Pertanyaan:

Saya pernah membaca bahwa wanita hamil dan menyusui boleh berbuka puasa dan hanya diperintahkan untuk memberi makan orang miskin tanpa qadha. Landasannya adalah riwayat dari Ibnu Umar radhiallahu’anhuma tentang masalah tersebut. Bagaimana kebenaran riwayat tersebut? Mohon penjelasannya..!

Jawaban:

Segala puji hanya bagi Allah.

Para ulama berbeda pendapat tentang orang hamil dan menyusui apabila mereka tidak berpuasa;

Pendapat pertama, keduanya hanya wajib mengqadha. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah rahimahullah. Yang berpendapat seperti ini dari kalangan shahabat adalah Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu.

Pendapaat kedua, kalau dia khawatir terhadap dirinya, maka dia hanya wajib mengqadhanya. Kalau dia khawatir terhadap anaknya maka dia harus mengqadha dan memberi makan orang miskin untuk setiap hari dia tidak berpuasa. Imam syafi’i dan Imam Ahmad memilih pendapat ini. Al-Jassos menyatakan bahwa ini adalah pendapat Ibnu Umar radhiallahu’anhuma

Pendapat ketiga, keduanya hanya memberi makan saja tanpa mengqadha. Pendapat ini bersumber dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma. Ibnu Qudamah menyatakan dalam kitab Al-Mughni (3/37) bahwa pendapat ini juga berasal dari Ibnu Umar radhiallahu’anhuma.

Diriwayatkan dari Abu Dawud (2318) dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma berkaitan dengan ayat

وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ فِدْيَة طَعَامُ مِسْكِيْن

dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. (QS. Al-Baqarah: 184)

Ayat ini memberikan keringanan kepada orang tua renta, baik laki maupun perempuan, apabila merasa berat berpuasa dia boleh berbuka dan memberi makan satu orang miskin untuk sehari yang ditinggalkan. Wanita mengandung dan menyusui kalau keduanya khawatir -Abu Dawud berkata: Maksudnya kalau khawatir kepada anak-anaknya- juga boleh berbuka dan (sebagai gantinya) memberi makan (orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan).” Imam Nawawi berkata: Sanadnya hasan.

Al-Bazzar juga meriwayatkannya, dan dia menambahkan diakhirnya: “Ibnu Abbas berkata kepada seorang ibu yang sedang mengandung: Engkau sama seperti orang yang tidak mampu berpuasa, maka kamu harus membayar fidyah dan tidak perlu mengqadhanya.” Sanadnya di shahihkan oleh Ad-Daruquthni sebagaimana dikatakan oleh Al-Hafidz dalam kitab Talkhisul Habir.

Al-Jashshosh dalam kitabnya, Ahkamul Qur’an, menjelaskan bahwa para shahabat dalam masalah ini berbeda pendapat. Beliau berkata: “Para ulama’ salaf berbeda pendapat dalam hal ini menjadi tiga pendapat.

Ali radhiallahu’anhu berkata: Keduanya (wanita hamil dan menyusui) harus mengqadha jika berbuka dan tidak membayar fidyah.

Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma berkata: Keduanya membayar fidyah tanpa harus mengqadha’.

Ibnu Umar berpendapat: Keduanya harus membayar fidyah dan mengqadha’nya.”

Dalil Pendapat yang mengatakan harus mengqadha saja adalah:

1. Apa yang diriwayatkan oleh Nasa’i (2274) dari Anas radhiallahu’anhu dari Nabi sallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah menggugurkan bagi musafir separuh shalat dan puasa. Begitu pula bagi orang hamil dan menyusui”. Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Shahih Nasa’i.

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menjadikan hukum wanita hamil dan menyusui sama seperti musafir. Maka, jika musafir membatalkan puasanya, kemudian wajib baginya mengqadha, begitu pula wanita hamil dan menyusui. Lihat kitab Ahkamul Qur’an, karangan Al-Jashshos.

2. Wanita hamil dan menyusui diqiyaskan (dianalogikan) dengan orang sakit. Maka, jika orang sakit berbuka dan mengqadha’, begitu juga wanita hamil dan menyusui. (lihat Al-Mughni, 3/37, dan Al-Majmu’, 6/273).

Pendapat ini dipilih oleh sebagiana ulama.

Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata dalam Majmu’ fatawa (15/225):

Wanita hamil dan menyusui hukumnya seperti orang sakit. Kalau dia merasa kepayahan maka dia dibolehkan berbuka dan harus mengqadhanya ketika mampu, seperti halnya orang sakit. Sebagian ulama berpendapat, cukup memberikan makan saja, pengganti dari setiap hari yang ditinggalkan, satu orang miskin. Akan tetapi pendapat ini lemah dan marjuh (tidak kuat). Yang benar adalah keduanya, yaitu harus mengqadha seperti halnya musafir dan orang sakit. Berdasarkan firman Allah, artinya, “Dan siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain “. (QS. Al-Baqarah: 184)

Beliau juga berkata dalam Majmu’ Fatawa (15/227):

“Yang benar bahwa orang hamil dan menyusui harus mengqadha’nya. Sementara yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiallahu’anhum bahwa orang hamil dan menyusui cukup memberi makan (orang miskin) adalah pendapat yang lemah dan bertentangan dengan dalil agama.

Allah berfirman, artinya, “Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185)

Jadi, orang hamil dan menyusui dianalogikan dengan orang sakit, bukan dianalogikan dengan orang tua renta yang lemah. Maka, dihukumi seperti orang sakit yang harus mengqadhanya ketika mampu meskipun terlambat melaksanakannya.”

Dinyatakan dalam Fatawa Lajnah Daimah (10/220):

“Jika wanita hamil khawatir terhadap jiwa dan janinnya apabila dia berpuasa, maka dia boleh berbuka dan harus mengqadha’nya. Masalah ini seperti permasalahan orang sakit yang tidak kuat berpuasa atau takut membahayakan dirinya ketika berpuasa.

Allah berfirman, artinya, “Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185).

Begitu pula dengan wanita menyusui, kalau dia khawatir kepada dirinya atau kepada anaknya apabila berpuasa, maka dia dibolehkan berbuka dan harus mengqadha saja.”

Dinyatakan pula dalam Fatwa Lajnah Daimah (10/226):

“Adapun orang hamil, dia tetap wajib berpuasa. Kecuali kalau dia khawatir terhadap diri dan janinnya apabila berpuasa, maka dia diberi keringanan untuk berbuka dan mengqadhanya setelah melahirkan dan suci dari nifas. Tidak diterima jika memberikan makan (orang miskin) sebagai pengganti puasa. Dia harus berpuasa (sebagai penggantinya), tidak perlu memberi makan.

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata dalam kitab Syarhul Mumti’, setelah beliau menyebutkan perbedaan pendapat para ulama’ dalam masalah ini, sampai terakhir beliau memilih pendapat bahwa keduanya wajib mengqada saja. Beliau berkata: “Pendapat ini, menurutku, adalah yang paling kuat . Karena kondisi yang paling dekat dengan keduanya adalah seperti orang sakit dan musafir, maka harus mengqadhanya saja.

Wallahu’alam

[Sumber: Soal Jawab tentang Islam di www.islamqa.com]