Tanya :

Lajnah Daimah ditanya: “Nikah syighar banyak terjadi di daerah selatan (Saudi), sebagian orang membuat rekayasa (hilah) agar tidak ditolak dan dikejar-kejar, di antara rekayasa tersebut adalah perbedaan jumlah mahar dan membuat tenggang waktu, artinya salah satu dari kedua orangtua menikah hari ini dan satu lagi besok, atau yang satu melakukan akad nikah di depan lembaga pemerintah berbeda dengan akad yang dilakukan pada yang satu lagi. Apakah nikah tersebut termasuk nikah syighar sebab di dalamnya ada kalimat: ‘Jika engkau mengawinkanku, maka aku akan mengawinkanmu’?”

Jawab :

Perlu diketahui bahwa dalam masalah ini Mufti negara Saudi Syaikh Muhammad bin Ibrahim telah berfatwa dan kita cukup menjawab pertanyaan ini dengan fatwa beliau. Adapun isi fatwanya antara lain:

“Alhamdulillah, nikah syighar adalah seorang laki-laki mau menikahkan putri-nya dengan seseorang asalkan orang tersebut mau menikahkan putrinya dengannya tanpa adanya mahar di antara keduanya atau menikahkan saudara perempuannya kepada seseorang dengan syarat orang itu menikahkan dia kepada saudara perempuannya juga tanpa ada mahar di antara keduanya. Pernikahan tersebut dinamakan nikah syighar yang berarti anjing sedang mengangkat salah satu kakinya pada saat kencing, sebab cara tersebut di-anggap keji oleh ajaran Islam. Seakan-akan orang yang melakukan akad nikah tersebut mengangkat salah satu kakinya dalam rangka memenuhi keinginan saudaranya.

Syighar juga berarti sepi atau kosong artinya satu sama lain saling mengosongkan kemaluannya dari mahar. Seluruh ulama sepakat bahwa pernikahan tersebut diharamkan sebab bertentangan dengan hadits-hadits dan tujuan ajaran syariat. Dalam hadits yang shahih dari Nafi’ dari Ibnu Umar Radhiallaahu anhu bahwasanya Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam melarang nikah syighar. Nikah syighar adalah seorang laki-laki mau menikahkan putrinya dengan seseorang asalkan orang tersebut mau menikahkan putrinya dengannya tanpa adanya mahar di antara keduanya. Dan dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiallaahu anhu bahwasanya Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak ada nikah syighar dalam Islam”.

Dan dari Abi Hurairah Radhiallaahu anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam melarang nikah syighar. Syighar adalah seorang yang mengatakan: “Saya mau menikahkan putriku dengan kamu asalkan kamu mau menikahkan putrimu denganku atau saya mau menikahkan saudariku dengamu asalkan kamu mau menikahkan sau-darimu denganku”. Dalam shahih Muslim dari Abu Zubair Radhiallaahu anhu sesungguhnya ia mendengar Jabir Radhiallaahu anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam melarang nikah syighar dan dari Abdurrahman bin Hurmus bin A’raj sesungguhnya Abbas bin Abdullah bin Abbas menikahkan Abdurrahman bin Hakam dengan putrinya dan Abdurrahman menikahkan putrinya dengan Abbas bin Abdullah bin Abbas tanpa mahar, lalu Muawiyah menulis surat kepada Marwan bin Hakam. Dan beliau memerintahkan untuk membatalkan pernikahan, dan mengatakan dalam suratnya:

“Pernikahan tersebut termasuk pernikahan syighar yang di-larang Rasulullah”. (HR. Ahmad). Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan makna syighar, sebagai-mana mereka juga berbeda pendapat tentang sah dan tidaknya nikah tersebut. Imam Syaukani dalam kitab Nailul Authar menyebutkan bahwa nikah syighar ada dua pengertian; pertama adalah yang disebutkan dalam hadits-hadits itu yang berarti kosongnya masing-masing kemaluan dari mahar; kedua berarti masing-masing wali mau menikahkan wanita yang di bawah kewaliannya dengan syarat kedua belah pihak saling menikah dengan wanita yang di bawah perwalian mereka masing-masing. Sebagian ulama mengam-bil pengertian yang pertama saja sehingga melarangnya. Adapun yang ke-dua, mereka tidak melarangnya. Ibnu Abdul Bar berkata: Para ulama sepakat bahwa nikah syighar tidak boleh, akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang sah atau tidaknya akad nikah, jumhur ulama menyatakan bahwa akad nikah tersebut tidak sah. Imam Malik dalam salah satu riwayat menyebutkan bahwa jika kedua suami istri belum bercampur, maka pernikahan tersebut harus dibatalkan. Akan tetapi jika keduanya telah bercampur, maka perni-kahan tersebut harus dipertahankan. Dan Ibnul Mundzir meriwayatkan pendapat itu dari Al-Auza’i, ulama-ulama madzhab Hanafi, juga Zuhry, Makhul, Ats-Tsaury, Al-Laits, Imam Ahmad dalam satu riwayat, Ishaq dan Abu Tsaur berpendapat bahwa nikah syighar sah tetapi masing-masing wajib membayar mahar. Imam Ibnul Qayyim dalam kitab Zadul Ma’ad mengata-kan bahwa para ulama ahli fiqh berbeda pendapat dalam masalah ini,

Imam Ahmad berpendapat nikah syighar yang bathil (tidak sah) adalah masing-masing wali mau menikahkan wanita yang di bawah kewaliannya dengan syarat kedua belah pihak saling menikah dengan wanita yang di bawah perwalian mereka masing-masing tanpa mahar. Jika mereka menyebutkan mahar, maka akad nikah tersebut dinyatakan sah.

Akan tetapi Imam Al-Kharqi berpendapat bahwa nikah syighar tidak sah walaupun dengan menyebutkan mahar, begitu juga Imam Abu Barakat Ibnu Taimiyah dan beberapa pengikut Imam Ahmad berpendapat bahwa apabila mereka menyebutkan mahar dalam akad nikah, setelah akad nikah masing-masing menggugurkan mahar pernikahan, maka akad nikah tersebut dianggap tidak sah. Dalam kitab Muharrar disebutkan bahwa apabila masing-masing wali mau meni-kahkan wanita yang di bawah kewaliannya dengan syarat kedua belah pihak saling menikah dengan wanita yang di bawah perwalian mereka masing-masing tanpa mahar, maka pernikahan tersebut tidak sah dan itulah yang dimaksud dengan nikah syighar. Apabila masing-masing menyebutkan mahar, maka akad nikah tersebut dinyatakan sah. Akan tetapi Imam Al-Kharqi berpendapat bahwa pernikahan tersebut tidak sah baik menggunakan mahar maupun tidak. Menurut pendapat saya jika masing-masing menggugurkan mahar mereka atau memberi mahar hanya secara simbolis, maka hukum pernikahan tersebut adalah batil dan harus dibatalkan, baik sudah dicampuri atau belum. Syariat Islam telah mengharamkan nikah syighar sebab pernikahan tersebut mengandung unsur penipuan terhadap tanggung jawab kewalian.

Seharusnya seorang wali berusaha untuk mencarikan jodoh sebaik mungkin bagi wanita yang di bawah kewaliannya, yang akan membawa mereka bahagia dunia dan akhirat. Dan seharusnya para wali selalu mengutamakan maslahat wanita yang di bawah kewaliannya dan bukan hanya untuk mementingkan hawa nafsu pribadi. Karena wanita bukanlah binatang atau budak yang bisa dimanfaat-kan untuk memenuhi kesenangan sesaat, tetapi wanita itu merupakan amanah, yang harus dicarikan calon suami yang baik dan mahar yang wajar.

Ketahuilah bahwa masing-masing wali adalah pemimpin dan akan diminta tanggung jawab atas kepemimpinannya. Jika para wali semena-mena dan tidak memperhatikan maslahat wanita yang di bawah kewaliannya, maka kewalian tersebut dicabut darinya dan berpindah kepada wali yang lebih baik. Adapun menyebarnya nikah syighar di daerah selatan (Saudi) dikalangan Bani Harits, hendaknya bagi setiap orang yang memiliki ghirah ke-Islaman untuk mencegah dan melarang perbuatan tersebut dengan cara melaporkan kepada pihak yang berwajib Dan mereka pasti akan menindak dan meng-hentikan perbuatan tersebut baik secara lisan atau kekuasaan demi tegaknya Islam dan hukum Allah.