hal penting dan tidak tercampuraduk. Inilah hakikat perbuatan yang diemban para rasul. Sebab mengetahui kelebihan di antara jenis yang ma’ruf atau jenis kemungkaran, kelebihan di antara dalil dan yang bukan dalil akan banyak memberikan kemudahan. Apabila terjadi pencampuradukan antara tingkatan-tingkatan ma’ruf, kemungkaran, atau dalil, kerjakan yang paling ma’ruf dan ajaklah orang lain, ingkarilah yang paling mungkar, dan pilihlah dalil terkuat. Inilah yang dilakukan para ulama pilihan terhadap agama ini.

Terdapat tiga tingkatan amal:

Pertama, Amal shalih yang sama sekali tidak ada sisi makruhnya.

Kedua, Amal shalih dari sebagian sisinya atau mayoritasnya, bisa jadi karena kebersihan niat dalam melakukannya atau ia mengandung banyak hal-hal yang disyariatkan.

Ketiga, Yang memang tidak ada sisi kebaikannya, bisa jadi karena meninggalkan amal shalih sama sekali atau karena perbuatan itu rusak belaka.

Yang pertama adalah sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lahir dan batin, ucapan dan perbuatan dalam perkara-perkara amaliyah dan ilmiah. Inilah yang wajib dipelajari dan diajarkan serta mengajak orang lain untuk melaksanakannya. Melakukan perbuatan ini dalam syariah Islam bisa jadi sebagai kewajiban atau sunnah.

Yang biasa melakukan hal ini adalah kaum Muslimin generasi pertama, para Muhajirin dan Anshar berikut orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan.

Adapun tingkatan kedua, ini banyak dilakukan para ulama kekinian yang memiliki ilmu dan mereka ahli ibadah, demikian pula orang-orang awamnya. Mereka itu lebih baik daripada orang yang tidak melakukan amal shalih sama sekali, baik yang disyariatkan atau tidak. Atau lebih baik daripada orang yang hanya melakukan perbuatan haram, seperti kekafiran, dusta, khianat, dan kebodohan. Perbuatan yang masuk dalam kategori ini sangat banyak, barangsiapa melakukan ibadah yang mengan-dung unsur kemakruhan, seperti puasa wishal (puasa terus menerus selain Ramadhan), menjauhi hubungan seks (dengan istrinya) atau semacamnya. Atau untuk tujuan menghidupkan malam yang sama sekali tidak ada kekhususannya seperti malam pertama bulan Rajab atau semacamnya. Bisa jadi orang tersebut lebih baik daripada para penganggur yang tidak punya semangat sama sekali untuk melakukan ibadah dan ketaatan. Bahkan banyak di antara mereka yang mengingkari ini semua, namun mereka juga tidak melakukan ibadah kepada Allah. Seperti mencari ilmu yang bermanfaat dan melakukan amal shalih. Mereka tidak menyukainya dan tidak punya keinginan untuk melakukannya sama sekali. Mereka juga tidak mungkin melakukan apa yang disyariatkan, maka segala upaya mereka kerahkan untuk hal-hal ini. Kondisi mereka sebenarnya mengingkari yang disyaritkan dan yang tidak disyariatkan, sementara ucapan mereka hanya meng-ingkari yang disyariatkan.

Dengan demikian, seorang Mukmin adalah yang mengerjakan yang ma’ruf dan menolak kemungkaran. Kesepakan dengan orang-orang munafik secara lahir tidak menghalanginya untuk melakukan yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Perbedaannya dengan sebagian ulama dalam berbagai masalah juga tidak menghalanginya untuk mengenal yang ma’ruf dan mengamalkannya.

Ketiga, Hari yang dimuliakan di dalam syariah Islam, seperti hari Asyura’, hari Arafah, kedua hari raya, sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, sepuluh hari pertama bulan Dzul Hijjah, siang dan malam Ju’mat, sepuluh hari pertama bulan Muharram, dan waktu-waktu mulia lainnya.

Pada jenis ini terkadang diyakini sebagai kemuliaan, lalu lahirlah perbuatan-perbuatan mungkar yang dilarang dalam agama. Sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang pada hari Asyura’, mereka sengaja dahaga, bersedih, berkumpul, dan perbuatan baru lainnya yang tidak disyariatkan Allah maupun Rasul-Nya, juga tidak seorangpun dari ulama salaf yang mela-kukannya. Tidak juga dari kalangan ahli bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atau selain mereka.( Lihat, Iqtidha’us Shirathal Mustaqim, hal. 267-299.)

Dengan demikian nampaklah kebohongan dan penipuan yang dilakukan Maliki. Ia menukil satu pernyataan dan meninggalkan sebagian lainnya yang menjadi hujjah melawan dirinya. Ia pernah menukil parkataan Syaikhul Islam,

“Demikian pula apa yang dilakukan sebagian orang, yang boleh jadi hal itu untuk menyaingi orang Nashrani dengan perayaan kelahiran Isa ‘alaihis salam (natal), atau sebagai wujud kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan pengagungan untuk beliau. Bisa jadi memang Allah memberikan pahala kepada mereka atas kecintaan dan ijtihad semacam ini, bukan atas perbuatan bid’ahnya.”

Lalu, Maliki pindah ke perkataan lainnya yang kelihatannya berupa dukungan bagi kebohongan dan penipuannya. Ia meninggalkan ucapan lainnya yang mestinya demikian,

“Bisa jadi memang Allah memberikan pahala kepada mereka atas kecintaan dan ijtihad semacam ini, bukan atas perbuatan bid’ahnya. Yakni dengan menjadikan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai hari besar padahal masih terjadi perbedaan pendapat mengenai hari kelahiran beliau. Hal itu tidak pernah dilakukan ulama salaf padahal kesempatan untuk itu ada dan tidak ada penghalang untuk melakukannya. Jika terdapat kebaikan dalam hal ini, atau jika perbuatan merupakan kebenaran, tentunya ulama salaf radhiallahu ‘anhum itu lebih berhak melakukannya daripada kita.” Sampai akhir ucapan beliau sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

Lalu apa arti ucapan Syaikh dan apa pula arti ‘apa yang dilakukan sebagian orang?’ Beliau rahimahullah memaparkan beberapa perbuatan bid’ah yang di antaranya bid’ah perayaan Maulid Nabi, beliau berkata, “Misalnya, apa yang dilakukan sebagian orang .. dst”, yakni dengan menjadikan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai hari besar. Beliau juga sebenarnya bersikap moderat terhadap orang-orang yang merayakan Maulid, jika maksud mereka adalah mencintai dan mengagungkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau tegaskan bahwa bisa jadi Allah memberikan pahala kepada mereka karena niat baik semacam ini, dan bukan karena melakukan perbuatan bid’ah. Sebab orang-orang yang merayakan Maulid tentu saja berdosa dan akan diadzab karena dosa bid’ah mereka, yakni adzab neraka sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ، وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.

“Setiap hal baru (dalam agama) adalah bid’ah, setiap bid’ah tersesat, dan setiap yang tersesat di dalam neraka.”

Kondisi mereka mirip dengan orang yang melaksanakan shalat tapi meninggalkan puasa. Inilah arti ucapan beliau rahimahullah,

“Bisa jadi seseorang mengagungkan Maulid dan menjadikannya sebagai perayaan rutin mendapatkan pahala yang besar karena kebagusan niatnya serta pengagungannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Anda juga melihatnya lebih baik daripada orang lain. Orang Mukmin yang melakukan hal positip tidak bisa disalahkan.”

Perkataan Syaikh ini sebenarnya ditujukan kepada orang yang melakukan perayaan Maulid Nabi, baik karena ta’wil atau taklid. Adapun orang yang mengetahui bahwa perbuatan itu bid’ah lalu ia melakukannya walaupun dengan tujuan yang mulia, atau karena kecintaannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, orang tersebut berdosa dan tidak akan mendapatkan pahala, ia tercela dan tidak terpuji karena ia telah sengaja melakukan apa yang diharamkan Allah berdasarkan ilmu, bahwa perbuatan itu bid’ah dan tidak ada restu dari Allah. Semua nash dari Kitab dan Sunnah menegaskan buruknya perbuatan ini dan siksaan yang mesti dialami, bukan pahala sebagaimana yang dipahami oleh orang yang menta-dabburi nash-nash itu dan mengetahui larangan melakukan bid’ah serta ancaman keras bagi pelakunya.

Mestinya ucapan Syaikh itu dipahami demikian, sebagaimana pada ucapan beliau pada konteks lainnya dan telah disinggung di atas. Kaidah syariah menegaskan bahwa yang global dicairkan dengan yang jelas dan buram dijelaskan dengan yang terang lagi pasti. Bukannya sebaliknya, dan hal itu tidak ada yang melakukannya selain orang-orang yang cenderung kepada kesesatan sebagaimana firman Allah Ta’ala,

“Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya.” (Ali Imran: 6).

Allah Maha Penolong.