Para ulama ahli Hadits membagi hadits dari sisi diterima dan ditolaknya menjadi dua macam; yaitu hadits maqbul (yang diterima/diamalkan) dan hadits mardud (tertolak/tidak diamalkan).

Hadits Maqbul

Hadits maqbul ini juga bertingkat-tingkat, dan secara global hadits ini ada dua macam; yaitu shahih dan hasan. Namun masing-masing jenis ini terbagi menjadi dua, yaitu shahih lidzatihi dan shahih lighoirihi untuk jenis yang pertama. Dan hadits hasan lidzatihi dan hasan lighoirihi untuk jenis hadits hasan.

Hadits Shahih

Definisi

Secara bahasa shahih (sehat) adalah lawan kata dari saqiim (yang sakit), dan ia dipakai untuk makna hakekat (makna yang sebenarnya) dalam pembahasan yang berkaitan dengan anggota badan, dan dipakai untuk makna majaz untuk pembahasan dalam hadits atau bidang-bidang yang lain.

Adapun secara istilah adalah hadits yang sanadnya tersambung, dinukil oleh perawi yang adil, dan dhabith dari perawi-perawi lain yang sama dengannya (maksudnya adil dan dhabith) sampai akhir sanad dan terbebas dari syudzudz dan ‘ilah.

Penjelasan Dari Definisi

Di dalam definisi di atas terdapat beberapa hal yang harus terpenuhi dalam suatu hadits agar menjadi suatu hadits yang shahih. Hal-hal tersebut adalah:

Tersambungnya sanad, maksudnya adalah bahwa setiap perawi dari para perawi hadits tersebut telah menerima hadits secara langsung dari perawi yang di atasnya dari awal sanad sampai akhir sanad.

’Adalatur Ruwah (keadilan perawi), maksudnya adalah bahwa setiap dari para perawi hadits tersebut disifati dengan keislaman, kedewasaan (baligh), berakal, tidak fasiq (seseorang dikatakan fasiq ketika melakukan dosa-dosa besar atau terus-menerus dalam dosa kecil), dan juga tidak melakukan sesuatu yang merusak muru’ah (kehormatan diri).

Dhabth Ruwah (Dhabithnya perawi), maksudnya adalah bahwa setiap dari para perawi hadits tersebut memiliki kesempurnaan dalam ketelitian (ketepatan dan tidak keliru dalam meriwayatkan hadits), baik ketelitian tersebut dalam hafalan maupun dalam tulisan.

’Adamu Syudzudz, maksudnya adalah bahwa hadits tersebut tidak syadz. Syadz adalah bentuk kata tunggal dari kata Syudzudz yang artinya penyelisihan seorang perawi tsiqah (kredibel) terhadap perawi yang lebih tsiqah darinya.

’Adamul ‘Illah, maksudnya adalah bahwa hadits tersebut tidak memiliki ’illah. ’illah adalah sebab yang samar dan tersembunyi, yang bisa merusak keshahihan sebuah hadits, sekalipun secara sekilas hadits tersebut terlihat shahih.

Syaratnya

Dari penjelasan definisi di atas maka jelaslah bahwa syarat-syarat yang wajib terpenuhi dalam suatu hadits agar ia bisa dinyatakan sebagai hadits shahih ada lima ;Bersambungnya sanad, keadilan para perawi, dhabthnya perawi, tidak syadz dan tidak memiliki ‘illah.

Maka ketika salah satu syarat ini tidak terpenuhi, maka hadits tersebut tidak bisa dinyatakan lagi sebagai hadits shahih.

Contohnya

Hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari rahimahullah dalam Shahihnya, no hadits (731), yang mana Imam al-Bukhari rahimahullah berkata dalam hadits tersebut:

حدثنا عبد الله بن يوسف قال أخبرنا مالك عن ابن شهاب عن محمد بن جبير بن مطعم عن أبيه قال
: سمعت الرسول صلى الله عليه و سلم قرأ في المغرب بالطور

”Telah mengabarkan kepada kami ‘Abdullah bin Yusuf, ia berkata tela mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im dari bapaknya berkata:”Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca surat ath-Thur dalam sholat Maghrib.”(HR. Imam al-Bukhari Kitabul Shifatish Shalat bab al-Jahr fiil Maghrib no. 731)

Maka hadits di atas adalah hadits shahih, karena:

Sanadnya tersambung, karena setiap perawi dari masing-masing perawi dalam hadits tersebut telah mendengar hadits dari gurunya (secara langsung). Adapun ‘an’anah (periwayatan hadits dari gurunya dengan ucapan ‘an) yang diucapkan oleh Malik, Ibnu Syihab dan Ibnu Jubair maka dianggap sebagai sanad yang tersambung karena mereka bukanlah perawi yang mudallis.

Para perawinya adalah orang-orang yang adil dan dhabith, berikut ini komentar para ulama ahli hadits tentang mereka; ‘Abdullah bin Yusuf: Tsiqah mutqin, Malik bin Anas: Imam Hafizh, Ibnu Syihab:faqih hafizh dan disepakati kemutqinannya, Muhammad bin Jubair bin Muth’im: tsiqah, Jubair bin Muth’im: seorang shahabat.

Tidak syadz, karena tidak bertentangan dengan hadits yang lebih kuat darinya.

Tidak memiliki ‘illah.

Hukumnya

Wajib hukumnya mengamalkan hadits shahih berdasarkan ijma’ (kesepakatan) ulama ahli hadits, dan ulama yang keilmuannya kredibel dari kalangan ahli ushul dan fikih. Maka hadits shahih adalah salah satu hujjah (dalil) dari sekian hujjah dalam syari’at Islam. Dan, tidak dibolehkan bagi seorang muslim untuk tidak mengamalkannya.

(Sumber: تيسير مصطلح الحديث karya Dr. Mahmud ath-Thahhan. Maktabah Ma’arif, Riyadh, halaman 33-36. Diposting oleh Abu Yusuf Sujono)