Ini adalah masalah fikih yang diperbincangkan oleh para ulama bahkan perbincangan tentang hal ini telah terjadi di kalangan para sahabat, karena masalah ini telah menjadi perbincangan dan yang memperbincangkan dari kalangan sahabat tidak mencapai kata sepakat, maka tidak tercapainya kata sepakat dalam hal ini menjadi warisan generasi sesudah mereka sampai kepada kita. Masalah ini di sebagian kalangan orang awam terkadang memicu konflik. Ini kembali kepada ketidakmengertian mereka terhadap duduk persoalan yang sebenarnya. Inilah tujuan penulis menurunkan masalah ini yaitu agar masalah ini dipahami dan didudukkan pada posisi yang sesuai dengan kadarnya.

Terdapat beberapa pendapat di kalangan ulama tentang masalah ini. Penulis hanya akan menurunkan tiga pendapat saja karena dalil-dalil yang ada memungkinkan sebagai pendukung ketiga pendapat tersebut.

Pendapat pertama: Tidak membatalkan secara mutlak. Ini pendapat Abu Hanifah.
Pendapat kedua: Membatalkan secara mutlak jika terjadi di antara non mahram. Adapun antara mahram maka yang shahih tidak. Ini adalah pendapat asy-Syafi’i.
Pendapat ketiga: Membatalkan jika dengan syahwat dan tidak jika tidak dengan syahwat. Ini adalah pendapat Malik dan ini yang zhahir dalam madzhab Hanbali.

Dalil dari masing-masing pendapat:
Dalil pendapat pertama:
1.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّم : قَبَّلَ بَعْضَ نِسَائِهِ ثُمَّ خَرَجَ إِلىَ الصَّلاَةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأ. أَخْرَجَهُ أَحْمَد .

Dari Aisyah dari Nabi saw mencium sebagian istrinya lalu beliau pergi shalat tanpa berwudhu. (HR. Ahmad. Hadits ini diperselsihkan keshahihahnnya. Ada yang mendhaifkan dan ada yang menshahihkan. Di antara yang menshahihkan adalah al-Albani dan Ahmad Syakir).

2. Hadits riwayat Muslim dari Aisyah berkata, “Suatu malam aku kehilangan Rasulullah saw di tempat tidur, aku mencari-cari maka tanganku memegang telapak kaki beliau yang sedang shalat.”

3. Hadits Aisyah di ash-Shahihain bahwa Nabi saw shalat sementara Aisyah tidur melintang di arah kiblat Rasulullah saw. Jika beliau hendak sujud beliau mencolek kaki Aisyah maka dia menarik kakinya.

Dalil pendapat kedua:
Firman Allah, “Atau menyentuh perempuan.” (Al-Maidah: 6).
الَلمْسُ Secara hakiki adalah menyentuh kulit dengan dalil firman Allah, فَلَمَسُوْهُ بِأَيْدِيْهِمْ “Lalu mereka dapat menyentuhnya dengan tangan mereka sendiri.” (Al-An’am: 7).
Juga dengan dalil sabda Nabi saw kepada Maiz, لَعَلَّكَ قَبَّلْتَ أَوْ لَمَسْتَ “Mungkin kamu menciumnya atau menyentuhnya.”

Penafsiran اللمس dengan menyentuh kulit ini didukung dengan hadits Malik dari Ibnu Syihab dari Salim bin Abdullah dari bapaknya berkata, “Ciuman suami kepada istri dan sentuhannya kepadanya dengan tangannya termasuk المُلاَمَسَه . Barangsiapa mencium istrinya atau menyentuhnya dengan tangannya maka dia harus berwudhu.”
An-Nawawi di al-Majmu’ berkata, “Ini adalah sanad yang sangat shahih.”

Dalil pendapat ketiga:
Pendapat ketiga ini menggabungkan dua pendapat sebelumnya. Kata pendapat ini, yang dimaksud dengan اللمس dalam ayat adalah اللمس dengan syahwat. Ini membatalkan. Adapun اللمس antara Nabi saw dengan Aisyah dan ciuman beliau kepadanya maka ia tanpa syahwat. Jadi ia tidak membatalkan. Di samping itu –menurut pendapat ini- pada dasarnya, اللمس tidak membatalkan, hanya saja ia mungkin menjadi sebab keluarnya sesuatu yang membatalkan dan itu terjadi jika اللمس dengan syahwat. Adapun اللمس tanpa syahwat maka ia sejalan dengan prinsip tidak membatalkan.

Dari uraian pendapat berikut dalil-dalilnya maka penulis bisa katakan bahwa masalah ini termasuk masalah-masalah di mana dalil-dalil yang ada memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat dan masing-masing pendapat memiliki sisi dalil yang bisa diterima, walaupun demikian bila kita masuk ke tarjih yang merupakan tuntutan dari perbedaan maka penulis melihat pendapat pertama lebih jelas dari segi dalil yang mendukungnya tanpa perlu penafsiran ini dan itu, dalilnya jelas dan langsung kepada tema masalah.

Ibnu Taimiyah berkata (Majmu’atul Fatawa 18/210), “Tidak seorang pun menukil dari Nabi saw bahwa beliau menyuruh kaum muslimin berwudhu karena menyentuh wanita tidak pula dinukil bahwa beliau berwudhu karenanya. Tidak ada perbedaan dalam hal ini.”

Tentang dalil pendapat kedua. Dikatakan اللمس berarti persentuhan kulit. Ini benar dan pada dasarnya memang demikian, akan tetapi dalam ayat ia lebih layak ditafsirkan dengan hubungan sumi istri –dan ini adalah tafsir Ibnu Abbas- karena jika kita menafsirkannya dengan persentuhan maka terjadi pengulangan pada ayat karena sebelumnya disebutkan, “Atau kembali dari buang hajat.” Ini hadas kecil lalu menyentuh juga hadas kecil padahal konteks ayat menyebutkan thaharah dari hadas kecil dengan wudhu dan thaharah dari hadas besar dengan mandi, ini tidak sejalan dengan balaghah al-Qur`an. Berbeda jika ia ditafsirkan dengan hubungan sumi istri, maka ayat tersebut mencakup dua thaharah sekaligus sebab dari masing-masing thaharah.

Tentang dalil pendapat ketiga, dikatakan, pada dasarnya menyentuh tidak membatalkan. Ini adalah kaidah dasar dan tidak semua menyentuh dengan syahwat mengeluarkan sesuatu yang membatalkan. Ada menyentuh dengan syahwat tetapi tidak keluar apapun. Di samping itu dalil yang menetapkan persentuhan Nabi saw dengan sebagian istrinya bersifat mutlak tanpa membedakan. Wallahu a’lam.

(Rujukan : asy-Syarhul Mumti’ Ibnu Utsaimin, Fiqhus Sunnah Sayid Sabiq, Taudhih al-Ahkam Ibnu Bassam dan al-Majmu’ an-Nawawi dan lain-lain).