Tanya :

Ada seseorang yang sedang makan dan minum (sahur), sementara ia tidak tahu bahwa saat itu telah terbit fajar, setelah itu ia baru tahu bahwa tadi ketika ia makan dan minum itu sebenarnya sudah terbit fajar. Apakah orang itu harus mengqadha hari tersebut atau tidak?

Jawab :

Makan dan minum termasuk hal yang membatalkan puasa berdasarkan ketentuan Allah di dalam Al-Qur’an dan berdasarkan ijma’ umat. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.” (Al-Baqarah: 187).

Akan tetapi, orang yang makan atau minum, sementara dugaannya bahwa waktu itu masih malam, atau bahwa fajar belum terbit, yang mana ia juga sebenarnya berhati-hati, maka hal itu tidak mengapa, hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah.” (Al-Baqarah: 286).
Juga berdasarkan firman Allah:
“Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu.” (Al-Ahzab: 5).

Dan juga, bahwa Adi bin Hatim Radhiallaahu anhu pernah makan dan minum, padahal saat itu ia telah menyiapkan tali hitam dan tali putih. Saat itu ia masih tetap makan dan minum sambil memandangi kedua tali itu. Ketika tampak jelas perbedaan antara keduanya, barulah ia berhenti. Setelah itu ia mengabarkan kepada Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, kemudian Nabi Shalallaahu alaihi wasalam menjelaskan kepadanya, bahwa yang dimaksud dengan “dua benang” (dalam ayat) adalah putihnya siang dan hitamnya malam (Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (no. 4510) dalam kitab At-Tafsir, dan (no. 1916) dalam kitab Ash-Shaum. Dikeluarkan juga oleh Muslim (no. 1090) dalam kitab Ash-Shaum.) , namun demikian Nabi Shalallaahu alaihi wasalam tidak menyuruhnya mengqadha dengan alasan bahwa Adi bin Hatim tidak mengetahui hukum itu.

Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari, dari Asma’ Radhiallaahu anha dari ayah-nya, bahwa pernah di zaman Nabi para sahabat berbuka pada suatu hari yang mendung, kemudian muncullah matahari, namun demikian Nabi n tidak menyuruh mereka untuk mengqadha(Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (no. 1959) dalam kitab Ash-Shaum.) . Ini menunjukkan, bahwa barangsiapa yang makan pada suatu waktu yang mana ia mengira bahwa waktu tersebut termasuk waktu yang dibolehkan makan, maka tidaklah berdosa kendatipun ternyata setelah itu ia tahu bahwa hari sudang siang, baik itu terjadi pada awal hari maupun penghujung hari, karena alasannya sama. Hanya saja, perbedaan antara awal hari dengan penghujung hari, bahwa pada awal hari, dibolehkan baginya untuk makan kendatipun disertai dengan keraguan akan telah terbitnya fajar, karena hukum asal yang berlaku adalah: masih malam (fajar belum terbit). Adapun yang di penghujung hari, maka tidak boleh makan (berbuka) bila masih meragukan tentang terbenamnya matahari, karena hukum asal yang berlaku adalah: masih siang (matahari belum terbenam).

Demikian juga orang yang makan atau minum karena lupa puasanya tidak batal. Jika ia makan atau minum karena lupa, maka tidak ada qadha untuk hari itu, hal ini berdasarkan dalil ayat terdahulu, dan juga berdasarkan sabda Nabi Shalallaahu alaihi wasalam :

مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ.

“Barangsiapa yang lupa bahwa ia sedang berpuasa lalu ia makan atau minum, maka hendaklah ia menyempurnakan (melanjutkan) puasanya, karena yang demikian itu berarti Allah telah memberinya makan dan minum.”( Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (no. 1959) dalam kitab Ash-Shaum.) Wallahul Muwaffiq.

( “Fatawa Ash-Shiyam” karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin )