Ketahuilah bahwa setiap mukallaf harus menjaga lisannya dari semua perkataan kecuali perkataan yang maslahat di dalamnya telah jelas. Dan kapan saja suatu perkataan memiliki kemaslahatan yang sama, jika dikatakan atau ditinggalkan, maka disunnahkan untuk menahan diri darinya. Karena terkadang perkataan yang mubah akan terseret menuju keharaman atau kemakruhan, bahkan ini menjadi hal yang umum di dalam adat kebiasaan, dan keselamatan (adalah kebaikan) yang tidak ada sesuatu pun yang bisa menyamainya.

Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ، فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ.

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah dia berkata baik atau diam.”

Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab al-Adab, Bab Man Kana Yu’minu Billahi, 10/445, no. 6019; dan Muslim, Kitab al-Iman, Bab al-Hatstsu ala Ikram al-Jar wa adh-Dhaif, 1/68, no. 48.

Saya berkata, Hadits yang disepakati keshahihannya ini merupakan nash yang jelas (sharih) bahwasanya tidak seharusnya seseorang berbicara melainkan apabila perkataan tersebut baik, yaitu yang tampak jelas mashlahatnya, dan ketika ragu tentang kejelasan mashlahatnya, maka janganlah berbicara. Al-Imam asy-Syafi’i 5 berkata, “Apabila se-seorang ingin berbicara, maka hendaklah dia berpikir terlebih dahulu sebelum berbicara, apabila telah jelas mashlahatnya, maka dia berbicara dan apabila ragu-ragu, maka dia tidak berbicara sampai jelas maslahatnya.”

Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Abu Musa al-Asy’ari radiyallahu ‘anhu, dia berkata,

قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَيُّ الْمُسْلِمِيْنَ أَفْضَلُ؟ قَالَ: مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ.

“Saya bertanya, ‘Wahai Rasulullah, Muslim apakah yang paling utama?’ Beliau menjawab, ‘Seorang Muslim yang mana kaum Muslimin selamat dari (bahaya) lisan dan tangannya’.”

Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab al-Iman, Bab Ayyu al-Islam afdhal, 1/54, no. 11; dan Muslim, Kitab al-Iman, Bab Bayan Tafadhuli al-Islam, 1/66, no. 42.

Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari,{ Kitab ar-Riqaq, Bab Hifzhu al-Lisan, 11/308, no. 6474.} dari Sahal bin Sa’ad radiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,

مَنْ يَضْمَنُ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنُ لَهُ الْجَنَّةَ.

“Barangsiapa yang menjamin untukku (mencegah kejahatan lisan) yang berada di antara dua tulangnya, dan (kejahatan kemaluan) yang berada di antara kedua kakinya, niscaya aku akan menjamin surga untuknya.”

Al-Lahyu bermakna bagian wajah tempat tumbuhnya jenggot, yang terdapat di antara dua tempat tumbuhnya jenggot yaitu lisan dan yang terdapat di antara kedua kaki adalah farj (kemaluan).

Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, bahwasanya dia mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ الْعَبْدَ يَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ فِيْهَا، يَزِلُّ بِهَا إِلَى النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ.

“Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan satu kata yang tidak dia periksa (dengan baik sebelum mengucapkannya), maka karena satu kata tersebut dia dapat terjerumus ke dalam neraka yang lebih jauh daripada jarak antara timur dan barat.”

Dalam riwayat al-Bukhari, أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ(lebih jauh daripada jarak antara timur) tanpa menyebut kata “الْمَغْرِبُ” (barat).

Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Ibid., no. 6477; dan Muslim, Kitab az-Zuhd, Bab at-Takallum bi al-Kalimah, 4/2290, no. 2988.

Dan makna dari kata “يَتَبَيَّنُ” (memeriksa dengan baik) adalah, berpikir tentang baik atau tidaknya suatu perkataan.

Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari, dari Abu Hurairah y, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللهِ سبحانه و تعالى، مَا يُلْقِي لَهَا بَالاً، يَرْفَعُ اللهُ سبحانه و تعالى بِهَا دَرَجَاتٍ. وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ سبحانه و تعالى، لاَ يُلْقِي لَهَا بَالاً، يَهْوِيْ بِهَا فِي جَهَنَّمَ.

“Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan suatu kalimat (baik) yang diridhai Allah, yang sama sekali tidak dia pikirkan, namun Allah mengangkatkan derajatnya dengan kalimat baik tersebut. Dan sesungguhnya seorang hamba (lainnya) yang berbicara dengan kalimat (buruk) yang dimurkai Allah Subhanahu waTa`ala, yang sama sekali tidak dia pikirkan, namun menjerumuskannya ke dalam Neraka Jahanam karenanya.”

{ Ibid., no. 4678, yaitu salah satu lafazh hadits itu sendiri yang telah dikemukakan sebelumnya. }

Saya berkata, Demikianlah yang terdapat dalam naskah-naskah sumber al-Bukhari: يَرْفَعُ اللهُ بِهَا دَرَجَاتٍ dan dia shahih. Maksudnya “mengangkatkan derajatnya”, atau bisa jadi maksudnya “mengangkatnya”.

Kami meriwayatkan dalam Muwaththa` Imam Malik dan Kitab at-Tirmidzi serta Ibnu Majah, dari Bilal bin al-Harits al-Muzani radiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللهِ سبحانه و تعالى، مَا كَانَ يَظُنُّ أَنْ تَبْلُغَ مَا بَلَغَتْ؛ يَكْتُبُ اللهُ سبحانه و تعالى لَهُ بِهَا رِضْوَانَهُ إِلَى يَوْمِ يَلْقَاهُ. وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ سبحانه و تعالى ، مَا كَانَ يَظُنُّ أَنْ تَبْلُغَ مَا بَلَغَتْ، يَكْتُبُ اللهُ سبحانه و تعالى [لَهُ] بِهَا سَخَطَهُ إِلَى يَوْمِ يَلْقَاهُ.

“Sesungguhnya seseorang berbicara dengan kalimat (baik) yang diridhai Allah Subhanahu waTa`ala, dia sama sekali tidak menduga kalimat tersebut mencapai derajat yang dicapainya; Allah menuliskan keridha-an untuknya dengan kalimat tersebut hingga Hari Pertemuan denganNya. Dan sesungguhnya seseorang yang berbicara dengan kalimat (buruk) yang dimurkai Allah Subhanahu waTa`ala, dia sama sekali tidak menduga kalimat tersebut mencapai derajat (rendah) yang dicapainya; Allah menuliskan kemurkaan untuknya dengan kalimat tersebut hingga Hari Pertemuan denganNya.”

Shahih: Diriwayatkan oleh Malik 2/985; al-Humaidi, no. 911; Ahmad 3/469; Abd bin Humaid, no. 358-Muntakhab; al-Bukhari dalam at-Tarikh 2/106; Ibnu Majah, Kitab al-Fitan, Bab Kaffu al-Lisan, 2/1312, no. 3969; at-Tirmidzi, Kitab az-Zuhd, Bab Qillah al-Kalam, 4/599, no. 2319; Ibnu Abi ad-Dunya dalam ash-Shamtu, no. 70; an-Nasa`i dalam al-Kubra, no. 2028-Tuhfah; Ibnu Hibban, no. 280,281 dan 287; ath-Thabrani 1/367, no. 1129-1134 dan 1137; al-Hakim 1/44-46; al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab, no. no. 4957; al-Baghawi, no. 4124; al-Ashbahani dalam at-Targhib, no. 2158 dan 2363; dan Ibnu Asakir 10/413-419: dari berbagai jalur, dari Muhammad bin Amr bin Alqamah, dari bapaknya, (dari kakeknya), dari Bilal bin al-Harits dengan hadits tersebut.
Dan sanad ini mempunyai dua illat:

Pertama, perselisihan pendapat mereka padanya dalam berbagai segi, tapi bukanlah idhthirab yang dapat menggugurkan hadits ini. Ad-Daruquthni, al-Hakim, Ibnu Abd al-Barr dan Ibnu Asakir telah merajihkan jalur sanad yang disebutkan di sini.

Kedua, bahwa dalam Amr bin Alqamah terdapat Jahalah, dan haditsnya paling tinggi hanya, tidak bermasalah (la ba’sa bihi) dalam kapasitas syawahid. Dia tidak sendirian dalam meriwayatkan hadits ini, akan tetapi Malik bin Abi Amir al-Ashbahi Muhammad bin Ibrahim at-Taimi dan Musa bin Uqbah telah mengikutinya dan mereka semua tsiqah dalam riwayat Ibnu al-Mubarak dalam az-Zuhd, no. 1394; an-Nasa`i dalam al-Kubra, Ibid.; al-Baghawi, no. 4125; Ibnu Asakir 10/419-420, dan hadits ini shahih dengan adanya mutaba’at ini. Dan at-Tirmidzi, al-Hakim, dan al-Baghawi telah menshahihkannya, serta al-Mundziri, an-Nawawi, adz-Dzahabi, al-Iraqi dan al-Albani telah menyetujui mereka. At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih.”

Kami meriwayatkan dalam Kitab at-Tirmidzi, an-Nasa`i dan Ibnu Majah, dari Sufyan bin Abdillah radiyallahu ‘anhu, dia berkata,

قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، حَدِّثْنِيْ بِأَمْرٍ أَعْتَصِمُ بِهِ. قَالَ: قُلْ رَبِّيَ اللهُ ثُمَّ اسْتَقِمْ. قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَا أَخْوَفُ مَا يُخَافُ عَلَيَّ؟ فَأَخَذَ بِلِسَانِ نَفْسِهِ، ثُمَّ قَالَ هذَا.

“Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku tentang suatu perkara yang aku berpegang teguh padanya.’ Rasulullah menjawab, ‘Katakanlah, Rabbku adalah Allah, kemudian tetaplah istiqamah dengan perkara tersebut’. Saya bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah yang paling ditakuti pada diriku?’ Maka beliau memegang lisannya kemudian bersabda, ‘Ini’.”

Shahih: Diriwayatkan oleh ath-Thayalisi, no. 1231; Ibnu Abi Syaibah, no. 26492; Ahmad 3/413, 4/384; ad-Darimi 2/298; al-Bukhari dalam at-Tarikh 5/100; Muslim, Kitab al-Iman, Bab Jami’ Aushaf al-Islam, 1/65, no. 38, terbatas pada barisnya yang pertama; Ibnu Majah, Kitab al-Fitan, Bab Kaffu al-Lisan, 2/1314, no. 3972; at-Tirmidzi, Kitab az-Zuhd, Bab Hifzh al-Lisan, 4/607, no. 2410; Ibnu Abi ad-Dunya dalam ash-Shamtu, no. 1 dan 7; Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah, no. 20 dan 21; an-Nasa`i dalam al-Kubra, no. 4478-Tuhfah; Ibnu Hibban, no. 5698, 5699, 5700 dan 5702; ath-Thabrani 7/69, no. 6396-6398; al-Hakim 4/313; dan al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab, no. 4919, dengan isnad yang shahih, dari Sufyan bin Abdillah dengan hadits tersebut.

Dan hadits ini mempunyai lebih dari satu isnad yang shahih, oleh karena itu at-Tirmidzi mengatakan, “Hadits ini hasan shahih.” Dan al-Mundziri, an-Nawawi dan al-Asqalani menyetujuinya, al-Hakim, adz-Dzahabi, Ibn al-Qayyim dan al-Albani menshahihkannya.

At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih.”

Kami meriwayatkan dalam kitab at-Tirmidzi, dari Ibnu Umar radiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لاَ تُكْثِرُوا الْكَلاَمَ بِغَيْرِ ذِكْرِ اللهِ، فَإِنَّ كَثْرَةَ الْكَلاَمِ بِغَيْرِ ذِكْرِ اللهِ c قَسْوَةٌ لِلْقَلْبِ، وَإِنَّ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنَ اللهِ سبحانه و تعالى الْقَلْبُ الْقَاسِي.

‘Janganlah kamu memperbanyak pembicaraan selain dzikir pada Allah, karena banyak ber-bicara selain dzikir pada Allah Subhanahu waTa`ala menyebabkan hati menjadi keras, dan sejauh-jauh manusia dari Allah Subhanahu waTa`ala adalah (yang memiliki) hati yang keras’.”

Hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, Kitab az-Zuhd, Bab, 4/607, no. 2411; ath-Thabrani dalam ad-Du’a`, no. 1874; Ibnu Mardawaih 1/98 surat al-Baqarah 74- Tafsir Ibnu Katsir; dan al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab, no. no. 4951 dan 4952: dari jalur Ibrahim bin Abdillah (bin al-Harits) bin Hatib, dari Abdullah bin Dinar, dari Ibnu umar dengan hadits tersebut.

Dan sanad ini tidak mengapa, Ibrahim ini yang meriwayatkan darinya tiga perawi yang tsiqah, dan Ibnu Hibban mentsiqahkannya, at-Tirmidzi menghasankannya, maka haditsnya dalam batasan hasan. Abdullah bin Dinar adalah tsiqah, dia termasuk perawi Kutub as-Sittah. Maka haditsnya hasan sebagaimana yang dikatakan oleh at-Tirmidzi dan disetujui oleh al-Mundziri, Ahmad Syakir dan al-Arna’uth. Dan dalam bab ini terdapat riwayat dari Hafshah dalam riwayat ad-Dailami.

Kami meriwayatkan di dalamnya, dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu,dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ وَقَاهُ اللهُ سبحانه و تعالى شَرَّ مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَشَرَّ مَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ، دَخَلَ الْجَنَّةَ.

‘Barangsiapa yang dijaga oleh Allah Subhanahu waTa`ala dari kejahatan (lisan) yang berada di antara dua tulang (rahang)nya, dan kejahatan (kemaluan) yang berada di antara kedua kakinya, niscaya dia masuk surga’.”

Shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, Kitab az-Zuhd, Bab Hifzh al-Lisan, 4/606, no. 2409; Abu Ya’la, no. 6200; Ibnu Hibban, no. 5703; dan al-Hakim 4/357: dari jalur Abu Khalid al-Ahmar, dari Ibnu Ajlan, dari Abu Hazm, dari Abu Hurairah dengan hadits tersebut.

At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan gharib.” Saya berkata, Karena Abu Khalid dan Ibnu Ajlan; karena pada keduanya terdapat perkataan yang tidak menyebabkan mereka turun dari derajat hasan. Akan tetapi al-Hakim 4/375 meriwayatkannya juga dari jalur Abu Waqid, dari Ishaq budak Za`idah, dari Ibnu Tsauban, dari Abu Hurairah. Dan Abu Waqid ini adalah Shalih bin Muhammad al-Laitsi, dia dhaif tanpa tertuduh. Dan hadits ini walaupun belum berderajat shahih dengan menyatukan kedua jalurnya, maka dia shahih dengan dikuatkan oleh hadits Sahl bin Sa’ad yang telah dikemu-kakan pada no. 1055. At-Tirmidzi menghasankannya, al-Mundziri dan an-Nawawi menyetujuinya, al-Hakim, adz-Dzahabi dan al-Albani menshahihkannya.

At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan.”

Kami meriwayatkan di dalamnya, dari Uqbah bin Amir radiyallahu ‘anhu dia berkata,

قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَا النَّجَاةُ؟ قَالَ: أَمْسِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ، وَلِيَسَعْكَ بَيْتُكَ، وَابْكِ عَلَى خَطِيْئَتِكَ.

“Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah (penyebab) keselamatan itu?’ Beliau bersabda, ‘Ta-hanlah lisanmu, dan hendaklah rumahmu menjadikanmu merasa luas, serta tangisilah (menyesali) dosamu’.”

Shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu al-Mubarak dalam az-Zuhd, no. 134; Ahmad 4/148, 5/259; at-Tirmidzi, Ibid., no. 2406; Ibnu Abi ad-Dunya dalam ash-Shamtu, no. 2; ath-Thabrani 17/270, no. 741 dan 743; Abu Nu’aim dalam al-Hilyah 2/9; al-Ashbahani dalam at-Targhib 2/698, no. 1686; al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab, no. 805; dan Ibnu Asakir 40/496: dari dua jalur yang lemah, dari al-Qasim, dari Abu Umamah, dari Uqbah dengan hadits tersebut.

Dan al-Qasim adalah Ibnu Abdirrahman, secara umum dia tidak mengapa, akan tetapi dia mempunyai riwayat yang gharib dan diingkari, lalu bagaimana apabila jalur-jalur yang tersambung kepadanya adalah lemah? Maka jiwa ini tidak akan tenang karena kekuatan hadits dari segi ini. Akan tetapi Ahmad 4/158; Hannad dalam az-Zuhd, no. 460; dan Ibnu Asakir 9/101: meriwayatkannya dari jalur Ibnu Ayyasy, dari Usaid bin Abdurrahman, dari Farwah bin Mujahid, dari Uqbah. Ibnu Ayyasy adalah orang yang kuat haditsnya dalam kelompok ahli Syam. Dan hadits ini di antaranya berasal darinya. Farwah bin Mujahid juga seorang yang kuat haditsnya, dan mereka telah berselisih tentang statusnya sebagai sahabat, dan pendapat yang paling benar adalah bahwa dia tidak berstatus sahabat, maka sanadnya jayyid, dan hadits ini shahih dengan penyatuan kedua jalurnya. At-Tirmidzi telah menghasankannya, al-Mundziri an-Nawawi, dan al-Iraqi telah menyepakatinya, dan al-Albani telah menshahihkannya.

At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan.”

Kami meriwayatkan di dalamnya, dari Abu Sa’id al-Khudri radiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,

إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ، فَإِنَّ اْلأَعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ اللِّسَانَ فَتَقُوْلُ: اِتَّقِ اللهَ فِيْنَا، فَإِنَّمَا نَحْنُ بِكَ، فَإِنِ اسْتَقَمْتَ اِسْتَقَمْنَا، وَإِنِ اعْوَجَجْتَ اِعْوَجَجْنَا.

“Apabila anak cucu Adam masuk waktu pagi hari, maka seluruh anggota badan tunduk ke-pada lisan, seraya berkata, ‘Bertakwalah kepada Allah dalam menjaga hak-hak kami, karena kami bersamamu, apabila kamu lurus, maka kami juga lurus, dan apabila kamu bengkok, maka kami juga bengkok’.”

Ibnu Allan 6/355 berkata, “Ucapannya ‘تُكَفِّرُ اللِّسَانَ’, demikianlah yang terdapat dalam teks al-Adzkar dan dalam al-Jami’ ash-Shaghir disebutkan dengan mendhammahkan اللِّسَان dan juga memfathahkannya. Di dalam naskah yang dishahih-kan dari al-Misykat (dan salah satu naskah “al-Adzkar“) diungkapkan dengan “لِلِسَانٍ” dengan menggunakan “lam huruf jar” sebelum لِسَانٌ, dan berdasarkan naskah tersebutlah pemilik al-Mirqath mensyarah. Demikian pula dalam an-Nihayah. Inilah yang zahir, dan boleh jadi tulisan yang pertama terjadi kesalahan naskah. Ibnu al-Atsir berkata dalam an-Nihayah, “Sungguh seluruh tubuh tunduk pada lisan”. Dan makna “تَكْفِيْرٌ” adalah ketundukan manusia dan mengangguk-anggukkan kepalanya kurang lebih sebagaimana diperbuat oleh orang yang ingin ruku’. Ibnu al-Atsir meriwayatkan “لِتَسْتَكْفِي اللِّسَانُ” dalam Jami’ al-Ushul. Dan seperti itu pula dalam Mukhtasharnya karya Daiba’ yang bermakna “meminta lisan untuk mencukupkan diri dari kejelekan“.

Dalam semua ushul: مِنْكَ dan yang benar adalah yang telah kami tetapkan.

Hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu al-Mubarak dalam az-Zuhd, no. 1012; ath-Thayalisi, no. 2209; Ahmad dalam al-Musnad 3/96 dan az-Zuhd, hal. 243; Abd bin Humaid, no. 979-Muntakhab; at-Tirmidzi, Ibid., no. 2407; Ibnu Abi ad-Dunya dalam ash-Shamtu, no. 12; Ibn as-Sunni dalam al-Yaum wa al-Lailah, no. 1; Abu Nu’aim dalam al-Hilyah 4/309; al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman, no. 4945 dan 4946; dan al-Baghawi dalam Syarh as-Sunnah, no. 4126: dari berbagai jalur, dari Hammad bin Zaid, dari Abu ash-Shahba’, dari Sa’id bin Jubair, dari Abu Sa’id dengan hadits tersebut.

Semua perawi sanad ini tsiqah, kecuali Abu ash-Shahba’, dan dia orang Kufah, Ibnu Hibban telah mentsiqahkannya dan jamaah telah meriwayatkan hadits darinya, maka haditsnya tidak mengapa. Akan tetapi di sini at-Tirmidzi menunjukkan adanya illat, maka dia berkata, “Tidak hanya satu orang saja yang meriwayatkannya dari Hammad bin Zaid, namun mereka tidak menyatakannya marfu’.” Saya berkata, Hadits tersebut tidak tercela, karena marfu’nya adalah tambahan tsiqah, yang merupakan riwayat mayoritas. Dan hukumnya adalah untuknya, karena hukum mauquf di sini adalah marfu’, dan karena ia tidak dikatakan berdasarkan pendapat manusiawi. Kemudian maknanya mempunyai syahid, di dalamnya terdapat kelemahan, dari hadits Abu Bakar dalam riwayat Abu Ya’la radiyallahu ‘anhu, dengan lafazh;

لَيْسَ شَيْءٌ مِنَ الْجَسَدِ إِلاَّ وَهُوَ يَشْكُو ذَرْبَ اللِّسَانِ.

“Tidak ada satu anggota tubuh pun melainkan ia akan mengadukan lisan yang sulit dikendalikan (pedas).”

Yang lainnya mauquf atas Ali dalam riwayat Ibnu Abi ad-Dunya, no. 58. Maka apabila hadits ini tidak berderajat hasan lidzatihi, maka dia hasan dengan syawahidnya ini. Ibnu Khuzaimah telah menshahihkannya, al-Iraqi dan al-Albani telah menghasankannya.

Kami meriwayatkan dalam Kitab at-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dari Ummu Habibah radiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,

كُلُّ كَلاَمِ ابْنِ آدَمَ عَلَيْهِ لاَ لَهُ، إِلاَّ أَمْرًا بِمَعْرُوْفٍ، أَوْ نَهْيًا عَنْ مُنْكَرٍ، أَوْ ذِكْرًا لله سبحانه و تعالى.

“Setiap perkataan anak Adam adalah menjadi dosa baginya, bukan pahala untuknya, kecuali perintah kepada kebaikan atau larangan dari kemungkaran atau dzikir kepada Allah Subhanahu waTa`ala.”

Dhaif: Diriwayatkan oleh Abd bin Humaid 1554- Muntakhab; al-Bukhari dalam at-Tarikh 1/261; Ibnu Majah dalam Kitab al-Fitan; Bab Kaffu al-Lisan fi al-fitnah; 2/1315, no. 3974; Ibnu Abi ad-Dunya dalam ash-Shamtu no.14; at-Tirmidzi dalam Kitab az-Zuhd, Bab, 4/608, no. 2412; Abu Ya’la 7132 dan 7134; Ibn as-Sunni, no. 5; al-Hakim 2/512 ; al-Qudha`i dalam asy-Syihab, no. 305; al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab, no. 4954; al-Khathib dalam at-Tarikh 12/321 dan 433; dan al-Ashbahani dalam at-Targhib, no. 2347: dari berbagai jalur, dari Muhammad bin Yazid bin Khunais, saya mendengar Sa’id bin Hassan, Ummu Shalih telah menceritakan kepadaku, dari Shafiyah binti Syaibah, dari Ummu Habibah dengan hadits tersebut.

At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan gharib.” Kami tidak mengetahuinya selain dari hadits Muhammad bin Yazid bin Khunais,” dan al-Mundziri menyetujuinya dan menambahkan, “Para perawinya tsiqah“. Dan pada Muhammad bin Yazid terdapat sedikit kritik tapi tidak membuatnya tercela parah, dan dia adalah syaikh yang shalih.” Saya berkata, “Muhammad bin Yazid menyibukkan keduanya tentang hadits haqiqi, yaitu Ummu Shalih ini. Al-Asqalani berkata, ‘Kondisinya tidak diketahui’. Dan yang sebenarnya adalah bahwa kondisinya tidak diketahui, tidak diketahui kecuali pada hadits dan rawi ini. Kemudian saya melihat bahwa al-Bukhari menunjukkan illat lain tentangnya, yaitu bahwa ia diriwayatkan oleh Ummu Shalih secara mursal. Maka hadits tersebut berdasarkan ini adalah dhaif. Al-Munawi cenderung untuk mendhaifkannya, dan al-Albani mendhaifkannya.”

Kami meriwayatkan dalam Kitab at-Tirmidzi, dari Mu’adz radiyallahu ‘anhu, dia berkata,

قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَخْبِرْنِي بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ وَيُبَاعِدُنِيْ مِنَ النَّارِ، قَالَ: لَقَدْ سَأَلْتَ عَنْ عَظِيْمٍ، وَإِنَّهُ لَيَسِيْرٌ عَلَى مَنْ يَسَّرَهُ اللهُ سبحانه و تعالى عَلَيْهِ: تَعْبُدُ اللهَ وَلاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا، وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ، وَتَصُوْمُ رَمَضَانَ، وَتَحُجُّ الْبَيْتَ. ثُمَّ قَالَ: أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى أَبْوَابِ الْخَيْرِ؟ اَلصَّوْمُ جُنَّةٌ، وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ
الْخَطِيْئَةَ كَمَا يُطْفِئُ الْمَاءُ النَّارَ، وَصَلاَةُ الرَّجُلِ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ. قَالَ ثُمَّ تَلاَ تَتَجَافَى
جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ فَلاَ تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّاأُخْفِيَ لَهُم مِّن قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَآءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
ثُمَّ قَالَ: أَلاَ أُخْبِرُكَ بِرَأْسِ اْلأَمْرِ وَعَمُوْدِهِ وَذِرْوَةِ سَنَامِهِ؟ قُلْتُ: بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ: رَأْسُ اْلأَمْرِ اْلإِسْلاَمُ، وَعَمُوْدُهُ الصَّلاَةُ، وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ. ثُمَّ قَالَ: أَلاَ أُخْبِرُكَ بِمَلاَكِ ذلِكَ كُلِّهِ؟ قُلْتُ: بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ، فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ، ثُمَّ قَالَ: كُفَّ عَلَيْكَ هذَا. قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُوْنَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ؟ فَقَالَ: ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ، وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ؟

“Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, beritahukan kepadaku perkara yang dapat memasukkanku ke dalam surga dan menjauhkanku dari neraka’. Rasulullah menjawab, ‘Kamu telah menanyakan perkara yang besar, namun perkara tersebut adalah perkara mudah bagi orang yang dimudahkan oleh Allah, yaitu kamu menyembah Allah dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu pun, kamu mendirikan shalat dan menunaikan zakat, kamu berpuasa Ramadhan dan haji ke Baitullah’. Kemudian beliau bersabda, ‘Maukah kamu saya tunjukkan pintu-pintu kebaikan? Puasa adalah perisai, sedekah (mampu) memadamkan kesalahan sebagaimana air (mampu) memadamkan api, demikian juga shalat seseorang di pertengahan malam (mampu memadamkan kesalahan)’. Rawi hadits ini berkata, ‘Kemudian beliau membaca, ‘Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada Rabbnya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.’ (As-Sajdah: 16-17). Kemudian beliau berkata, ‘Maukah kamu saya beritahukan tentang dasar perkara, tiangnya, dan puncaknya?’Saya menjawab, ‘Ya, saya mau wahai Rasulullah’. Beliau bersabda, ‘Dasar perkara adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad. Maukah kamu kuberitahukan cara mengatur dan menguatkan semua itu?’ Saya menjawab, ‘Ya, saya mau wahai Rasulullah.’ Maka beliau memegang mulutnya seraya bersabda, ‘Jagalah ini’. Saya bertanya, ‘Apakah Rabb kami akan menghukum kami disebabkan ka-limat yang kami ucapkan?’ Beliau menjawab, ‘Semoga ibumu kehilanganmu (maksudnya sebagai ungkapan kaget, pent.). Apakah kamu menduga selain dari yang kamu ucapkan? Tidaklah manusia jatuh tersungkur di atas wajah atau hidung mereka, melainkan disebabkan oleh tindakan lisan mereka’.”

جُنَّةٌ bermakna pelindung, penutup, penghalang yang menghalangi seseorang dari syahwat, dan selanjutnya pelindung dari neraka.
Maksud “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya”, adalah kinayah tentang lamanya shalat mereka kepada Rabb pada malam hari.
Maksud “مَلاَكُ اْلأَمْرِ” adalah penopang dan asas yang dijadikan sandaran.

Makna “ثَقِلَتْكَ أُمُّكَ” (Semoga ibumu kehilanganmu) adalah ungkapan yang mengalami pelebaran makna, dalam term orang Arab sebagai ungkapan kaget bukan doa untuk mendapat keburukan.

Shahih: Diriwayatkan oleh Abdurrazaq, no. 20303; Ahmad 5/231; Abd bin Humaid, no. 112-Muntakhab; Ibnu Majah dalam Kitab al-Fitan, Bab Kaffu al-Lisan, 2/1314, no. 3973; at-Tirmidzi dalam Kitab al-Iman, Bab Hurmatu ash-Shalah, 5/11, no. 2616; an-Nasa`i dalam al-Kubra, no.11311-Tuhfah; ath-Thabrani 20/130, no. 266; dan al-Baghawi, no. 11: dari jalur Ashim bin Abi an-Najud, dari Abu Wail Syaqiq bin Salmah, dari Mu’adz dengan hadits tersebut. At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih.” Al-Mundziri dalam at-Targhib 3/511; dan Ibnu Rajab dalam al-Ulum wa al-Hukm, hadits no. 29 mengomentari bahwasanya Abu Wail tak mendengar (riwayat dari) Mu’adz walaupun dia mengenalnya.

Akan tetapi diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, no. 30306; Ahmad 5/233 dan 237; Ibnu Abi ad-Dunya dalam ash-Shamt, no. 6; ath-Thabrani 20/142, no. 291-294; al-Hakim 2/76 dan 412; al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab, no. 4958 dan 4959; dan al-Ashbahani, no. 83: dari dua jalur, dari Maimun bin Abi Syabib, dari Mu’adz; secara panjang lebar dan secara ringkas. Al-Hakim dan adz-Dzahabi menshahihkannya berdasarkan syarat keduanya (al-Bukhari dan Muslim), al-Mundziri dan Ibnu Rajab menyatakannya berillat, bahwa Maimun tidak mendengar Mu’adz dan tidak bertemu dengannya.

Hadits ini mempunyai jalur ketiga dalam riwayat ath-Thayalisi, no. 560; Ibnu Abi Syaibah, no. 26489; Ahmad 5/233 dan 237; ath-Thabrani 20/147, no. 204 dan 205; al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab, no. 3349; dan al-Ashbahani dalam at-Targhib, no. 1436: dari jalur Urwah bin an-Nazzal, dari Mu’adz, secara panjang lebar dan secara ringkas. Dan Urwah ini di samping dia majhul, juga tidak pernah mendengar (riwayat) dari Mu’adz.

Hadits ini mempunyai jalur keempat menurut Ahmad 5/236 dan 245; al-Bazzar, no. 1653 dan 1654-Zawa`id; Ibnu Hibban, no. 214; ath-Thabrani 20/64, no. 116, 137 dan 141; al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab, no. 4961; dan al-Ashbahani dalam at-Targhib, no. 1437: dari empat jalur yang satu sama lain saling menguatkan, dari Abdurrahman bin Ghanm, dari Mu’adz, secara panjang lebar dan secara ringkas. Dan Ibnu Ghanm ini adalah orang Syam lama bermulazamah pada Mu’adz. Para ulama berselisih pendapat dalam statusnya sebagai sahabat. Maka ini adalah jalur yang paling kuat yang dijadikan penopang.

Hadits tersebut apabila tidak menjadi shahih hanya dengan jalur yang terakhir, maka tidak diragukan bahwasanya hadits ini shahih dengan berkumpulnya semua jalur sanad. At-Tirmidzi telah menshahihkannya. An-Nawawi dan al-Albani telah menyetujuinya.

At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih.”

Saya berkata, “الذِّرْوَةُ atau الذُّرْوَةُ dengan mendhammahkan atau mengkasrahkan dzal bermakna, puncak sesuatu.

Kami meriwayatkan dalam Kitab at-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ.

“Di antara kebaikan Islam seseorang adalah (tindakannya) meninggalkan perkara yang tidak penting baginya.”

Shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Kitab al-Fitan, Bab Kaffu al-Lisan fi al-Fitnah, 2/1315, no. 3976; at-Tirmidzi, Kitab az-Zuhd, Bab, 4/558, no. 2317; al-Uqaili 2/9; Ibnu Adi 6/2077; al-Qudha`i, no. 192; al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab, no. 4987; dan Ibnu Abd al-Barr 9/198: dari berbagai jalur, dari al-Auza’i, dari Qurrah, dari az-Zuhri, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah dengan hadits tersebut.

Dan Qurrah bin Abdurrahman adalah shaduq (jujur), dia mempunyai hadits-hadits munkar, maka haditsnya layak, minimal dalam syawahid. Dan dia mempunyai jalur sanad yang lain pada Ibnu Abi ad-Dunya dalam ash-Shamtu, no. 108 dan 745; dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath, no. 2902: akan tetapi jalur-jalur ini dhaif sekali. Dan dia mempunyai Syahid dari hadits al-Husain bin Ali y, dan pembahasannya telah diperinci dalam ar-Riyadh, no. 69, dan aku menutupnya dengan menyatakannya hasan. Dan dalam masalah ini terdapat pula riwayat dari Zaid bin Tsabit, Abu Bakar, dan al-Harits bin Hisyam, namun semua sanadnya dhaif atau bahkan lebih dhaif dari itu. Akan tetapi hadits tersebut shahih, insya Allah dengan adanya syahid di atas. Banyak ahli ilmu yang menshahihkannya. Mereka menganggapnya sebagai hadits-hadits yang mana poros pembahasan Islam berpedoman atasnya, seperti Ibnu Abdul Bar, Ibnu ash-Shalah, al-Mundziri, an-Nawawi, adz-Dzahabi, Ibnu Rajab, al-Iraqi, dan al-Albani. Hadits ini hasan.

Kami meriwayatkan dalam Kitab at-Tirmidzi, dari Abdullah bin Amr bin al-Ash, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ صَمَتَ نَجَا.

“Barangsiapa yang diam, niscaya dia selamat.”

Shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu al-Mubarak dalam az-Zuhd, no. 385; Ibnu Wahb dalam al-Jami’, no. 49; Ahmad, no. 1592 dan 177; Abd bin Humaid no. 345-Muntakhab; ad-Darimi 2/299; Ibnu Abi ad-Dunya dalam ash-Shamtu, no. 10; at-Tirmidzi, Kitab al-Qiyamah, Bab, 4/660, no. 2501; ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath, no. 1954; al-Qudha`i, no. 234; al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab, no. 4983 dan 4984; al-Baghawi, no. 4129; dan al-Ashbahani, no. 1683: dari berbagai jalur, dari Ibnu Lahi’ah, dari Yazid bin ‘Amr al-Ma’afiri, dari Abu Abdurrahman al-Hubli, dari Ibnu Amr dengan hadits tersebut.

At-Tirmidzi berkata, “Gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Ibnu Lahi’ah, dan Abu Abdurrahman al-Hubli adalah Abdullah bin Yazid.” Saya berkata, Ibnu Lahi’ah tidak tertolak dari segi hafalan dan kejujuran, namun dia mengalami kekacauan hafalan setelah kitab-kitabnya terbakar, akan tetapi di antara perawi-perawi yang meriwayatkan darinya di sini, terdapat Ibnu Wahb dan Ibnu al-Mubarak serta Qutaibah bin Sa’id, dan riwayat mereka darinya adalah lurus, maka sanadnya minimal hasan, dan tidak ada dasar pada pendhaifan an-Nawawi terhadapnya, juga ulama sebelumnya, yaitu pendhaifan at-Tirmidzi terhadapnya. Kemudian Ibnu Lahi’ah tidak sendirian dalam meriwayatkan dari Yazid sebagaimana ditunjukkan oleh perkataan at-Tirmidzi, bahkan diikuti (mutaba’ah) oleh Amr bin al-Harits pada ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath, no. 1954. Amr ini adalah seorang yang tsiqah, hafizh termasuk perawi imam enam. Dan kesimpulannya, hati menjadi tenang untuk menshahihkan hadits tersebut dengan terkumpulnya jalurnya, apabila tidak bisa dikatakan shahih dari jalur yang pertama saja. Sekelompok ulama seperti al-Mundziri, al-Iraqi, al-Asqalani, al-Munawi, dan al-Albani lebih cenderung kepada pendapat tersebut.

Isnadnya dhaif, dan saya menyebutkannya hanya untuk menjelaskannya, karena ia adalah hadits yang masyhur.

Hadits-hadits shahih semisal yang telah saya sebutkan sangat banyak. Dan hadits yang telah saya tunjukkan sudah cukup bagi orang yang diberi taufik. Dan sejumlah hadits tentang hal tersebut insya Allah akan datang dalam bab al-Ghibah. Dan hanya Allahlah yang memberikan taufik. Sedangkan atsar yang bersumber dari golongan as-Salaf dan selainnya dalam bab ini adalah banyak, dan tidak ada kebutuhan untuk mengungkapnya dengan adanya pembahasan yang telah lalu. Akan tetapi, kami akan mengingatkan seba-giannya sebagai berikut:

Telah sampai kabar kepada kami bahwa Qus bin Sa’idah dan Aktsam bin Shaifi ber-kumpul. Seorang di antara mereka berkata kepada sahabatnya, “Berapa banyak aib yang kamu dapatkan pada diri anak Adam?” Maka dia menjawab, “Ia lebih banyak daripada dapat dihitung, dan aib yang telah aku hitung di antaranya adalah delapan ribu aib, dan aku mendapatkan suatu sifat yang apabila anak cucu Adam menggunakannya, maka akan tertutuplah seluruh aib-aib tersebut.” Dia bertanya, “Apakah itu?” Dia menjawab, “Menjaga lisan.”

Kami meriwayatkan dari Abu Ali al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah, dia berkata, “Barangsiapa yang menghitung-hitung ucapannya daripada amalnya, niscaya ucapannya yang tidak penting baginya akan sedikit.”

Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata kepada sahabatnya ar-Rabi’, “Wahai ar-Rabi’, janganlah kamu berbicara tentang perkara yang tidak penting bagimu, karena apabila kamu berbicara satu kata, maka ia akan menguasaimu, sedangkan kamu tidak dapat menguasainya.”

Kami meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Tidak ada sesuatu pun yang lebih berhak lama dipenjarakan (dikekang) daripada lisan.”

Dan yang lainnya berkata, “Perumpamaan lisan adalah seperti hewan buas, apabila kamu tidak mengikatnya, niscaya dia akan memusuhimu.”

Kami meriwayatkan dari al-Ustadz Abu al-Qasim al-Qusyairi dalam Risalahnya yang terkenal, dia berkata, “Diam adalah keselamatan dan ia merupakan pokok. Sedang-kan diam pada waktunya merupakan sifat (baik) seseorang sebagaimana berbicara pada tempatnya merupakan sebaik-baik tabiat.” Dia berkata, “Saya mendengar Abu Ali ad-Daqqaq berkata, ‘Siapa yang berdiam diri pada kebenaran maka dia adalah setan yang bisu’.”

Dia berkata, “Adapun orang-orang yang giat menggembleng dirinya untuk lebih mengutamakan sifat diam adalah disebabkan pengetahuan mereka tentang adanya keru-sakan dalam berbicara, kemudian apa yang dikandungnya berupa peruntungan jiwa dan penunjukan sifat terpuji dan kecenderungan kepada pembedaan jenis-jenisnya dengan ungkapan kata yang baik dan kerusakan-kerusakan lainnya. Itulah sifat pemilik akhlak, ia merupakan salah satu prinsip dasar bagi mereka dalam etika berinteraksi (di antara mereka) dan pendidikan akhlak.

Dan di antara syair yang merekan lantunkan mengenai ini adalah:
Jagalah lisanmu wahai manusia
Jangan sampai ia menggigitmu, karena ia adalah ular
Berapa banyak mayit di dalam kuburan yang terbunuh karena lisannya
Padahal para pemberani pun takut berhadapan dengannya

Ar-Riyasyi 5 berkata,

Demi (Allah yang menjaga) umurmu, sesungguhnya di dalam dosaku terdapat kesibukan bagi diriku
Daripada mengurusi dosa Bani Umayyah
(Dosa mereka) terserah kepada Rabbku
Hisab amal mereka hanya kepadaNya,
Akhir ilmu tentang itu hanya kepadaNya
Aku tidak perlu dimudharatkan oleh apa yang telah mereka perbuat
(Karena tak berguna menyibukkan diri dengannya)
Bila Allah tidak memperbaiki dosa yang ada pada diriku

Sumber : Ensiklopedia Dzikir Dan Do’a, Imam Nawawi, Pustaka Sahifa Jakarta. Disadur oleh Yusuf Al-Lomboky