Ilmu agama adalah ilmu termulia, dengannya seorang muslim bisa menjadi muslim yang baik, yang beramal dengan pijakan ilmu, dia bisa meluruskan imannya yang merupakan dasar bagi amal perbuatannya, dan dengannya pula dia bisa mengoreksi amal perbuatannya yang menjadi kewajibannya sebagai seorng muslim. Seandainya ilmu agama tidak memiliki keutamaan lain selain yang kami sebutkan niscaya itu sudah cukup sebagai keutamaan yang wajib untuk diraih dan dikejar. Dari sini maka medan mempelajari ilmu agama dari dulu sampai sekarang tidak pernah sepi dari para peminat, kaum muslimin senantiasa dan terus berlomba mempelajari agama mereka, segala sarana dan prasarana penunjang ilmu mereka siapkan dan sediakan semaksimal mungkin.

Salah satu persoalan dalam menuntut ilmu agama adalah apakah seseorang bisa manjadi pandai agama tanpa bimbingan dari guru atau muallim? Mampukah dia belajar agama secara otodidak? Satu hal yang tidak kita pungkiri adalah bahwa guru bukan pemberi ilmu satu-satunya, ada buku yang juga bisa memberi ilmu dalam batas-batas tertentu, akan tetapi kalau kita telisik maka kitapun harus mengakui bahwa buku juga berasal dari orang yakni penulisnya. Jadi asal-usul ilmu tetaplah orang, bukan buku dan orang tersebut tidak lain adalah guru.

Karena asal-usul buku adalah orang maka sulit untuk mengatakan bahwa seseorang mungkin belajar agama hanya dari buku saja tanpa bimbingan dari seorang muallim, karena jika ada sesuatu dalam buku tersebut, dan ini pasti ada, yang tidak dia mengerti maka dia akan mencari orang untuk menjelaskannya, entah itu penulisnya sendiri atau orang lain yang dia anggap mengerti maksudnya. Dalam keadaan ini dia tetap membutuhkan muallim. Ini pertimbangan pertama.

Kedua: Ilmu dalam agama bukan sekedar transfer pengetahuan semata, akan tetapi lebih dari itu ia adalah pendidikan dan pembentukan pribadi, agama Islam tidak hanya menginginkan seorang muslim yang kaya ilmu semata, akan tetapi di samping dia kaya ilmu, dia juga mempunyai kepribadian yang terdidik dan terbentuk oleh nilai-nilai ketakwaan dan keimanan yang menjadikannya seorang ulama yang memiliki rasa takut kepada Allah, pembentukan dan pendidikan inilah yang tidak bisa dilakukan oleh buku, bagaimana buku membentuk dan mendidik sementara ia adalah benda mati? Yang bisa melakukannya adalah guru atau syaikh.

Ketiga: Dalam ilmu agama terdapat hubungan nasab ilmu antara guru dan murid, ini dimungkinkan jika keduanya adalah makhluk hidup, karena bagaimanapun benda mati tidak meyambung nasab ilmu.

Keempat: Belajar agama dari muallim adalah metode yang telah teruji oleh sejarah dalam rentang waktu yang panjang pula dan telah menghasilkan para ulama besar dalam jumlah yang besar pula, di awali oleh Rasulullah saw yang mengambil wahyu melalui Jibril diteruskan oleh para sahabat yang yang belajar langsung dari Rasulullah saw, lalu para tabiin, para ulama dan begitu seterusnya. Kita bisa membaca dalam biografi seorang ulama fulan, misalnya, di sana tercantum deretan nama dari syaikh dan muridnya. Salah satu indikator kelayakan sebuah metode adalah keberadaannya yang tidak pernah tergerus oleh masa dan tempat, dan ini dimiliki oleh metode belajar dari guru.

Kelima: Belum ada dalam sejarah seorang ulama besar lahir dari belajar kepada buku saja. Ilmu adalah keahlian dan setiap keahlian membutuhkan ahlinya, maka untuk mempelajarinya membutuhkan muallimnya yang ahli.

Syaikh Bakr Abdullah Abu Zaid berkata, “Ini hampir menjadi titik kesepakatan di antara para ulama kecuali yang menyimpang.”

Ada ungkapan, “Barangsiapa masuk ke dalam ilmu sendirian maka dia keluar sendirian.” Syaikh Bakr berkata, “Maksudnya barangsiapa masuk ke dalam ilmu tanpa syaikh maka dia keluar darinya tanpa ilmu.”

Syaikh Bakr menukil ucapan ash-Shafadi, “Jangan mengambil ilmu dari shahafi dan jangan pula dari mushafi, lalu Syaikh Bakr berkata, “Yakni jangan membaca al-Qur`an kepada orang yang membaca dari mushaf dan jangan membaca hadits dan lainnya dari orang yang mengambilnya dari buku.”

Sebagian ulama berkata,

مَنْ لَمْ يُشَافِهْ عَالِمًا بِأُصُوْلِهِ
فَيَقِيْنُهُ فِي المُشْكِلاَتِ ظُنُوْنُ

Barangsiapa tidak mengambil dasar ilmu dari ulama
Maka keyakinannya dalam perkara sulit adalah dugaan

Abu Hayyan berkata,

يَظُنَّ الغَمْرُ أَنَّ الكُتُبَ تَهْدِي
أَخَا فَهْمٍ لإِدْرَاكِ العُلُوْمِ

Anak muda mengira bahwa buku membimbing
Orang yang memahami untuk mendapatkan ilmu

وَمَا يَدْرِي الجَهُوْلُ بِأَنَّ فِيْهَا
غَوَامِضَ حَيَّرَتْ عَقْلَ الفَهِيْمِ

Orang bodoh tidak mengetahui bahwa di dalamnya
Terdapat kesulitan yang membingungkan akal orang

إِذَا رُمْتَ العُلُوْمَ بِغَيْرِ شَيْخٍ
ضَلَلْتَ عَنِ الصِّرَاطِ المُسْتَقِيمْ

Jika kamu menginginkan ilmu tanpa syaikh
Niscaya kamu tersesat dari jalan yang lurus

وَتَلْتَبِسُ الأُمُوْرُ عَلَيْكَ حَتَّى
تَصِيْرَ أَضَلَّ مِنْ تُوْمَا الحَكِيْمِ

Perkara-perkara menjadi rancu atasmu sehingga
Kamu kebih tersesat daripada Tuma al-Hakim

(Dari Hilyah Thalib al-Ilm, Syaikh Bakr Abdullah Abu Zaid dan Barnamij Amali lil Mutafaqqihin, Dr. Abdul Aziz bin Abdul Fattah Qari)