Tanya :

Assalamu’alaikum Wr.Wb Saya ingin bertanya tentang amalan untuk wanita mengandung dari sudut agama islam mulai bulan pertama kandungan hingga ke bulan sembilan ? Harap pihak tuan dapat menjawab pertanyaan saya ini dan menghantarkan ke E-mail saya dengan segera karena istri saya sedang mengandung anak kami yang pertama.

Jawab :

Wa’alaikum Salâm Warahmatullâhi Wa barokâtuh Sepanjang yang kami ketahui, tidak terdapat dalil (baik dari al-Qur’an maupun dari hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam) yang menganjurkan wanita yang sedang mengandung untuk mengamalkan suatu amalan tertentu mulai dari bulan pertama hingga bulan kesembilan. Apa yang ada dalam masyarakat mengenai hal itu sama sekali tidak ada landasan syar’inya, untuk itu perlu ditinggalkan. Wanita yang sedang mengandung sama seperti wanita lainnya bahkan sama dengan kaum lelaki dalam hal ibadah kecuali dalam beberapa masalah dimana dia mendapatkan keringanan. Jadi, siapa saja yang banyak amalnya dan amal itu sesuai dengan tuntunan syari’at maka ia akan mendapatkan pahala yang banyak juga. Dalam firmanNya, Allah berfirman : “ … Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah orang yang paling taqwa “. (QS.Alhujurat :13). Syarat diterimanya amal itu ada dua: pertama, ikhlash karena Allah dan terlepas dari hal-hal yang berbau syirik. Kedua, mengikuti sunnah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam (al-Mutâba’ah) dan ini harus sesuai dalam 6 hal sehingga dapat diterima, yaitu:

Pertama, sebab : jika seseorang melakukan suatu ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak disyari’atkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan tidak diterima (ditolak). Contoh: ada orang yang melakukan shalat tahajjud pada malam dua puluh tujuh bulan Rajab dengan dalih bahwa malam itu adalah malam mi’raj Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam (dinaikkkan ke atas langit). Shalat tahajjud adalah ibadah, tetapi karena dikaitkan dengan sebab tersebut menjadi bid’ah. Karena ibadah tadi didasarkan atas sebab yang tidak ditetapkan dalam syari’at. Syarat ini – yaitu: ibadah harus sesuai dengan syari’at dalam sebabnya- adalah penting, karena dengan demikian dapat diketahui beberapa macam amal yang dianggap termasuk sunnah namun sebenarnya adalah bid’ah.

Kedua, jenis : artinya ibadah harus sesuai dengan syari’at dalam jenisnya. Jika tidak, maka tidak diterima. Contoh; seorang yang menyembelih kuda untuk kurban adalah tidak sah, karena menyalahi ketentuan syari’at dalam jenisnya. Yang boleh dijadikan qurban yaitu onta, sapi dan kambing. Ketiga, kadar (bilangan) : kalau ada seseorang yang menambah bilangan raka’at suatu shalat, yang menurutnya hal itu diperintahkan, maka shalat tersebut adalah bid’ah dan tidak diterima, karena tidak sesuai dengan ketentuan syari’at dalam jumlah bilangan raka’atnya. Jadi, apabila ada orang shalat zhuhur lima raka’at, umpamanya, maka shalatnya tidak shah.

Keempat, kaifiyyah (cara) : seandainya ada orang berwudhu dengan cara membasuh tangan, lalu muka, maka tidak sah wudhu’nya karena tidak sesuai dengan cara yang ditentukan syar’ait.

Kelima, waktu : apabila ada orang menyembelih binatang qurban pada hari pertama bulan dzul hijjah, maka tidak shah karena waktu melaksanakannya tidak menurut ajaran Islam. Misalnya, ada orang yang bertaqarrub kepada Allah pada bulan Ramadhan dengan menyembelih kambing. Amal seperti ini adalah bid’ah karena tidak ada sembelihan yang ditujukan untuk bertaqarrub kepada Allah kecuali sebagai qurban, denda haji dan ‘aqiqah. Adapun menyembelih pada bulan Ramadhan dengan i’tikad mendapat pahala atas sembelihan tersebut sebagaimana dalam idul Adhha adalah bid’ah. Kalau menyembelih hanya untuk memakan dagingnya, boleh saja.

Keenam, tempat : andaikata ada orang beri’tikaf di tempat selain masjid, maka tidak shah I’tikafnya. Sebab tempat I’tikaf hanyalah di masjid. Begitu pula, andaikata ada seorang wanita hendak beri’tikaf di dalam mushallla di rumahnya, maka tidak shah I’tikafnya karena empat melakukannnya tidak sesuai dengan ketentuan syari’at. Contoh lainya; seseorang yang melakukan thawaf di luar masjid haram dengan alasan karena di dalam sudah penuh sesak, thawafnya tidak shah karena tempat melakukan thawaf adalah dalam baitullah tersebut, Allah berfiman: “dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf”. (Q.S. al-Hajj: 26).

Sebaiknya amalan-amalan yang seperti itu yang ada di masyarakat, anda tinggalkan saja supaya tidak melanggar larangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam yang berbunyi: ”Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang tidak pernah kami lakukan maka perbuatan itu adalah ditolak”. (hadits shahih). Kebahagiaan dan kepuasan hanya akan didapat bila sesuai dengan tuntunan agama. Wallahu a’lam. Wassalamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakatuhu.