Tanya :

Apa hikmah dibalik talak (perceraiaan) itu ada di tangan suami? Apa pula hukumnya suami mentalak istrinya tanpa sebab (alasan)? Dan apa hukumnya istri meminta supaya diceraikan oleh suaminya tanpa alasan?

Jawab :

Talak yang ada di tangan suami itu merupakan keadilan, karena suamilah yang memegang ikatan akad nikah, maka dialah yang wajib menguraikan ikatan itu, dan karena suami pula lah yang memimpin dan mengurusi istri, sebagaimana firman Allah Subhannahu wa Ta’ala ,
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita).” (An-Nisa: 34).

Apabila suami yang menjadi pemimpin, maka segala keputusan ada di tangannya. Ini adalah berdasarkan pandangan yang benar; dan karena suami itu lebih sempurna akalnya daripada istri dan lebih jauh pandangannya ke depan. Maka dari itu anda tidak akan menjumpai seorang suami melakukan talak kecuali setelah ia berkesimpulan harus dilakukan. Kalau seandainya talak itu ada di tangan istri, niscaya istri kurang (mempertimbangkan) karena kekurangan pikirannya dan karena pandangannya yang begitu pendek serta lebih dipengaruhi emosi. Bisa jadi ia (istri) kagum kepada seorang lelaki, lalu melakukan penceraian terhadap suaminya, karena terpesona dengan lelaki yang lebih tampan dari suaminya.

Ada hikmah-hikmah lain lagi, namun pada saat ini terlepas dari ingatan saya. Namun tiga hikmah yang telah saya sebutkan tadi adalah yang paling pokok.

Sedangkan pertanyaan kedua, yaitu hukum mentalak (mencerai) istri tanpa sebab atau alasan yang jelas, maka para ulama mengatakan: Sesungguhnya hukum yang lima itu berlaku kepada talak. Maksudnya, adakalanya talak itu wajib, adakalanya haram, adakalanya sunnah, adakalanya makruh dan adakalanya boleh-boleh saja. Namun pada prinsipnya talak itu tidak disukai (tidak dianjurkan), karena talak adalah penguraian terhadap ikatan pernikahan yang pernikahan itu sendiri sangat dianjurkan dan diserukan oleh Syari’at Islam; juga karena bisa mengakibatkan banyak madharat (hal-hal negatif). Seperti kalau istri sudah mempunyai beberapa orang anak dari suami, maka dengan talak akan terjadi perpecahan keluarga dan berbagai problem yang lahir darinya. Akan tetapi bila terpaksa harus talak, karena tidak dapat hidup berbahagia di antara mereka berdua, maka talak menjadi mubah (boleh). Jadi, talak merupakan salah satu nikmat dari Allah Subhannahu wa Ta’ala. Maksudnya, dalam kondisi boleh seperti itu (ia merupakan nikmat). Sebab, kalau suami-istri masih tetap tinggal bersama dalam kehidupan yang menyengsarakan, niscaya dunia bagi mereka terasa sangat sempit. Maka merupakan nikmat dari Allah Subhannahu wa Ta’ala talak itu diperbolehkan dalam kondisi terpaksa.

Sedangkan tentang istri minta dicerai adalah haram hukumnya, kecuali kalau ada alasan yang tepat, seperti karena suami kurang agamanya, atau kurang berakhlak atau istri sudah tidak mampu lagi hidup bersamanya. Maka dalam keadaan seperti itu istri boleh meminta talak, sebagaimana dilakukan oleh istri Tsabit bin Qais bin Syammas y dimana ia datang kepada Nabi Shalallaahu alaihi wasalam dan berkata, “Ya Rasulullah, aku tidak mencela akhlak atau agamanya, akan tetapi aku tidak suka kakafiran di dalam Islam.” Yang ia maksudkan adalah bahwasanya ia (istri) takut kalau mengingkari hak-hak suaminya dengan Islam. Maka dari itu ia minta supaya diceraikan. Maka Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, “Apakah engkau mau mengembalikan kebunnya kepadanya?” Kebun itu dahulu diberikan suami kepadanya sebagai maharnya. Ia menjawab, “Ya.” Lalu Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda kepada suaminya, Tsabit Radhiallaahu anhu, “Terimalah kebun itu dan ceraikan ia dengan talak satu.”
Dan hadits lain juga,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلاَقًا فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ.

“Kapan saja seorang istri meminta talak kepada suaminya tanpa alasan yang jelas, maka haram baginya bau surga.”

Hadits ini menunjukkan bahwa permintaan cerai seorang istri kepada suaminya tanpa ada sebab yang jelas yang mengharuskannya minta cerai adalah termasuk dosa besar, karena disertai ancaman.
( Bagian dari Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin yang beliau tanda tangani. )