Zaman yang saat ini kita hidup di dalamnya adalah zaman yang sangat jauh berbeda dengan zaman di mana tiga generasi terbaik (ash-Salafush Shalih) umat ini hidup di dalamnya. Kalau boleh kita umpamakan ibarat langit dan bumi, mereka berada di langit dan kita berada di bumi, jarak yang begitu jauh yang sulit untuk ditempuh kecuali bagi orang-orang yang mendapat rahmat Allah, semoga kita termasuk orang-orang yang dirahmati oleh Allah. Amin ya Rabbal alamin.

Terkait dengan takwa, mereka para generasi terbaik adalah bukti nyata penerapan takwa dalam kehidupan sehari-hari, dan yang berada di puncak paling tinggi adalah Rasulullah.
Al-Qur’an, hadits-hadits Nabi, dan buku-buku biografi dan sejarah telah menuliskan dengan tinta emas bagaimana bukti nyata ketakwaan mereka, takutnya mereka terjatuh dalam perbuatan dosa, dan apabila mereka melakukan perbuatan dosa, mereka segera kembali kepada Allah, bertaubat dan memperbanyak amal shalih, saling nasihat menasihati dalam ketakwaan, yang merupakan bukti nyata dari indahnya akhlak mereka; bagaimana keikhlasan orang yang menasihati saudaranya tentang ketakwaan, dan seperti apa pengaruh dari nasihat tersebut.

Mereka adalah orang-orang yang ketika berkata atau memberikan nasihat kepada saudaranya dengan mengucapkan, “Wahai saudaraku, bertakwalah kepada Allah, takutlah akan api neraka,” kalimat yang keluar dari bibir mereka adalah kalimat emas yang telah melebur dalam kehidupan keseharian mereka, menjadi menu mereka sehari-hari, menghiasi hari-hari mereka, dan menemani malam-malam mereka. Sehingga apabila keluar dari mereka ucapan seperti, “Wahai saudaraku, bertakwalah kepada Allah, takutlah akan siksa-Nya,” maka yakinlah atau berbaiksangkalah bahwa ucapan itu tidak mengandung kepentingan apapun, bukan karena ada unsur permusuhan, sehingga dengan ucapan itu dia telah menghinakan musuhnya yang merupakan saudara seiman dan menjadikan dirinyalah yang paling suci. Dan bukan pula karena ingin mengambil keuntungan,sehingga dengan ucapannya itu saudaranya akan memuliakan dirinya dan bergantung kepadanya, bukan, sekali lagi bukan.

Tapi itu adalah benar-benar ikhlas keluar dari jiwa mereka yang bersih dan hati mereka yang suci yang tidak menginginkan kecuali kebaikan pada dirinya dan pada orang lain, yang mereka persembahkan bagi saudara-saudara mereka yang sedang membutuhkan nasihat atau bagi mereka yang sedang keluar dari jalur ketakwaan. Ucapan itu mereka sampaikan karena kasih sayang terhadap saudaranya dan kekhawatiran mereka kalau itu akan membawa dia ke neraka dan akan menyeret mereka ikut bersamanya, karena tidak memberikan nasihat kepadanya.

Itulah penerapan dari doa orang-orang Anshar yang diabadikan di dalam al-Qur’an, artinya, “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Hasyr: 10)

Dan bentuk nyata dari hadits Nabi yang mulia, yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim, “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam saling menyayangi, mengasihi dan berlemah lembut, adalah ibarat satu tubuh (begitu erat dan kuat). Apabila salah satu anggota tubuh terserang rasa sakit, maka serta-merta anggota tubuh yang tersisa merasakan sakit yang sama.”

Lantas apakah yang terjadi pada orang yang dinasihati? Nasihat itu menembus relung hatinya dan tersembul dalam wujud amaliyah yang nyata.
Tidak sedikit di antara mereka setelah mereka melakukan kesalahan, kekhilafan atau dosa, mereka segera bertaubat memperbagus taubatnya dan mengisi hari-harinya dengan amal shalih yang lebih hebat.

Ada juga di antara mereka ketika berbuat salah atau dosa, mereka segera menemui Rasulullah dan meminta nasihat beliau, kemudian bertaubat dan melakukan amal shalih yang lebih dahsyat dari sebelumnya.
Ada juga di antara mereka yang merasa malu untuk menceritakan langsung kesalahannya di hadapan Rasulullah atau tidak mau bertemu dengan Rasulullah karena rasa malu yang tinggi setelah berbuat dosa, dia mengutus orang kepercayaannya untuk menceritakan apa yang terjadi pada dirinya, kemudian dia kerjakan apa yang diperintahkan oleh Rasulullah.

Semua itu adalah penerapan dari firman Allah, artinya, “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS. Ali Imran: 135)

Kemudian tidak sebatas itu, mereka adalah orang-orang yang pandai bergaul dengan manusia, dalam artian tidak merasa tinggi di hadapan saudara-saudaranya meskipun segala kenikmatan ada pada dirinya.

Tidak merasa sombong di hadapan manusia, meskipun nasihat itu datang dari musuhnya atau orang yang dipandang remeh atau dipandang sebelah mata.
Mereka adalah orang-orang yang gemar memaafkan, berlapang dada, dan membalas keburukan orang dengan kebaikan.
Itu semua adalah aplikasi nyata dari firman Allah, artinya, “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran: 134)

Semua perkara di atas seluruhnya adalah bukti nyata penerapan sabda Nabi yang mulia, “Bertakwalah kepada Allah, dimanapun engkau berada. Iringilah selalu perbuatan buruk atau dosa dengan perbuatan baik atau amal shalih, karena amal shalih itu akan menghapuskannya. Serta perlakukanlah manusia dengan akhlak yang mulia.” (HR. at-Tirmidzi).

Hal di atas membuktikan bahwa kalimat takwa yang mereka ucapkan dan sampaikan kepada saudara seiman tidaklah sekadar di bibir, dan bukan pula isapan jempol semata.

Berbeda sekali dengan kondisi kita pada zaman ini. Nasihat takwa yang kita ucapkan kepada teman kita, atau kita sampaikan kepada khayalak di mimbar-mimbar atau di majelis-majelis ilmu, hanya sebagai formalitas saja, atau pemanis di bibir saja, tanpa ada aplikasi nyata dalam kehidupan sehari-hari kita. Sehingga nasihat itu terasa hambar dan buyar tidak berbekas.
Perbuatan-perbuatan dosa dan kesalahan serta kekhilafan yang sering kita lakukan kerap kali kita acuhkan dan tidak kita iringi dengan perbuatan taubat apalagi membalasnya dengan perbuatan baik atau amal shalih, maka itu sangatlah jauh, ibarat panggangan jauh dari api.

Sementara akhlak kita dengan sesama manusia, tidaklah kunjung berubah dari hari ke hari, masih tetap sama, bahkan lebih buruk, itu terhadap manusia, apalagi akhlak terhadap lingkungan sekitar. Sangat jauh, sangat jauh, sangat jauh, untuk memperlihatkan akhlak mulia di hadapan sesama.
Kalau demikian, bagaimana kita bisa bersanding bersama Rasulullah di tingkatan surga paling tinggi yang hanya diraih oleh orang-orang yang berakhlak mulia.

Semoga Allah, menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang benar-benar bertakwa, yang diwujudkan dan keindahan budi pekerti.

Amin ya Rabbal alamin.

[Disadur dari berbagai sumber oleh Widyan Wahyudi Abu Abdillah]