Diriwayatkan di dalam Shahih al-Bukhari, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia memberitakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, artinya,
“Nabi Sulaiman ‘alaihissalam mempunyai sebanyak enam puluh orang isteri. Suatu ketika, dia berkata, “Pada malam ini aku akan menggauli semua isteriku, sehingga semuanya akan hamil dan melahirkan seorang anak lelaki yang hebat dalam menunggang kuda (tentara berkuda) untuk berjihad di jalan Allah. Ternyata mereka (isterinya itu) semua tidak mengandung kecuali seorang saja, itu pun hanya melahirkan anak yang cacat. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kalau Nabi Sulaiman alaihissalam mengecualikan (berkata Insya’Allah) maka setiap isterinya akan melahirkan seorang anak lelaki yang hebat dalam menunggang kuda untuk berjihad di jalan Allah.” (Shahih al-Bukhari)

Dalam riwayat lain lagi, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu memberitakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, artinya,
“Ada dua orang wanita sedang bersama dengan anak mereka masing-masing, tiba-tiba seekor serigala melarikan anak salah seorang di antara mereka. Seorang di antara mereka berkata kepada yang lain, “Yang dilarikan serigala itu adalah anakmu?” Yang seorang lagi mengatakan, “Tidak, anakmulah yang telah dibawa itu?” Lalu mereka berdua meminta pengadilan kepada Nabi Daud ‘alaihissalam, maka Nabi Daud ‘alaihissalam memenangkan yang lebih tua. Kemudian keduanya menghadap Nabi Sulaiman bin Daud ‘alaihissalam lalu menceritakan perkara yang telah terjadi, maka Nabi Sulaiman berkata, “Ambilkan pisau, aku akan membelah anak ini untuk kamu berdua.” Wanita yang lebih muda berkata, “Janganlah engkau lakukan itu, semoga Allah merahmatimu, anak ini adalah anaknya.” Maka Sulaiman ‘alaihissalam memutuskan bahwa anak itu milik wanita yang lebih muda.” (Shahih al-Bukhari)

Di antara pelajaran yang dapat kita ambil dari dua hadits di atas adalah bahwa hendaknya kita tidak memastikan untuk merencanakan sesuatu tanpa mengatakan insya’Allah. Juga tentang kecerdikan dan keadilan Nabi Sulaiman di dalam memutuskan perkara serta gambaran bagaimana mudahnya rakyat untuk bertemu penguasa ketika ada sebuah keperluan, tanpa melewati birokrasi dan prosedur yang berliku-liku.

Banyak kisah tentang Nabiyullah Sulaiman ’alahissalam yang selama berabad-abad menjadi misteri ilmu pengetahuan. Di antaranya adalah kemampuannya berbicara dengan hewan. Al-Qur’an memberitahukan bahwa pada suatu ketika, Nabiyullah Sulaiman ’alahissalam mendengar percakapan semut. Bagaimana beliau dapat memahami percakapan semut dan bagaimana ia tahu bahwa Nabi Sulaiman ’alahissalam dan pasukannya akan melewati pemukiman semut-semut itu, ilmu pengetahuan modern belum berhasil mengungkapnya. Namun karena yang memberitahu kan adalah al-Qur’an, kita wajib mempercayainya. Tentang hikmah yang terkandung di dalam kisah Nabi Sulaiman ’alahissalam ini, Allah Ta’ala berfirman,
“Semua kisah para Rasul, Kami ceritakan kepadamu; yaitu kisah-kisah yang dengannya, Kami teguhkan hatimu; telah datang kepadamu kebenaran (al-haq) serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.” (QS Hud : 120)

Dari firman Allah ini dapat diketahui bahwa salah satu hikmah Allah mengisahkan perjuangan para Nabi dan Rasul Allah, termasuk Nabi Sulaiman ’alahissalam adalah untuk meneguhkan hati. Kisah Nabi Sulaiman ’alahissalam, misalnya, kalau diperhatikan secara mendalam, banyak sekali pelajaran berharga yang diperoleh di dalamnya. Nabi Sulaiman adalah salah seorang putra Nabi Daud ’alahissalam, yang menonjol di antara saudara-saudaranya dalam hal kebaikan, kecerdasan serta kealiman. Allah menganugerahinya banyak kelebihan. Dalam usia muda, Sulaiman telah memberi saran terhadap ayahnya menyangkut persoalan masyarakat. Pada usia dewasa, dialah yang ditunjuk menjadi raja menggantikan sang ayah.

Nabi Sulaiman ’alahissalam menjadi raja bukan karena politik uang (money politics), bukan pula dengan mengemis-ngemis agar diberi jabatan. Juga tidak melalui sistim pemilihan yang curang atau setelah berkoalisi dengan pihak yang curang. Salah satu keistimewaan yang dianugerahkan Allah kepadanya ialah wilayah kekuasaannya mencakup masyarakat jin. Artinya rakyat Nabi Sulaiman ’alahissalam bukan hanya manusia, tetapi juga bangsa jin, bahkan hewan, termasuk Hudhud, (sejenis burung). Dan Nabi Sulaiman ’alahissalam dalam hal ini dapat berkomunikasi dengan baik dengan bangsa jin dan binatang itu.

Dikisahkan dalam al Qur’an (silakan buka surah an-Naml 15-44), bahwa pada suatu hari Nabi Sulaiman ’alahissalam mengumpulkan pasukannya yang terdiri dari manusia dan jin serta binatang. Hudhud, si burung terlambat datang. Ketika Nabi Sulaiman menegurnya, burung itu beralasan bahwa dirinya baru datang dari negeri Saba, kini berada di sekitar wilayah Yaman. Hudhud memberitahukan bahwa Saba adalah negeri makmur yang diperintah seorang ratu bernama Bilqis (Bulqais). Seperti diketahui, Nabi Sulaiman ’alahissalam, selain Nabi, sekaligus juga penguasa, yang untuk ukuran masa kini dapat dikatakan presiden. Maka begitu Hudhud menginformasikan kepadanya bahwa Ratu Saba’ menyembah matahari dan bukan beribadah kepada Allah, Sulaiman ’alahissalam yang penguasa itu langsung tampil mencegahnya. Bahkan dengan nada cukup berani dan tegas, ia memerintahkan sang Ratu masuk Islam, walau pun pada awalnya hanya melalui sepucuk surat da’wah. Isinya adalah seruan untuk takluk dan mengikuti jalan Islam yang ditempuh Sulaiman. Terjemahan isi surat da’wah yang beliau tulis ialah, “Dari Sulaiman. Bismillaahirrahmaanirrahim. Janganlah Anda (hai Ratu Saba’) bersikap sombong terhadap Saya, dan datangilah saya dalam keadaan Muslim…”

Melalui surat da’wahnya itu, Nabi Sulaiman ’alahissalam memerintahkan sang Ratu agar bersedia menjadi Muslim atau masuk Islam. Semula Bilqis menolak dengan mengirim utusan yang membawa hadiah untuk Nabi Sulaiman ’alahissalam. Namun Nabi Sulaiman ’alahissalam menolak hadiah itu dan menyuruh sang utusan membawanya kembali. Mungkin merasa penasaran dengan cerita kejayaan kerajaan Sulaiman, Bilqis berencana akan mengunjungi kerajaan Bani Israel itu. Dewan Penasihat Kerajaan ternyata tak melarang rencana sang Ratu.

Mengetahui rencana kunjungan itu, Nabi Sulaiman ’alahissalam bermaksud membuat kejutan. Ia membuka sayembara di kalangan rakyatnya untuk memindahkan singgasana Ratu Bilqis ke istananya. Jin yang disebut bernama Ifrit menawarkan diri melakukan tugas itu. Namun Jin itu dikalahkan manusia. Seorang alim mampu memindahkan singgasana tersebut dalam sekejap mata, fantastis kedengarannya. Maka, ketika Bilqis tiba di Istana Sulaiman ’alahissalam, ia terkejut, heran dan terkagum-kagum melihat istana Nabi Sulaiman ’alahissalam. Kemegahan istana tersebut tercermin pada kilau lantainya yang membuat Bilqis terperangah. Ia mengangkat kain panjangnya, menyangka kilauan itu adalah air. Al-Qur’an sengaja tidak mengungkapkan secara detail tentang peristiwa itu dan kronologis da’wah yang dilakukan oleh Nabi Sulaiman ’alahissalam terhadap Ratu Saba’. Al-Qur’an hanya mengisahkan bahwa da’wah Nabi Sulaiman ’alahissalam terhadap sang Kepala Pemerintahan yang bernama Bilqis atau Bulqais itu rupanya berhasil akurat. Sang Ratu akhirnya masuk Islam di hadapan sang raja. Andaikata Nabi Sulaiman ’alahissalam bukan seorang Nabi dan Penguasa, belum tentu sang Ratu sudi dida’wahi dan masuk Islam.

Kalau saja Nabi Sulaiman ’alahissalam orang biasa, bukan Nabi dan bukan pula seorang Raja, ada kemungkinan, ia tak berani mengirimkan surat setegas dan seberani itu kepada seorang penguasa seperti Ratu Saba’. Banyak sekali Da’i yang bukan penguasa tak dapat berbuat apa-apa ketika di depan matanya, ia menyaksikan suatu kemungkaran, yang sangat perlu diubah. Bukan tak mau tampil mencegahnya, tetapi kekuatan dan kekuasaan untuk itu tidak ada pada dirinya. Yang dapat dilakukannya ketika menyaksikan kemungkaran di depan matanya itu paling hanya membencinya dan berdoa di dalam hati agar Allah memperbaiki kemungkaran itu.

Ini artinya, presiden atau penguasa yang mempunyai jiwa da’wah alias shalih sangatlah perlu. Atau Muslim yang hatinya benar-benar merasa bertanggungjawab menda’wahi rakyat, jika mampu maka perlu untuk menjadi pemimpin. Sekali lagi, yang penting ialah hatinya merasa bertanggung jawab terhadap kelancaran da’wah, dan bukan predikat serta gelar yang disandang di depan namanya.

Alangkah beruntungnya umat Islam Indonesia, kalau mempunyai pemimpin, yang bukan hanya sekedar merupakan Kepala Pemerintahan, tetapi sekaligus mau tampil sebagai da’i dalam arti yang sebenarnya, dan bukan da’i yang hanya sekedar naik turun podium berceramah, dan bukan pula manusia yang di depan namanya tercantum predikat atau gelar tertentu, tetapi hatinya sama sekali tak mau menegakkan kebenaran Islam. Sebab sudah maklum bahwa anjuran orang yang berpredikat presiden atau seorang penguasa akan didengarkan orang. Berbeda dengan da’i pada umumnya yang bukan seorang pemimpin pemerintahan. Kalangan elit bukan saja enggan mendengarkan, bahkan mungkin ‘alergi’. Sebab, salah satu kecenderungan orang ialah lebih tertarik kepada penampilan lahir daripada kualitas ruh.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengatakan bahwa jihad yang paling utama ialah mengemukakan yang haq di hadapan penguasa zalim. Yang namanya da’i atau siapa yang faham Islam, tentu tahu hadits ini. Namun ketika berhadapan dengan penguasa yang zalim, sedikit sekali da’i yang dapat melakukan nahi munkar terhadapnya. Dan kalau sang penguasa yang zalim itu memberinya hadiah, maka jarang da’i yang berani menolaknya. Apa lagi kalau secara ekonomi, sang da’i miskin, sedang ‘aqidahnya tidak terlalu tegar.

Tetapi keadaan mungkin tidak akan demikian, kalau sang da’i adalah seorang penguasa atau pemimpin. Ketika Nabi Sulaiman ’alahissalam sebagai penguasa memberikan ultimatum kepada ratu Saba’, agar menemuinya untuk masuk Islam, dengan catatan, kalau tidak, Nabi Sulaiman ’alahissalam akan memerangi negerinya, maka sang Ratu mengirimkan hadiah kepada Nabi Sulaiman ’alahissalam, dengan tujuan untuk menguji siapa Sulaiman sebenarnya, benarkah Nabi atau bukan. Karena pada umumnya seorang raja akan senang jika ada negeri lain yang memberinya hadiah atau upeti. Tetapi Nabi Sulaiman ’alahissalam tak mau melakukan perbuatan hina seperti itu. Sebab ia seorang penguasa, mempunyai harta banyak, dan seorang hamba Allah yang beriman teguh dan berjiwa besar. Maka seorang penguasa yang berjiwa da’wah sangat dibutuhkan untuk kepentingan ummat dan da’wah islamiyah. Lain halnya kalau motivasi menjadi penguasa itu hanya semata-mata ingin menjadikan jabatan itu sebagai komoditi nonmigas untuk memperkaya diri sendiri. Wallahu a’lam bish shawab.

Muhammad Hanafi Maksum, praktisi dakwah di wilayah Sumatera.