Al-Harits al-Muhasibi berkata, “Muraqabah adalah pengetahuan hati tentang kedekatan Rabb”

Seorang muslim hendaknya selalu merasakan muroqobatullah (merasa selalu dalam pengawasan Allah) setiap saat. Hendaklah dalam hidupnya penuh dengan keyakinan bahwa Allah subhanahu wata’ala senantiasa melihatnya, mengetahui rahasianya, dan Dia Maha Tahu terhadap segala perbuatannya, bahkan sampai pada hal yang sekecil-kecilnya.

Sehingga dengan keyakinan seperti itu, maka jiwanya merasa terliputi dalam pengawasan Allah subhanahu wata’ala, dia akan merasa betah berdzikir kepada-Nya, akan senang melaksana kan keta’atan kepada-Nya dan dia pun akan berpaling dari selain-Nya.

Sifat muraqabah merupakan dasar komitmen seorang muslim pada Islam. Sifat muraqabah merupakan sumber kekuatan seorang muslim di saat sendirian dan di tengah keramaian. Jika terlintas dalam pikirannya untuk melakukan maksiat, maka dia akan segera ingat Allah subhanahu wata’ala, bahwa Dia hadir mengawasinya, lalu dengan serta merta dia akan membuang pikiran ke arah maksiat itu sejauh-jauhnya, agar dirinya terhindar dan terbebas dari perbuatan maksiat tersebut dan dia berazzam untuk tidak mendekatinya lagi. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Dan Dia bersama kamu di mana pun kamu berada dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat” (QS. Al-Hadid:4)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Makna ayat ini adalah, bahwa Allah subhanahu wata’ala Maha Mengawasi dan menyaksikan semua perbuatan, kapan saja dan di mana saja kamu melakukannya, di daratan maupun di lautan, pada waktu malam maupun siang hari, di rumah tempat tinggalmu maupun di tempat umum yang terbuka, segala sesuatu ada dalam ilmu-Nya, semuanya dalam penglihatan dan pendengaran-Nya. Dia mendengar apa yang kamu ucapkan dan melihat keberadaanmu, Dia Maha Mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu tampakkan, Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Ingatlah, sesungguhnya (orang munafik itu) memalingkan dada mereka untuk menyembunyikan diri daripadanya (Muhammad). Ingatlah, diwaktu mereka menyelimuti dirinya dengan kain, Dia (Allah) mengetahui apa yang mereka sembunyikan dan apa yang mereka tampakkan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati.” (QS. Hud:5)

Dan juga firman-Nya, artinya,
“Sama saja (bagi Rabb kalian), siapa di antaramu yang merahasiakan ucapannya, dan siapa yang berterus terang dengan ucapan itu, dan siapa yang bersembunyi di malam hari dan yang berjalan (menampakkan diri) di siang hari.” (QS. Ar-Ra’ad:10)

Sunggguh Tiada Ilah yang hak disembah selain Dia dan tiada Rabb selain Dia. Di dalam shahih Imam Bukhari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan makna “Ihsan” tatkala beliau ditanya oleh Jibril ‘alaihissalam tentang hal itu,
“Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka yakinilah bahwa sesungguhnya Dia Maha Melihatmu”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya oleh seseorang, “Wahai Rasulullah apa itu “tazkiyatun nufus?” Maka dijawab oleh beliau, “(Tazkiyatun nufus itu ialah) hendaklah dia mengetahui (menyadari) bahwa Allah bersamanya di mana pun dia berada”. (HR. Thabrani & Baihaqi, dan hadist ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani)

Juga seorang shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ‘Ubadah Bin ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya keimanan yang paling utama adalah engkau menyadari bahwa Allah bersamamu di mana pun kamu berada”. (HR. Thabrani).

Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, Rasululllah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Sungguh aku mengetahui beberapa kaum dari ummatku yang datang pada hari Kiamat kelak dengan membawa kebaikan-kebaikan seperti gunung Tihamah yang putih, lalu Allah jadikan kebaikan-kebaikannya tersebut seperti debu yang berterbangan, mereka itu adalah saudara-saudaramu, dari jenis kulitmu, dan mereka menjadikan malamnya sebagaimana kalian menjadikannya, akan tetapi mereka kaum yang apabila dalam keadaan sepi mereka melanggar larangan-larangan Allah.” (HR. Ibnu Majah, hadits ini dishahihkan oleh Syekh Al-Al-Bani)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
“Suatu perbuatan yang tidak kamu sukai bila manusia melihat perbuatanmu itu, maka janganlah kamu melakukannya apabila kamu berada dalam keadaan sepi”. (HR. Ibnu Hibban dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadits yang lain,
“Ada tiga hal yang mencelakakan seseorang dan ada tiga hal yang menyelamatkan seseorang. Tiga hal yang mencelakakan, 1. Kekikiran yang dita’ati, 2. Hawa Nafsu yang diikuti, 3. Kekaguman terhadap diri sendiri. Sedangkan tiga hal yang menyelamatkan, 1. Takut kepada Allah dalam keadaan sepi maupun di tengah keramaian, 2. Seimbang/sederhana menjalani hidup ini baik dalam keadaan fakir maupun kaya, 3. Adil dalam menghukumi baik ketika sedang marah (benci) maupun senang (ridho)”. (HR. al-Bazzar diringkas dari Ash-Shahihah)

Imam Ahmad rahimahullah pernah menuturkan, “Jika pada suatu hari engkau sedang sepi dalam kesendirian, maka janganlah engkau mengatakan, “Aku sedang sendirian”, tapi katakanlah, “Aku sedang diawasi oleh Dzat Yang Maha Mengawasi”. Janganlah sekali-kali engkau mengira bahwa Allah subhanahu wata’ala itu dapat saja berbuat lengah sesaat dan janganlah pula engkau sekali-kali mengira bahwa apa yang kamu sembunyikan itu tersembunyi pula bagi Allah.”

Kiat Menghidupkan Muroqobah dalam Jiwa Seorang Mukmin.

DR. Sayyid Muhammad Nuh dalam Taujih Nabawy, beliau menerangkan dua sarana untuk menghidupkan muroqobah:

Pertama: Memiliki keyakinan yang sempurna bahwa sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala Maha Mengetahui segala yang dirahasiakan dan segala yang nyata, Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Dia Allah yang disembah di langit dan di bumi, Dia Mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu tampakkan, dan Dia Mengetahui apa yang kamu usahakan” (QS. Al-An’am:3)

Sesungguhnya hakikat muroqobah seperti ini apabila benar-benar terhujam di dalam hati seseorang, maka dia akan benar-benar merasa malu dilihat oleh Allah subhanahu wata’ala jika dia melanggar larangan-Nya atau dia meninggalkan perintah-Nya.

Al-Munawy berkata, “Takut kepada Allah subhanahu wata’ala dalam keadaan seorang diri jauh lebih tinggi daripada takut kepada-Nya dalam keadaan terang-terangan.

Ke dua: Memiliki keyakinan bahwa Allah subhanahu wata’ala akan menghitung dan menghisab segala sesuatu meskipun itu hal-hal yang terkecil. Dia akan memberitahukan hal itu kelak pada hari Kiamat, dan bahkan Dia akan memberikan balasannya sesuai dengan jenis amal perbuatan seseorang, amalan yang jelek akan dibalas dengan ‘iqob dan azab-Nya sedangkan amal yang baik akan mendapatkan balasan rahmat dan ridho-Nya. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Dan diletakkanlah al-kitab (buku catatan amal perbuatan), lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: “Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan dia catat semuanya; dan mereka mendapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis dihadapan mereka). Dan Rabbmu tidak menganiaya seorang jua pun”. (QS. Al-Kahfi:49).

Referensi:
Tafsir Ibnu Katsir Jilid 8 surat Al-Hadid ayat: 4
Berbagai sumber seputar tazkiyatunnfus. (Abu Abdillah Dzahabi)