Termasuk perkara yang telah dimaklumi bahwa al-Qur`an menghalalkan sembelihan ahli kitab dan wanita mereka bagi kaum muslimin, dihalalkannya sembelihan mereka adalah pengkhususan dari hukum umum yaitu diharamnya sembelihan orang-orang kafir atau musyrik, begitu pula dihalalkannya wanita mereka adalah pengkhususan dari hukum umum yaitu diharamkannya wanita-wanita kafir dan musyrik.

Allah Ta’ala berfirman, “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik.”(Al-Baqarah: 221).

Allah berfirman, “Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir.” (Al-Mumtahanah: 10).

Larangan menikahi wanita-wanita kafir atau musyrik yang bersifat umum dalam dua ayat di atas dikhususkan dengan ayat lain yang menetapkan kehalalan menikahi wanita ahli kitab.

Firman Allah, “Dan dihalalkan mangawini wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu.” (Al-Maidah: 5).
Imam Ibnu Taimiyah menggabungkan ayat yang melarang menikahi wanita musyrik atau kafir dengan ayat yang membolehkan menikahi wanita ahli kitab, karena seperti kita ketahui bahwa wanita ahli kitab adalah wanita musyrik dan kafir.

Beliau berkata, jawabannya terdiri dari tiga segi:

Pertama, Ahli kitab tidak termasuk ke dalam syirik mutlak yang tercantum di dalam al-Qur`an, akan tetapi mereka termasuk ke dalam syirik muqayyad, hal ini karena dasar agama mereka tidak berisi syirik, syirik pada agama mereka hadir setelah itu yang disusupkan oleh para perusak..

Kedua, Dengan asumsi bahwa wanita ahli kitab termasuk wanita-wanita musyrik dalam surat Al-Baqarah dan termasuk wanita-wanita kafir dalam surat al-Mumtahanah, maka ayat dalam al-Maidah bersifat khusus dan ia turun belakangan setelah al-Baqarah dan al-Mumtahanah, jadi ayat dalam al-Maidah lebih layak didahulukan.

Ketiga, Dengan asumsi bahwa kedua ayat, ayat yang melarang menikahi wanita ahli kitab karena yang bersangkutan termasuk musyrik atau kafir dan ayat yang membolehkan, sama-sama khusus maka ayat yang membolehkan wajib dikedepankan karena dua alasan:

1- Ayat yang membolehkan terdapat dalam al-Maidah yang turun belakangan dengan kesepakatan para ahli tafsir, jadi ia menasakh ayat sebelumnya.

2- Telah terbukti kehalalan makanan (baca: sembelihan) ahli kitab dengan al-Qur`an, sunnah dan ijma’, dan pembahasan tentang wanita ahli kitab adalah seperti pembahasan tentang sembelihan mereka, jika salah satunya halal maka yang lain juga halal dan tidak ada dalil yang menentang kehalalan sembelihan ahli kitab. Hudzaefah bin al-Yaman menikahi wanita Yahudi dan tidak seorang pun dari kalangan sahabat yang mempersoalkannya. (Fatwa-Fatwa Ibnu Taimiyah tentang Khilafah, memerangi pemberontak dan seterusnya, hal. 228-232, Pustaka Sahifa, Jakarta).
Pertanyaan selanjutnya, siapa yang dimaksud dengan ahli kitab yang sembelihan dan wanitanya dihalalkan dalam al-Maidah?

Imam Ibnu Taimiyah dalam buku yang sama memaparkan masalah ini, beliau berkata, apakah yang dimaksud dengan ayat ini –yakni ayat 5 surat al-Maidah- adalah orang-orang yang memeluk agama ahli kitab setelah ayat ini turun, ataukah yang dimaksud dengannya adalah orang-orang di mana nenek moyang mereka telah masuk ke dalam agama ahli kitab sebelum nasakh dan penggantian? Ada dua pendapat di kalangan para ulama:

Pendapat pertama adalah pendapat jumhur kaum muslimin dari salaf dan khalaf, ia adalah madzhab Abu Hanifah, Malik dan salah satu pendapat dalam madzhab Ahmad bahkan ia dinyatakan secara jelas dari Ahmad.

Pendapat kedua adalah pendapat asy-Syafi’i dan sekelompok orang dari kawan-kawan Ahmad.

Lalu Imam Ibnu Taimiyah menjelaskan sebab perbedaan ini, beliau berkata, asal-usul pendapat ini adalah bahwa Ali dan Ibnu Abbas berselisih tentang sembelihan Bani Taghlib. Ali berkata, “Sembelihan dan wanita mereka tidak halal karena mereka tidak berpegang kepada agama Nasrani kecuali dalam perkara minum khamar.” Diriwayatkan dari Ali bahwa dia berkata, “Kita memerangi mereka karena mereka tidak melaksanakan syarat-syarat yang diambil oleh Usman atas mereka, karena (Usman) mensyaratkan atas mereka … dan syarat-syarat lainnya.”

Ibnu Abbas berkata, “Ia dibolehkan berdasarkan firman Allah, ‘Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.’ (Al-Maidah: 51).”

Kebanyakan kaum muslimin dari kalangan para sahabat dan lainnya tidak mengharamkan sembelihan mereka dan hal itu tidak diketahui kecuali hanya dari Ali. Ucapan senada dengan ucapan Ibnu Abbas diriwayatkan dari Umar bin al-Khattab. (Hal. 233 – 234).

Selanjutnya Imam Ibnu Taimiyah menshahihkan pendapat pertama, yaitu pendapat jumhur ulama, beliau memaparkan beberapa segi yang mendukung pendapat jumhur, di antara segi-segi yang beliau sebutkan adalah:

Pertama, Diriwayatkan secara shahih bahwa di antara anak-anak Anshar terdapat sekelompok orang yang masuk ke dalam agama Yahudi sesaat sebelum diutusnya Nabi saw, pada saat Nabi saw diutus, ada beberapa orang Anshar yang beragama Yahudi, ini berarti mereka masuk ke dalamnya sebelum Islam dan setelah diutusnya al-Masih dan ini berarti pula bahwa mereka masuk ke dalamnya setelah nasakh dan penggantian, dan mereka diperlakukan sebagai ahli kitab walaupun bapak mereka adalah orang-orang Anshar yang beriman kepada Nabi saw.

Kedua, Beberapa orang Yahudi yang hidup di Madinah dan sekitarnya adalah orang-orang Arab dan mereka masuk ke dalam agama Yahudi, meskipun begitu Nabi saw tidak membedakan dalam perkara memakan makanan mereka, kehalalan wanita mereka dan pemberlakuan akad dzimmah kepada mereka antara orang-orang yang kedua orang tuanya masuk setelah diutusnya Isa as dengan orang-orang yang masuk sebelum itu, tidak pula antara orang-orang yang diragukan nasabnya apakah kedua orang tuanya termasuk ahli kitab, akan tetapi beliau menetapkan hukum pada semua dengan satu hukum yang umum.

Ketiga, Bahwa seseorang itu Muslim atau Yahudi atau Nasrani dan nama-nama agama lainnya merupakan hukum yang terkait dengan dirinya karena keyakinannya, keinginannya, ucapan dan amal perbuatannya, dia tidak menyandang nama ini hanya karena nenek moyangnya menyandangnya, meskipun anak kecil hukumnya di dunia mengikuti hukum bapaknya karena dia belum mandiri dengan sendirinya, akan tetapi jika anak tersebut baligh lalu dia berikrar masuk Islam atau menjadi kafir maka hukumnya berpijak kepada dirinya dengan kesepakatan kaum muslimin. Seandainya kedua orang tuanya Yahudi atau Nasrani lalu anaknya masuk Islam maka anak tersebut termasuk kaum muslimin dengan kesepakatan kaum muslimin. Seandainya kedua orang tuanya muslim lalu anaknya kafir maka dia kafir dengan kesepakatan kaum muslimin.

Keempat, Firman Allah, “Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik.” (Al-Bayyinah: 1). Firman Allah, “Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi al-Kitab dan kepada orang-orang yang ummi. ‘Apakah kamu (mau) masuk Islam.’ Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk.” (Ali Imran: 20).

Dan ayat-ayat yang sepertinya merupakan pemberitahuan tentang ahli kitab yang ada dan pembicaraannya diarahkan kepada mereka, dan yang dimaksud dengan kitab adalah kitab yang mereka pegang di mana kitab tersebut telah mengalami nasakh dan penggantian apa yang ia alami, bukan yang dimaksud dengannya adalah orang-orang yang berpegang kepadanya sebelum nasakh dan penggantian karena mereka ini bukan orang-orang kafir. (Diringkas dari buku yang sama hal. 236 – 239).

Masih tersisa beberapa segi yang mendukung pendapat jumhur yang dipaparkan oleh Imam Ibnu Taimiyah, penulis akan melanjutkannya pada makalah mendatang sekaligus pertimbangan terkait pernikahan dengan wanita ahli kitab. Wallahu a’lam.