3. Tidak membawa keluar perselisihan karena:
A. Dengan membawa keluar berarti si pembawa telah menyebarkan aib atau kekurangan pasangannya. Padahal sesama muslim dianjurkan saling menutupi kekurangan masing-masing.

مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَالأَخِرَةِ .

“Barangsiapa menutupi seorang muslim maka Allah menutupinya di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim).

Suami atau istri adalah orang yang paling layak kita tutupi kekurangannya. Oleh karena itu Allah mengumpamakankan pasangan dengan libas (pakaian) dan salah satu fungsi pakaian adalah menutupi kekurangan badan. Firman Allah,

“Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.” (Al-Baqarah: 187).

B. Dengan membawa keluar berarti Anda telah mengghibah pasangan, karena Anda tidak mungkin dalam kondisi perselisihan membicarakan kebaikannya, karena yang ada di pikiran anda adalah keburukannya dan orang berbicara apa yang ada di benaknya. Anda mau makan bangkai pasangan Anda sendiri? Firman Allah,

“Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (Al-Hujurat: 12).

C. Dengan membawa keluar, kata orang sekarang, curhat, justru tidak mengurai persoalan, yang ada malah menambah benang kusut. Perselisihan bertambah ruwet dan carut marut dengan campur tangan pihak ketiga. Ketika Anda menyeret pihak ketiga tentunya pihak ketiga ini anda harapkan berada sepihak dengan Anda dan otomatis berseberangan dengan pasangan Anda. Bukankah ini berarti Anda hanya mencari sekutu pendukung? Hal yang sama bisa dilakukan oleh pasangan Anda bukan? Tambah kusut. Di samping itu teman curhat Anda bisa jadi adalah ember, menampung apa saja, akan tetapi karena ember itu mulutnya lebar maka ia bisa melebar kemana-mana. Artinya keluh kesah Anda yang Anda bisikkan kepadanya malah dia umbar kemana-mana? Anda mau aib anda dan pasangan menjadi biang gosip? Mau jadi artis?

Perselisihan Anda dengan pasangan adalah persoalan berdua, cukup Anda berdua yang mengalami dan mengetahui setelah Allah. Kalaupun perselisihan tersebut benar-benar tidak bisa Anda selesaikan maka Anda dengan pasangan bisa memakai mediator yang terpercaya sebagaimana yang Allah ajarkan dalam firmanNya,

“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan.” (An-Nisa`: 35).

4. Mengalah dan memaafkan
Perselisihan identik dengan kemarahan dan kemarahan adalah api, air adalah pemadamnya, mengalah dan memaafkan adalah air tersebut. Mengalah dan memaafkan di samping menghentikan perselisihan, ia juga memulihkan hubungan sehingga ia tetap terjaga dengan baik. Hubungan yang selalu baik inilah yang diharapkan oleh setiap suami istri dan diinginkan oleh agama. Oleh karena itu memaafkan sangat dianjurkan. Dalam konteks perceraian di mana mahar dibagi setengah-setengah antara suami istri terdapat anjuran memaafkan dan mengalah kepada masing-masing dengan membiarkan setengah mahar yang menjadi hak untuk pasangannya. Firman Allah,

“Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika istri-istrimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa.” (Al-Baqarah: 237).

Ayat lain mempersilakan suami istri melakukan kesepakatan damai dengan mengalah dan tidak menuntut sebagian haknya demi kelanggengan dan kebaikan rumah tangga.

“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).” (An-Nisa`: 128).

Mengalah demi kelangsungan rumah tangga dicontohkan oleh Ummul mukminin Saudah binti Zam’ah dengan memberikan hak bermalam Rasulullah saw kepada Aisyah dengan izin Rasulullah saw, baginya tidak ada kehormatan yang lebih tinggi bagi seorang wanita di atas posisi sebagai istri seorang Nabi saw, lebih-lebih Nabi terbaik.

Terkadang perselisihan di antara suami istri terjadi karena perkara-perkara yang jika diteliti maka hasilnya sulit untuk dikatakan suami benar seratus persen atau istri benar seratus persen, ternyata suami dalam batas-batas tertentu juga salah, istri pun juga demikian. Kalau pihak yang salah harus meminta maaf maka dalam kasus seperti ini siapa gerangan yang meminta maaf? Bagaimanapun yang memulai meminta maaf, dialah yang lebih baik sebagaimana jika dua muslim bertemu, yang lebih baik adalah yang mendahului mengucapkan salam. Akan tetapi harus diingat, mengalah dan memaafkan adalah demi kebaikan. Jika sebaliknya maka tidak perlu, silakan cari jalan yang lain.

5. Mengingat kebaikan pasangan
Anggaplah perselisihan yang terjadi adalah karena keburukan dan kekurangan pasangan, akan tetapi bukankah dia juga memiliki kebaikan-kebaikan yang lebih besar dan lebih banyak? Lumrah kalau dalam kondisi marah yang terlihat di depan mata adalah keburukan akan tetapi Anda tetap tidak mampu menutupi dari kebaikan-kebaikannya bukan?
Imam asy-Syafi’i berkata,

عَيْنُ الرِضَا عَنْ كُلِّ عَيْبٍ كَلِيْلَة
كَمَا أَنّ عَيْنَ السُخْطِ تُبْدِى المَسَاوِيَ

Mata kerelaan buta terhadap segala aib
sebagaimana mata kebencian membuka keburukan

Dalam konteks perceraian yang biasanya terjadi dalam kondisi benci, ayat al-Qur`an memerintahkan untuk tidak melupakan keutamaan di antara pasangan, firman Allah,

“Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan.” (Al-Baqarah: 237).

Nabi saw bersabda dari Abu Hurairah,

لاَيَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ.

“Hendaknya seorang mukmin tidak membenci seorang mukminah jika dia tidak menyukai satu perangainya niscaya dia menyukai yang lain.” (HR. Muslim).

Tidak ada manusia tanpa kesalahan dan kekeliruan termasuk Anda. Jika itu yang ada dalam pikiran Anda, bukankah hal yang sama juga ada dalam pikiran pasangan Anda? Kalau begitu kapan Anda dengan pasangan berbaikan? Bacalah ucapan penyair ini.

مَنْ ذَا الَذِى تُرْضَى سَجَايَاه كُلُّهَا
كَفَى بِالمَرْءِ نُبْلاً أَنْ تُعَدَّ مَعَايِبُهُ

Siapa gerangan yang seluruh sifatnya diterima
cukuplah seseorang itu dianggap baik jika aib-aibnya terhitung

6. Tidak pergi dari rumah
Perselisihan adalah sesuatu yang tidak diinginkan dan tidak disukai karena itu orang cenderung menghindarinya. Ini wajar bahkan jika ia terjadi, berlari dan menjauh darinya, akan tetapi siapapun tahu bahwa berlari dari masalah bukanlah cara mengatasi masalah, justru memicu yang baru atau bisa dikatakan mengatasi masalah dengan masalah, tambah repot bukan? Masalah pertama belum selesai datang masalah kedua buntut dari masalah pertama. Anda tambah pusing bukan? Masalah bukan untuk dijauhi dan kita berlari darinya, justru harus dihadapi dan diselesaikan setelah itu istirahat dengan tenang. Tutuplah jendela yang menjadi jalan masuk angin lalu istirahatlah.

Oleh karena itu ayat al-Qur`an melarang suami mengeluarkan istri dari rumah dan melarang istri keluar dari rumah pada saat terjadinya perselisihan, hal tersebut karena cara ini tidak menyelesaikan justru memperparah. Firman Allah,

“Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.” (Ath-Thalaq: 1).

Pisah ranjang dalam arti tinggal di rumah masing-masing atau di rumah orang tua masing-masing karena persoalan bukanlah solusi, buktinya buntut pisah ranjang dalam arti begini biasanya adalah perceraian. Pisah ranjang ya pisah ranjang tetapi tetap satu atap. Firman Allah,
“Pisakanlah mereka di tempat tidur mereka.”(An-Nisa`: 34).

Muawiyah bin Haedah bertanya tentang hak istri kepada Rasulullah saw, beliau menyebutkan salah satunya dengan sabdanya,

وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِي البَيْتِ .

“Dan janganlah kamu meng-hajr istrimu kecuali di rumah.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, an-Nasa`i berkata, “Hadits hasan.”).

Meng-hajr maksudnya adalah mendiamkan, berpaling darinya dan tidak tidur bersamanya. Wallahu a’lam.