Ketahuilah bahwa bab ini termasuk bab yang sangat dibutuhkan agar tidak tertipu dengan perkataan yang batil dan bergantung kepadanya.

Dan ketahuilah bahwa hukum syariat yang lima -yaitu wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah- tidak tetap sesuatu pun darinya kecuali dengan adanya dalil. Dan dalil-dalil syar’i sudah diketahui, maka sesuatu yang tidak ada dalilnya, tidak perlu diperhatikan dan tidak perlu dijawab, karena hal tersebut bukan merupakan hujjah, serta tidak perlu disibukkan dengan jawabannya. Dan dengan ini, para ulama telah memberikan kontribusinya dalam masalah seperti ini, dengan menyebutkan dalil atas pembatalannya.

Dan maksudku dengan pendahuluan ini adalah, bahwa sesuatu yang telah saya kemukakan mengenai seorang pembicara yang memakruhkan lafazh ini, kemudian saya katakan “hukumnya bukan makruh”, atau ini “perkataan batil” atau yang semisalnya, maka tidak ada kebutuhan terhadap dalil tentang pembatalannya. Dan apabila saya mengatakannya, maka saya menjadi kontributor terhadapnya.

Dan sesungguhnya saya menetapkan bab ini untuk menjelaskan kesalahan dan kebenaran di dalam suatu perkataan, agar tidak tertipu oleh keluhuran orang yang mana perkataan ini bersandar kepadanya.

Ketahuilah bahwa saya tidak menyebutkan nama orang yang menghukumi makruh lafazh-lafazh ini agar kemuliaan mereka tidak jatuh, lalu timbul prasangka buruk terhadap mereka. Padahal maksudnya bukan untuk mencela mereka, namun yang dituntut hanyalah peringatan dari ucapan yang batil yang dinukilkan dari mereka, sama saja, apakah itu shahih dari mereka ataupun tidak shahih. Namun apabila shahih, maka hal itu tidak mencela kemuliaan mereka sebagaimana diketahui. Dan saya telah menisbatkan sebagiannya untuk tujuan shahih agar sesuatu yang diucapkannya mengandung beberapa kemungkinan, sehingga selain diriku dapat melihat di dalamnya, dan boleh jadi pandangannya menyelisihi pandanganku, lalu pandangannya menguatkan perkataan imam tersebut kepada hukum ini. Wa billah at-Taufiq.

Dan di antara hal tersebut adalah ucapan yang diceritakan oleh al-Imam Abu Ja’far an-Nahhas dalam kitabnya, Syarh Asma`illah ta’ala dari sebagian ulama, bahwasanya dia memakruhkan perkataan, تَصَدَّقَ اللهُ عَلَيْكَ (semoga Allah memberimu sedekah). Dia berkata, “Karena orang yang bersedekah mengharapkan balasan.”

(1207) Saya berkata, Hukum ini merupakan kesalahan yang jelas dan kebodohan yang buruk, dan pengambilan kesimpulannya lebih rusak lagi. Dan telah ditetapkan dalam Shahih Muslim, Kitab al-Musafirin, Bab Shalah al-Musafirin wa Qashriha, 1/478, no. 686. dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau bersabda tentang mengqashar shalat,

صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللهُ بِهَا عَلَيْكُمْ، فَاقْبَلُوْا صَدَقَتَهُ.

“Qashar shalat adalah sedekah yang disedekahkan oleh Allah untuk kalian, maka terimalah sedekahNya.

Pasal: Dan di antara hal tersebut adalah ucapan yang disampaikan an-Nahhas juga dari pembicara ini yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa dia memakruhkan perkataan اَللّهُمَّ أَعْتِقْنِيْ مِنَ النَّارِ”Ya Allah bebaskanlah aku dari api neraka,” dia berkata, “Karena tidak akan bebas kecuali orang yang meminta imbalan:

(1208-1209) Dakwaan serta pengambilan dalil seperti ini termasuk kesalahan yang paling buruk dan kebodohan yang paling hina terhadap hukum-hukum syariat. Kalau saya melakukan penelitian hadits shahih yang menyatakan pembebasan Allah terhadap orang yang dikehendakiNya dari kalangan makhluknya, niscaya kitab ini akan memanjang dan membosankan, hal tersebut sebagaimana hadits,

مَنْ أَعْتَقَ رَقَبَةً، أَعْتَقَ اللهُ بِكُلِّ عُضْوٍ مِنْهَا عُضْوًا مِنْهُ مِنَ النَّارِ.

“Barangsiapa yang membebaskan seorang budak maka Allah akan membebaskan setiap anggota tubuhnya dari api neraka dengan pembebasannya untuk setiap anggota tubuh budak tersebut.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab al-Itqu, Bab al-Itqu wa Fadhluhu, 5/146, no. 2517; dan Muslim, Kitab al-Itqu, Bab Fadhlu al-Itqi, 2/1147, no. 1509, dari hadits Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu.

Dan hadits,

مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرُ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللهُ فِيْهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ.

“Tidak ada hari yang lebih banyak, di mana Allah membebaskan hamba dari api neraka, daripada hari Arafah.“. Diriwayatkan oleh Muslim, Kitab al-Haj, Bab Fadhlu al-Haj al-Mabrur, 2/982, no. 1348, dari hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Pasal: Dan di antaranya adalah perkataan sebagian mereka bahwa, dimakruhkan untuk mengucapkan, “Kerjakanlah ini atas Nama Allah,” karena NamaNya Subhanahu waTa`ala berada di atas segala sesuatu.

(1210) Al-Qadhi Iyadh dan lainnya berkata, “Ucapan ini salah.” Sebuah hadits shahih telah menetapkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada para sahabatnya dalam penyembelihan,

اِذْبَحُوْا عَلَى اسْمِ اللهِ.

“Sembelihlah atas Nama Allah. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab adz-Dzaba`ih, Bab Qauluhu Shallallahu ‘alaihi wasallam: Falyadzbah ala Ismillah, 9/630, no. 5500; dan Muslim, Kitab al-Adhahi, Bab Waqtuha, 3/1551, no. 1960: dari hadits Jundub bin Sufyan radiyallahu ‘anhu

maksudnya, dengan mengucapkan bismillah.

Pasal: Dan di antaranya adalah ucapan yang diriwayatkan an-Nahhas dari Abu Bakar Muhammad bin Yahya, dia berkata, -dia termasuk ulama fuqaha dan sastrawan- dia berkata, “Janganlah kamu mengatakan جَمَعَنَا اللهُ بَيْنَنَا فِي مُسْتَقَرِّ رَحْمَتِهِ’Semoga Allah mempersatukan kita dalam ketetapan rahmatNya’,” karena rahmat Allah lebih luas daripada keadaannya memiliki ketetapan. Dia berkata, “Dan janganlah kamu mengucapkan اِرْحَمْنَا بِرَحْمَتِكَ ‘Sayangilah kami dengan rahmatMu’.”

Saya berkata, “Kami tidak mengetahui untuk sesuatu yang diucapkannya dalam dua lafazh tersebut sebagai hujjah, dan tidak ada dalil tentang sesuatu yang dikatakannya, karena yang dimaksudkan oleh pengucap, ‘dalam ketetapan rahmatNya’ adalah surga. Maknanya, semoga Allah mengumpulkan kami di surga yang mana ia merupakan tempat penetapan, dan tempat tinggal, karena orang-orang yang masuk surga memasukinya dengan rahmat Allah, dan orang yang memasukinya, maka dia akan menetap di dalamnya, selamanya. Dia aman dari peristiwa-peristiwa (buruk) dan kesulitan. Hal tersebut terjadi pada dirinya disebabkan oleh rahmat Allah. Maka seakan-akan dia berkata, “Kumpulkanlah kami dalam tempat menetap yang kami peroleh melalui rahmatMu.”

Pasal: An-Nahhas meriwayatkan dari Abu Bakar yang telah disebutkan sebelumnya, dia berkata, “Janganlah kamu mengatakan, اَللّهُمَّ أَجِرْنَا مِنَ النَّارِ ‘Ya Allah, jauhkanlah kami dari neraka’. Dan janganlah mengatakan, صلى الله عليه و سلم ارْزُقْنَا شَفَاعَةَ النَّبِيِّ اَللّهُمَّ ‘Ya Allah berikanlah kami rizki dengan syafa’at Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam‘.” Karena syafa’at (hanya) diberikan kepada orang yang patut mendapatkan neraka.

(1211) Aku katakan, Perkataan ini adalah kesalahan yang keji dan kebodohan yang nyata kalau bukan karena khawatir manusia akan tertipu dengan kekeliruan ini, dan karena hal tersebut telah disebutkan di banyak kitab, niscaya aku tidak akan memberanikan diri untuk menceritakannya. Karena berapa banyak hadits shahih yang menyebutkan adanya penyemangatan bagi orang-orang yang beriman sempurna dengan janji akan mendapatkan syafa’at Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,( Dalam sebagian sumber, Liqaulihi (karena ucapannya) dan ini merupakan kesalahan tulis yang nyata.)

مَنْ قَالَ مِثْلَ مَا يَقُوْلُ الْمُؤَذِّنُ، حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِيْ.

“Barangsiapa yang mengucapkan lafazh sebagaimana lafazh yang diucapkan oleh mu’adzin, niscaya syafa’atku halal untuknya.” Diriwayatkan oleh Muslim, Kitab ash-Shalah, Bab Istihbab al-Qaul Mitslu al-Mu`adzdzin, 1/288, no. 284: dari Ibnu Amr.
Dan hadits-hadits lainnya.

Imam al-Hafizh, al-Faqih, Abu al-Fadhl Iyadh rahimahullah telah melakukan suatu kebaikan dengan mengatakan, “Telah diketahui adanya penukilan terperinci tentang permohonan para ulama as-Salaf ash-Shalih rahimahumullah kepada Allah ‘Azza Wa Jalla agar mendapatkan syafa’at Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan keinginan mereka yang sangat besar kepadanya.” Dia melanjutkan, “Atas dasar inilah maka tidak perlu menoleh kepada pendapat yang menghukumi makruhnya lafazh tersebut di atas, dengan alasan bahwa syafa’at hanya untuk orang-orang yang berdosa. Karena telah shahih dalam hadits-hadits di dalam Shahih Muslim dan selainnya, tentang penetapan adanya syafa’at bagi beberapa kaum untuk masuk ke dalam surga tanpa hisab, dan syafa’at bagi suatu kaum untuk menambahkan derajat mereka di surga.” Dia melanjutkan, “Kemudian setiap orang yang berakal pasti akan mengakui kelalaiannya, sangat berharap kepada ampunan, khawatir kalau-kalau dia termasuk orang-orang yang binasa. Dan orang yang mengatakan pendapat tersebut di atas mengharuskan untuk tidak berdoa memohon ampunan dan rahmat, karena keduanya hanya bagi orang-orang yang berdosa. Semua ini menyelisihi apa yang telah diketahui dari doa para ulama salaf dan khalaf.”

Pasal: Di antara hal lainnya adalah apa yang telah disebutkan oleh an-Nahhas dari orang tersebut, dia berkata, “Janganlah engkau mengatakan, تَوَكَّلْتُ عَلَى رَبِّي الرَّبِّ الْكَرِيْمِ (Aku bertawakal kepada Rabbku, Rabb Yang Mahamulia), akan tetapi katakanlah, تَوَكَّلْتُ عَلَى رَبِّي الْكَرِيْمِ. (Aku bertawakal kepada Rabbku Yang Mahamulia).”

Aku katakan, Tidak ada dasar bagi apa yang dikatakannya.

Pasal: Di antara hal lainnya adalah apa yang diceritakan dari sejumlah ulama, bahwasanya mereka memakruhkan untuk menamakan thawaf di Ka’bah dengan syauth atau daur (putaran). Mereka mengatakan, “Akan tetapi dikatakan untuk kali pertama, thaufah (satu kali thawaf), untuk kali kedua, thaufatan (dua kali thawaf), untuk kali yang ketiga, tsalatsu thawafat (tiga kali thawaf), dan untuk yang ketujuh, thawafi.”

(1212) Saya berkata, Dan yang mereka katakan ini tidak kami ketahui asalnya, dan mungkin mereka memakruhkannya karena keberadaannya sebagai lafazh-lafazh jahiliyah, dan yang benar adalah bahwa tidak ada kemakruhan di dalamnya. Dan telah kami riwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu, dia berkata,

أَمَرَهُمْ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ يَرْمُلُوْا ثَلاَثَةَ أَشْوَاطٍ، وَلَمْ يَمْنَعْهُ أَنْ يَأْمُرَهُمْ أَنْ يَرْمُلُوا اْلأَشْوَاطَ كُلَّهَا إِلاَّ اْلإِبْقَاءُ عَلَيْهِمْ.

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan mereka untuk berlari kecil (Ar-Ramlu bermakna bergerak lebih cepat daripada berjalan, dan lebih pelan daripada lari, dan mendekati pengertian berlari kecil.)tiga putaran, dan tidak ada yang menghalanginya untuk menyuruh mereka berlari kecil mengelilingi semuanya melainkan karena rasa sayangnya terhadap mereka.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab al-Haj, Bab Kaifa Kana Bad`u ar-Ramli, 3/469, no. 1602; dan Muslim, Kitab al-Haj, Bab Istihbab ar-Ramli, 2/923, no. 1266.

Pasal: Dan di antara yang dimakruhkannya adalah perkataan, “Kami berpuasa Ramadhan, dan telah datang Ramadhan” dan semisalnya, jika yang dimaksudkan adalah bulan Ramadhan. Namun kemakruhannya masih diperselisihkan. Menurut jamaah dari golongan ulama terdahulu, dimakruhkan untuk mengucapkan Ramadhan tanpa dinisbahkan kata bulan. Hal tersebut diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri dan Mujahid. Al-Baihaqi berkata, “Jalan kepada keduanya adalah dhaif. Dan madzhab para sahabat kami adalah bahwa dimakruhkan untuk mengatakan, ‘Ramadhan datang, waktu Ramadhan masuk, Ramadhan hadir, dan semisalnya dari sesuatu yang tidak memiliki qarinah, yang di dalamnya menunjukkan bahwa maksudnya adalah bulan. Dan tidak dimakruhkan apabila disebutkan qarinah bersamanya yang menunjukkan nama bulan, seperti ungkapan, ‘Saya berpuasa Ramadhan, saya mendirikan shalat pada (bulan) Ramadhan, wajib berpuasa Ramadhan, telah hadir Ramadhan, bulan yang penuh dengan keberkahan, dan semisalnya. Ini adalah pendapat para sahabat kami. Hal tersebut dinukil oleh dua orang imam; hakim agung Abu al-Hasan al-Mawardi dalam kitabnya al-Hawi, dan Abu Nashr bin ash-Shabbagh dalam kitabnya, asy-Syamil dari para sahabat kami. Demikian pula, selain keduanya menukilkannya dari sahabat kami dari sahabat lainnya secara mutlak.

(1213) Mereka berhujjah dengan hadits yang kami riwayatkan dalam Sunan al-Baihaqi, dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لاَ تَقُوْلُوْا: رَمَضَانُ، فَإِنَّ رَمَضَانَ اسْمٌ مِنْ أَسْمَاءِ اللهِ تعالى، وَلكِنْ قُوْلُوْا: شَهْرُ رَمَضَانَ.

‘Janganlah kalian mengucapkan Ramadhan, karena Ramadhan itu merupakan salah satu nama dari Nama-nama Allah Ta’ala, akan tetapi ucapkanlah Bulan Ramadhan‘.”

Dhaif: Diriwayatkan oleh Ibnu Adi 7/2517; al-Baihaqi 4/201: dari jalur Muhammad bin Abi Ma’syar, Ayahku menceritakan kepadaku, dari Sa’id al-Maqburi, dari Abu Hurairah dengan hadits tersebut.
Ini hadits dhaif, ia mempunyai dua illat:

Pertama, bahwa Abu Ma’syar dhaif atau padanya terdapat kelemahan.

Kedua, bahwa dia mudhtharib (goyah) di dalam periwayatannya, terkadang meriwayatkan demikian, dan terkadang berkata, “Dari Muhammad bin Ka’ab, dengan hadits tersebut,” yakni dia memauqufkan riwayat ini kepadanya. Al-Baihaqi berkata, “Dan ini lebih dekat kepada kebenaran.” Saya berkata, Akan tetapi kesimpulannya menunjukkan kepada kedhaifan seseorang atau minimal ketidakakuratannya terhadap hadits ini.” Hadits ini didhaifkan oleh Ibnu Adi, al-Baihaqi, an-Nawawi, dan al-Asqalani.

Dan hadits ini dhaif, al-Baihaqi telah mendhaifkannya, dan kelemahan padanya jelas, dan tidak ada satu orang pun yang menyebutkan Ramadhan sebagai Nama Allah ‘Azza Wa Jalla, padahal banyak sekali ulama yang menulis buku tentangnya.

Dan yang benar Wallahu a’lam adalah yang diriwayatkan oleh al-Imam Abu Abdillah al-Bukhari dalam Shahihnya, Kitab ash-Shaum, Bab Hal Yuqal Ramadhan Au Syahru Ramadhan, 4/112. dan lebih dari seorang ulama muhaqqiq, bahwa secara mutlak tidak ada kemakruhan bagaimanapun orang mengatakan, karena kemakruhan tidak ditetapkan melainkan oleh syariat, dan tidak ditetapkan sesuatu pun dari kemakruhannya. Bahkan kebolehannya telah ditetapkan dalam beberapa hadits, dan hadits-hadits tentangnya bersumber dari ash-Shahihain dan selainnya yang lebih banyak daripada untuk dihitung.

(1214) Hadits yang kami riwayatkan dalam Shahih al-Bukhari, Kitab ash-Shaum, Bab Hal Yuqal Ramadhan Au Syahru Ramadhan, 4/112, no. 1898; dan 1899; dan Shahih Muslim, Kitab ash-Shiyam, Bab Fadhlu Syahri Ramadhan, 2/758, no. 1079. dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ، فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ، وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ.

“Apabila Bulan Ramadhan datang, maka dibukalah pintu-pintu surga, dan ditutuplah pintu-pintu neraka serta setan-setan diikat dengan belenggu.” (Shufidat asy-Syayathin bermakna diikat dengan belenggu dan ikatan tali.)

Dalam sebagian riwayat ash-Shahihain dalam hadits ini,

إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ

“Apabila Bulan Ramadhan masuk.

Dan dalam riwayat Muslim,

إِذَا كَانَ رَمَضَانُ.

“Apabila Bulan Ramadhan.

(1215) Dan dalam ash-Shahih,

لاَ تَقَدَّمُوْا رَمَضَانَ.

“Janganlah kamu mendahului Bulan Ramadhan (dengan berpuasa).” Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab ash-Shaum, Bab La Yutaqaddam Ramadhan Bi Shaum, 4/127, no. 1914; dan Muslim, Kitab ash-Shiyam, Bab La Tuqaddamu Ramadhan bi ash-Shaum, 2/762, no. 1082: dari hadits Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu.

(1216) Dan dalam ash-Shahih,

بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ … مِنْهَا صَوْمُ رَمَضَانَ.

“Islam didirikan atas lima perkara…di antaranya puasa pada Bulan Ramadhan.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab al-Iman, Bab Du’aukum Imanukum, 1/49, no. 8; dan Muslim, Kitab al-Iman, Bab Bayan Arkan al-Islam, 1/45, no. 16: dari hadits Ibnu Umar radiyallahu ‘anhu.

Dan hadits-hadits semisal ini sangat banyak dan terkenal.

Pasal: Dan di antaranya pendapat yang dinukilkan dari sebagian para ulama terdahulu, bahwa dimakruhkan mengatakan, “Surat al-Baqarah, ad-Dukhan, al-Ankabut, ar-Rum, al-Ahzab dan yang semisalnya.” Mereka mengatakan, “Dan hendaklah mengatakan ‘Surat yang di dalamnya disebutkan tentang al-Baqarah (sapi betina), surat yang di dalamya disebutkan tentang an-Nisa` (perempuan) dan semisalnya’.”

(1217) Saya berkata, Hal ini salah dan menyelisihi as-Sunnah, karena penggunaan ucapan tersebut telah tetap (tsabit) dalam hadits-hadits pada tempat-tempat yang tidak terhitung banyaknya, seperti sabdanya Shallallahu ‘alaihi wasallam,

اْلآيَتَانِ مِنْ آخِرِ سُوْرَةِ الْبَقَرَةِ، مَنْ قَرَأَهُمَا فِي لَيْلَةٍ، كَفَتَاهُ.

“Dua ayat akhir surat al-Baqarah, siapa saja yang membaca keduanya pada malam hari niscaya cukup baginya agar terhindar dari segala kejahatan.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab al-Maghazi, Bab, 7/317, no. 4008; dan Muslim, Kitab al-Musafirin, Bab Fadhlu al-Fatihah, 1/554, no. 807.

Pasal: Di antaranya adalah ucapan yang muncul dari Mutharrif bin Abdullah rahimahullah, bahwa dia memakruhkan perkataan, إِنَّ اللهَ تَعَالَى يَقُوْلُ فِي كِتَابِهِ “Sesungguhnya Allah Subhanahu waTa`ala berfirman di dalam kitabNya.” Dia berkata, “Seharusnya diucapkan, إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ ‘Sesungguhnya Allah Ta`ala telah berfirman’.” Seolah-olah dia memakruhkan perkataan tersebut karena kondisi lafazh tersebut sebagai lafazh mudhari’ (present tenses), dan penunjukannya adalah untuk sekarang dan akan datang, sedangkan firman Allah adalah kalamnya, sedangkan kalamnya adalah bersifat qadim (dahulu).

Akidah Ahlussunnah bahwa Allah Subhanahu waTa`ala dahulu berfirman dan masih senantiasa berfirman apabila dia berkehendak dengan sesuatu yang dikehendakiNya. Dan tidak diragukan bahwa jenis FirmanNya adalah qadim (dahulu), akan tetapi berbicara dari kosakatanya (mufradatihi) apa pun dan kapan pun sesuai yang dikehendakiNya.

Saya berkata, Hal ini bukanlah sesuatu yang bisa diterima, dan penggunaan ucapan ini dari berbagai segi adalah telah tetap dalam hadits-hadits shahih. Dan saya telah mengingtakan hal tersebut dalam Syarh Shahih Muslim dan dalam kitab Adab al-Qurra‘. Allah Subhanahu waTa`ala berfirman,

وَاللهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ

“Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).” (Al-Ahzab: 4)

(1218) Dan dalam Shahih Muslim, Kitab adz-Dzikru wa ad-Du’a`, Bab Fadhlu adz-Dzikri, 4/2068, no. 2687. dari Abu Dzar dia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يَقُوْلُ اللهُ عزوجل : مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ، فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا.

“Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman, ‘Barangsiapa yang berbuat kebaikan, maka dia mendapat sepuluh kebaikan semisalnya’.”

(1219) Dan dalam Shahih al-Bukhari dalam tafsir Surat Ali Imran: 92,

لَن تّنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنفِقُوا مِن شَىْءٍ فَإِنَّ اللهَ بِهِ عَلِيمُُ (آل عمران: 92) قَالَ أَبُو طَلْحَةَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ اللهَ عز وجل يَقُوْلُ: لَن تّنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنفِقُوا مِن شَىْءٍ فَإِنَّ اللهَ بِهِ عَلِيمُُ (آل عمران: 92)

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (Ali Imran: 92). “Abu Thalhah berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah berfirman, ‘Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai’.” (Ali Imran: 92).

Al-Bukhari tidak sendirian dalam meriwayatkan hadits ini, bahkan dia meriwayatkannya dalam Kitab at-Tafsir, Bab Ali Imran, Bab, 8/223, no. 4554; dan Muslim, Kitab az-Zakah, Bab Fadhlu an-Nafaqah wa ash-Shadaqah, 2/693, no. 998: dari hadits Anas radiyallahu ‘anhu.

Sumber : Ensiklopedia Dzikir Dan Do’a, Imam Nawawi, Pustaka Sahifa Jakarta.