Masa tua merupakan masa penentu kebahagiaan seseorang. Jika dia dalam masa tuanya sudah tidak lagi memikul berbagai beban dan problematika hidup, maka sungguh itu merupakan masa tua yang membahagiakan. Karena masa tua merupakan masa di mana seseorang sudah mulai mengurangi berbagai aktivitas hidup disebabkan menurunnya produktivitas dan kemampuan. Masa tua merupakan masa bagi seseorang menuai hasil kerja payahnya di masa muda. Jika seseorang sudah renta namun harus menanggung berbagai persoalan hidup, maka sungguh itu merupakan masa tua yang tidak membahagiakan. Di dalam kondisi yang sudah tidak mampu banyak berbuat, dia justru dituntut harus banyak berbuat. Dalam kondisi produktivitas menurun ia justru dituntut untuk berproduksi tinggi.

Adakah orang yang menginginkan masa tuanya sengsara? Adakah seseorang yang saat dia muda, punya banyak perusahaan dan kekayaan, lalu menginginkan agar nanti tatkala tua seluruh perusahaannya hancur tanpa dapat menikmatinya? Dan saat dia tidak mampu lagi untuk membangun perusahaannya itu? Pada saat bersamaan keturunannya belum bisa mandiri dan masih bergantung kepadanya? Lalu apakah yang dapat dia perbuat dengan tubuhnya yang sudah renta itu, dengan kemampuannya yang sudah mulai sirna itu? Sebuah gambaran yang seorang paling bodoh sekali pun tidak menginginkannya!

Itulah gambaran akhirat! Akhirat adalah puncak segala-galanya, penentu kebahagiaan dan kesengasaraan seseorang. Ibarat masa tua, akhirat adalah masa menuai, sedangkan kehidupan dunia adalah ibarat masa muda, masa bagi seseorang yang masih mempunyai banyak kesempatan untuk berbuat. Justru di akhirat itulah manusia sangat membutuhkan terhadap hasil jerih payahnya tatkala di dunia, bukan di dunia sebagai hasil akhirnya. Maka merupakan kewajiban setiap muslim untuk senantiasa berorientasi terhadap kehidupan akhirat, sebagaimana manusia pada umumnya sangat berorientasi terhadap masa tuanya. Berbagai persiapan mereka lakukan, mengalokasikan dana pensiun masa tua, menginvestasikan harta untuk ini dan itu, membangun perusahaan dan bisnis, membeli lahan yang luas, dan masih banyak lagi yang mereka lakukan agar bisa hidup tenang di masa tua kelak.

Jika demikian khawatirnya manusia terhadap bayangan kebangkrutan masa tua di dunia, maka selayakanya mereka lebih khawatir lagi dengan “masa tua akhirat”. Dan itulah yang terjadi pada kaum salaf, para shahabat, tabi’in, para imam dan orang-orang shalih yang menempuh jalan mereka. Jika mereka ditaqdirkan oleh Allah subhanahu wata’ala dengan rizki yang lapang (kaya), maka mereka sangat khawatir jika harta itu kelak akan mengurangi “jatah” mereka di akhirat. Sehingga mereka buru-buru menginfaqkan harta tersebut untuk sabilillah dan jalan-jalan kebaikan. Kesadaran mereka terhadap kebutuhan di akhirat sudah sedemikian besar, sehingga seluruh kemampuan mereka di dunia mereka gunakan untuk berbekal menyongsong kehidupan akhirat. Mereka telah menjual diri dan dunia mereka kepada Allah subhanahu wata’ala demi “masa tua” di akhirat, masa ketika mereka sudah tidak mampu lagi untuk beramal dan berbuat, masa ketika mereka menikmati usaha dan jerih payah di dunia. Mereka sangat khawatir jika di masa-masa ini, justru terjerumus dalam kebangkrutan dan kerugian yang besar.

Alangkah indahnya perumpamaan di dalam al-Qur’an tentang hal ini, sebagaimana firman-Nya, artinya, “Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; Dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya.” (QS. al-Baqarah:266)

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Telah berkata Umar bin al Khaththab radhiyallahu ‘anhu, “Aku membaca sebuah ayat di suatu malam yang membuatku terus begadang, yaitu (artinya), “Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur…dst” (QS.al-Baqrah:266). Apakah yang dimaksud oleh ayat itu?

Maka sebagian orang yang hadir berkata, “Allahu a’lam (Allah subhanahu wata’ala yang lebih Tahu).” Maka Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sungguh aku tahu bahwa Allah itu Maha Tahu, namun aku bertanya jika salah seorang dari kalian mempunyai pengetahuan atau pernah mendengar tentang penjelasan ayat ini hendaknya memberitahukan apa yang telah dia dengar.” Maka orang-orang diam membisu, lalu dia melihatku sedang berbisik lirih. Kemudian berkata, “Katakan wahai anak saudaraku, janganlah engkau rendah diri (minder)”. Maka aku berkata, “Yang dimaksudkan ayat itu adalah amal.” Dia menghadap kami dan menjelaskan ayat itu dengan mengatakan, ” Engkau benar wahai putra saudaraku, maksud ayat itu adalah amal. Bahwa manusia paling butuh terhadap perkebunannya adalah ketika dia sudah lanjut usia dan banyak anak cucunya, dan keadaan manusia yang paling butuh terhadap amalnya adalah ketika di hari Kiamat. Engkau benar wahai putra saudaraku.” (Dikeluarkan oleh ‘Abd bin Humaid, Ibnul Mundzir, Ibnul Mubarak, Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, al-Hakim dengan meringkas, dan dia menshahihkannya, dan kisah ini dikuatkan dengan riwayat imam al-Bukhari).

Ayat ini menerangkan, bahwa akhirat bagi seorang mukmin adalah segala-galanya. Sebagaimana dalam kehidupan dunia, masa tua adalah masa penentu kebahagiaan seseorang.

Dalam tafsir Ibnu Katsir disebut kan bahwa menurut Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu ayat ini menjelaskan tentang perumpamaan seseorang yang tadinya kaya dan banyak melakukan amal kebaikan, lalu Allah subhanahu wata’ala mengujinya dengan melalui godaan syetan sehingga ia berbalik melakukan kemaksiatan, dan akhirnya amal-amal kebaikan tersebut lenyap tenggelam.

Jadi jelasnya ayat ini merupakan permisalan tentang amal seseorang yang tadinya dia senatiasa melakukan kebaikan-kebaikan, lalu di tengah perjalaan hidupnya dia berubah haluan menjadi melakukan keburukan-keburukan. Kita berlindung kepada Allah subhanahu wata’ala dari hal itu. Akhirnya amalnya yang terkahir mengalahkan amalnya yang terdahulu yang baik. Kemudian ketika ia sangat butuh terhadap amalnya yang pertama, tatkala dalam kondisi sulit dan sempit (di akhirat) ternyata dia tidak memperolah pahala amal itu sedikit pun karena telah sirna.

Oleh karena itu dikatakan, “Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah. Yakni membakar buahnya dan menghangus kan pohon-pohonnya, dapat kita bayangkan bagaimana keadaannya!

Ibnu Abi Hatim telah meriwayatkan dari jalur al-Aufi dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, “Allah subhanahu wata’ala telah membuat perumpamaan yang sangat bagus, dan seluruh perumpamaan dari Allah adalah bagus. Allah subhanahu wata’ala berfirman, “Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; Dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah, Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya.” (QS. al-Baqarah:266)

Beliau berkata dalam permisalan firman Allah subhanahu wata’ala, “Kemudian datanglah masa tua pada orang itu, sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil di penghujung umurnya. Maka kebun itu ditimpa oleh angin keras yang mengandung api sehingga membakarnya, sedangkan dia sudah tidak punya kekuatan lagi untuk mengembalikan kebun itu seperti sedia kala. Pada saat yang sama keturunan nya masih belum bisa diandalkan untuk memperbaiki kondisi kebun itu agar lebih baik. Demikan juga dengan orang-orang kafir pada hari Kiamat, ketika mereka kembali ke hadapan Allah subhanahu wata’ala mereka tidak mempunyai kebaikan yang dapat diandalkan. Sebagaimana si empunya kebun itu sudah tidak mempunyai kekuatan dan apa-apa lagi untuk mengembalikan kebunnya seperti sebelumnya. Orang kafir itu tidak punya amal kebaikan yang dapat memberikan manfaat kepada dirinya, sebagaimana si pemilik kebun tidak bisa mendapat manfaat apa-apa dari anaknya yang masih lemah. Si kafir ini terhalang dari pahala pada saat ia sangat membutuh kannya sebagaimana si pemilik kebun ini tidak bisa menikmati hasil kebun di kala dia sangat butuh terhadapnya, yakni di masa ia sudah renta, dan anak cucunya pun tak mampu berbuat apa-apa.

Maka apakah anda ingin nanti di akhirat, tatkala anda butuh terhadap semua pahala kebaikan, namun pahala-pahala tersebut ternyata sirna?? Tentu tidak! Oleh karena itu hendaknya kita semua waspada dari perkara-perkara yang dapat merusak dan membatalkan amal kebaikan. (Abu Ahmad)
Sumber: – Kitab Tadabbur al-Qur’an -Tafsir Ibnu Katsir jilid I hal 424-425