Tanya :

Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya: Sekelompok wanita bertanya tentang hukum cairan yang mengalir dari mereka setelah mandi junub, dan terkadang setelah bangun dari tidur untuk shalat Shubuh? Juga mereka bertanya tentang hukum membaca Al-Qur’an bagi wanita haidh?

Jawab :

Tidak wajib mandi bagi seorang wanita yang mengeluarkan cairan dari kemaluannya jika tidak disertai syahwat. Akan tetapi jika cairan itu keluar dari tempat keluarnya bayi maka para ulama berbeda pendapat tentang najis atau tidaknya cairan tersebut, sebagian ulama berpendapat: Bahwa kelembaban yang terjadi pada kemaluan wanita adalah najis, dan wajib bagi wanita itu untuk mensucikan dirinya sebagaimana ia membersihkan diri dari najis. Sebagian ulama lainnya berpendapat: bahwa kelembaban yang terjadi pada kemaluan wanita adalah suci, tetapi walaupun demikian kelembaban itu dapat membatalkan wudhu jika keluar. Sedangkan cairan yang keluar dari tempat keluarnya kencing, maka cairan tersebut adalah najis karena cairan tersebut mempunyai hukum yang sama dengan air kencing. Allah telah menjadikan dua saluran pada wanita, satu saluran untuk keluarnya air kencing dan satu saluran untuk keluarnya janin. Tetesan yang keluar dari tempat keluarnya janin adalah cairan alami yang sengaja Allah ciptakan bagian tersebut untuk suatu hikmah, dan cairan itu suci tetapi dapat membatalkan wudhu, sedangkan cairan yang keluar dari tempat keluarnya saluran kencing adalah najis hukumnya. Sama halnya dengan angin yang keluar dari dubur, angin ini suci akan tetapi membatalkan wudhu. Dan jika cairan itu keluar terus menerus maka hukumnya seperti hukum orang yang air kencingnya terus menerus menetes, yaitu hendaknya wanita tersebut untuk berwudhu kecuali telah masuk waktu shalat yang akan ia kerjakan, dan setelah ia mencucinya hendaknya ia menjaganya, yaitu dengan menggunakan pembalut hingga selesai shalat.
( Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/230. )