Transaksi Peminjaman

Pendahuluan
Sebenarnya secara realistis transaksi peminjaman tidaklah termasuk usaha pengembangan modal. Akan tetapi hu-bungan bisnis di bawah naungan ajaran syariat tidak hanya didasari oleh pertimbangan berbagai kepentingan semata, tetapi juga diselimuti oleh cahaya kasih sayang dan kesantunan.

Terkadang sebagian bisnisman terjerumus dalam krisis mendadak, sehingga ia terpaksa meminta rekan-rekan bisnisnya untuk menutupi hutang-hutangnya, menolongnya menghadapi kesulitan dengan memberikan pinjaman lunak yang diserahkan langsung kepadanya.

Di samping itu, sesungguhnya umat manusia amat mem-butuhkan ditegaskannya bahwa transaksi peminjaman itu bukan-lah usaha pengembangan modal. Bahwa segala syarat bunga yang ditetapkan, baik secara pribadi atau melalui bank, semua itu adalah riba yang diharamkan oleh al-Qur’an yang diturunkan dengan penjelasan tentang keharamannya. Bahkan al-Qur’an mengancam orang yang memakannya dengan peperangan kepada Allah dan RasulNya.

Definisi Qardh / Peminjaman

Qardh secara bahasa artinya adalah memotong. Dikatakan misalnya, “Saya melakukan Qardh terhadap sesuatu dengan meng-gunakan gunting.” Qardh adalah sesuatu yang engkau berikan kepada seseorang untuk suatu saat engkau minta kembali. Seolah-olah engkau memotongnya dari harta milikmu. Pinjaman itu sendiri terkadang berupa harta, dan terkadang berupa kehor-matan. Diriwayatkan dari Ibnu Umar p bahwa beliau berkata, “Pinjamkan dari kehormatan dirimu untuk saat kamu membutuh-kannya”, artinya jangan engkau menuntut hakmu darinya, dan jangan engkau hukum orang yang melakukannya terhadapmu, sehingga kamu datang di Hari Kiamat dengan pahala sempurna.”

Secara terminologis arti peminjaman adalah: Menyerahkan harta kepada orang yang menggunakannya untuk dikembalikan gantinya suatu saat.

Disyariatkannya Peminjaman
Telah terbukti disyariatkannya peminjaman ini berdasarkan Kitabullah, Sunnah Rasul dan Ijma’ para ulama.

Adapun dari Kitabullah, adalah sebagai berikut:
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan memperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” (Al-Baqarah: 245).

Sementara dari Sunnah Rasulullah:
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dalam Shahihnya dari Abu Rafi’ bahwa Nabi pernah meminjam seekor unta kepada seorang lelaki. Aku datang menemui beliau membawa seekor unta dari sedekah. Beliau menyuruh Abu Rafi’ untuk me-ngembalikan unta milik lelaki tersebut. Abu Rafi’ kembali kepada beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah! Yang kudapatkan hanya-lah sesekor unta ruba’i terbaik?” Beliau bersabda,
“Berikan saja kepadanya. Sesungguhnya orang yang terbaik adalah yang paling baik dalam mengembalikan hutang.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
“Setiap muslim yang memberikan pinjaman kepada sesamanya dua kali, maka dia itu seperti orang yang bersedekah satu kali.”

Sementara tentang Ijma’, para ulama kaum muslimin telah berijma’ tentang disyariatkannya peminjaman.

Mempertegas Peminjaman dengan Tulisan dan Saksi
Mayoritas ulama berpendapat bahwa penegasan hutang dengan tulisan dan saksi adalah disunnahkan, berlainan dengan pendapat Ibnu Hazm dan sebagian Tabi’ien yang berpendapat bahwa itu wajib dalam hutang yang ditentukan masa pemba-yarannya.
Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” .

Imam Syafi’i menyatakan, “Ketika Allah memerintahkan gadaian bila tidak mendapatkan penulis, kemudian membolehkan mereka meninggalkan gadaian itu, Allah berfirman:
[i[“Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hu-tangnya).” .

Itu menunjukkan bahwa perintah di situ hanya berupa an-juran, bukan perintah wajib yang di mana orang yang mening-galkannya berdosa.”

Apakah pemberian piutang itu lebih baik dari sedekah?
Kesimpulan dari persoalan ini adalah bahwa yang paling baik di antara keduanya adalah yang sampai ke tangan orang yang membutuhkan.

Sedekah kepada orang yang membutuhkan lebih baik dari pemberian pinjaman kepada orang yang tidak membutuhkan. Pinjaman untuk orang yang membutuhkan lebih baik daripada sedekah terhadap orang yang tidak membutuhkan.

Kalau keduanya sama, yakni bahwa masing-masing sam-pai kepada orang yang membutuhkan atau kepada orang yang tidak membutuhkan, maka sedekah itu lebih baik. Karena sedekah itu tidak ada kompensasinya. Orang yang memberi sedekah mengeluarkannya hanya karena Allah. Lain halnya dengan pin-jaman, yang pemiliknya selalu menunggu pinjamannya itu dikem-balikan.

Dengan demikian dapat direalisasikan kompromisasi antara berbagai nash atau dalil yang secara zhahir tampak bertentangan.

Asal daripada pemberian pinjaman bagi orang yang me-minjamkannya hukumnya adalah disunnahkan karena berfungsi menghilangkan kesulitan dan menolong orang memenuhi kebutuhan. Nabi a bersabda:
“Barangsiapa menyelamatkan seorang muslim dari salah satu kesulitan dunia, pasti Allah akan menolongnya melepaskan diri dari salah satu kesulitan di Hari Kiamat.”

Terkadang muncul kondisi-kondisi tertentu yang menyebab-kan hukumnya berubah menjadi wajib, yakni apabila orang yang meminjam dalam kondisi terdesak, sementara pihak yang memin-jamkan mendapatkan kesempatan untuk mengeluarkannya dari kondisi darurat itu. Bisa juga malah beralih menjadi makruh atau haram, kalau menurut berat persangkaannya bahwa pinjaman itu akan menolongnya melakukan perbuatan makruh atau haram.

Sementara asal hukum pinjaman bagi orang yang meminjam adalah dibolehkan. Yakni bagi orang yang merasa mampu untuk membayarnya. Namun terkadang muncul kondisi-kondisi terten-tu yang menyebabkannya berubah menjadi wajib, misalnya ketika ia dalam kondisi terdesak, dan meminjam adalah cara untuk da-pat menolongnya dari kondisi tersebut. Namun bisa juga berubah menjadi makruh atau haram, bagi orang yang tidak dalam kondisi terdesak dan dia melihat dirinya tidak akan mampu membayar hutang itu, atau memang meminjam dengan tujuan untuk tidak membayarnya.

Menunaikan Hutang
Pinjaman harus dikembalikan dengan jumlah yang sama. tidak perlu memperhatikan naik turunnya harga/tukar. Kalau tidak ada lagi yang sama karena sudah habis di pasaran, harus dibayar dengan harga pada saat habisnya sesuatu tersebut di pasaran. Karena hari itulah yang menentukan harga tersebut secara hukum asal.

Orang yang meminjam boleh saja mengembalikan lebih baik dari yang dipinjamnya kalau bukan termasuk di antara syarat peminjaman. Bahkan itu termasuk cara pembayaran hutang yang baik.

Nabi sendiri telah mengembalikan hutang unta bakr dengan unta ruba’ie. Beliau bersabda, “Manusia yang terbaik adalah yang paling baik dalam membayar hutang.”

Pada dasarnya hutang itu harus dikembalikan di negeri tem-pat berhutang. Orang yang berhutang wajib menunaikan hutangnya di mana ia menerima hutang tersebut. Karena tempat itulah yang harus dijadikan lokasi serah terima. Kalau orang yang berhutang mengembalikannya di negeri lain, yang menghutangi tetap harus menerimanya, selama negeri itu aman dan membawanya tidak memerlukan biaya, atau kalaupun ada biayanya ditanggung oleh orang yang berhutang. Kalau kondisinya sebaliknya, ia tidak wajib menerima pengembalian hutang tersebut.

Kalau orang yang menghutangi meminta hutang itu dikem-balikan di negeri lain, orang yang berhutang juga tidak wajib me-menuhi permintaan itu. Kecuali kalau membawanya tidak memer-lukan biaya, dan nilainya di negeri mereka tidak lebih rendah dari pada di negeri tersebut. Kalau harganya berbeda, ia hanya wajib membayar dengan harga di negerinya sendiri, karena itulah asal lokasi serah terima yang diwajibkan.

Batas Waktu Peminjaman
Mayoritas ulama berpendapat bahwa pembatasan waktu pe-minjaman adalah batil. Tidak diharuskan membatasi waktu pe-minjaman meskipun itu disyaratkan pada waktu perjanjian. Orang yang menghutangi bebas meminta kembali pinjamannya kapan saja ia menghendaki.

Sementara kalangan Malikiyah dan Zhahiriyah menyatakan bahwa pembatasan waktu pinjaman itu sah. Kalau disyaratkan adanya pembatasan waktu dalam akad, orang yang meng-hutangi tidak berhak meminta kembali pinjamannya sebelum batas waktu, berdasarkan sabda Nabi a:
“Kaum mukminin terikat dengan syarat-syarat yang disepakati di antara mereka.”

Ini juga merupakan pendapat Ibnu Taimiyah dan murid-nya Ibnul Qayyim al-Jauziyah. Pendapat itu diikuti oleh Imam asy-Syaukani.

Syarat Tambahan (bunga) dalam Pinjaman
Para ulama kaum muslimin telah berijma’ tentang diharam-kannya mengambil bunga sebagai uang pengganti pinjaman, baik bunga itu dalam bentuk tambahan jumlah atau kriteria. Mereka bersepakat bahwa itu adalah riba yang diharamkan.

Ibnu Abdil Barr menyatakan, “Setiap tambahan atau bunga dalam pinjaman atau fasilitas yang diambil oleh pihak yang me-minjamkan, maka itu adalah riba, meskipun hanya sekepal makanan ternak. Hukumnya tetap haram, kalau menjadi syarat perjan-jian.”

Sementara Ibnul Mundzir menyatakan, “Para ulama telah bersepakat bahwa orang yang menghutangi bila memberi syarat kepada yang berhutang untuk memberi bunga atau hadiah, maka bunga yang diambilnya adalah riba.”

Bahkan banyak ulama yang berpendapat dilarangnya hadiah yang diberikan oleh orang yang berhutang kepada orang yang menghutanginya sebelum orang itu membayar hutangnya, untuk menepis kemungkinan terjadinya riba. Karena bisa jadi yang diinginkan oleh penghutang adalah agar hutangnya ditangguhkan dengan imbalan hadiah tersebut. Kecuali kalau mereka berdua sudah terbiasa saling memberikan hadiah sebelumnya.

Tidak diragukan lagi bahwa adanya niat semacam itu dari salah satu pihak untuk memberi atau menerima, bisa dilampirkan dengan hal-hal yang diharamkan. Namun kalau tidak ada niat demikian, persoalannya masih merupakan masalah ijtihad saja. Semua itu telah ditegaskan oleh Ibnul Qayyim, “..yakni untuk menepis kemungkinan terjadinya pengambilan bunga dalam pin-jaman yang konsekuensinya sebenarnya harus dibayar dengan yang senilai.”

Bolehkah Melakukan Jual Beli Plus Peminjaman?
Mayoritas ulama menganggap perbuatan itu tidak boleh. Tidak boleh memberikan syarat dalam pinjaman agar pihak yang berhutang menjual sesuatu miliknya, membeli, menyewakan atau menyewa dari orang yang menghutanginya. Dasarnya adalah sabda Nabi:
“Tidak dihalalkan melakukan peminjaman plus jual beli.”

Yakni agar transaksi semacam itu tidak dimanfaatkan untuk mengambil bunga yang diharamkan.

Bagaimana Hukum Mengambil Keuntungan Ju’alah dari Pinjaman dengan Kehormatan Seseorang?
Kalau seseorang berkata misalnya, “Tolong carikan aku pin-jaman. Nanti aku memberimu sepuluh dirham setiap seratus dir-ham yang kupinjam.” Sejauh mana cara seperti ini disyariatkan?

Cara ini dibolehkan oleh kalangan Hambaliyah, kalau ju’alah yang diambil itu berdasarkan pinjaman bukan berdasarkan penja-minan. Ibnu Qudamah menyatakan, “Kalau ada orang berkata, ‘Carikan pinjaman untukku dari si Fulan sebanyak seratus dir-ham. Nanti aku memberimu sepuluh dirham.’ Hukumnya boleh. Namun bila seseorang berkata, ‘Kamu jadi penjamin saya, nanti saya memberimu seribu,’ hukumnya tidak boleh. Karena ucapan pertama, ‘Carikan pinjaman untukku dari si Fulan sebanyak sera-tus dirham, nanti aku memberimu sepuluh dirham,’ adalah tran-saksi ju’alah terhadap perbuatan mubah yang disyariatkan, maka hukumnya boleh. Sama dengan ucapan, ‘Bangunkan tembok untukku, engkau kuberi sepuluh dirham.’ Adapun dengan sistem penjaminan, seorang penjamin terpaksa harus berhutang. Kalau dibayar nanti, orang yang mendapatkan penjamin itu harus mem-bayar sama. Maka hukumnya adalah pinjaman. Kalau si penjamin mengambil keuntungan, maka setiap pinjaman yang mengambil keuntungan adalah riba.”

Para ulama berbeda pendapat tentang persoalan ini. Dika-langan Malikiyah ada yang berpendapat haram mutlak dan ada yang menyatakan makruh mutlak, atau perlu dirinci antara orang yang memiliki kehormatan dan ia membutuhkan biaya, harus bersusah payah bahkan harus melakukan perjalanan, dengan orang yang tidak perlu melakukan itu. Untuk yang pertama dibo-lehkan, namun untuk yang kedua tidak dibolehkan.