Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata:”Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Makkah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala. Ya Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan manusia. (Ibrahim: 35-36)

Dari ayat ini dapat kita ambil beberapa faedah,diantaranya :

  • Rasa takut dan khawatir yang dirasakan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam akan terjerumus ke dalam kesyirikan. Walaupun Beliau ‘alaihissalam adalah seorang rasulullah, termasuk dalam golongan ulul ‘azmi serta telah diangkat menjadi Khalilullah (kekasih Allah), tetapi Beliau ‘alaihissalam masih senantiasa memohon perlindungan kepada Allah dari kesyirikan, bahkan dari kesyirikan yang sangat jelas sekalipun yang tidak seorangpun ragu akan kekafiran pelakunya. Maka, bagaimanakah dengan diri kita yang tidak ada bandingannya dengan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam ? Sudah sepantasnya kita lebih merasa takut kalau sampai terjerumus ke dalam perbuatan syirik, bid’ah, dan segala macam maksiat lainnya karena memang kita tidak aman dari itu semua. Terlebih lagi, karena syirik yang menimpa umat ini sangatlah samar. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
    Kesyirikan pada umat ini lebih samar dibanding seekor semut hitam di atas batu hitam dalam kelamnya malam. (Hadits Hasan, diriwayatkan oleh Ahmad semisalnya)
    Sebab utama Nabi Ibrahim ‘alaihissalam takut akan tergelincir dalam kesyirikan adalah karena telah banyak orang yang tersesat sehingga mereka menyembah pada berhala.
  • Bukan merupakan hal yang aneh lagi bahwa keadaan masyarakat umum yang berada di sekeliling kita sangatlah berpengaruh pada segala bentuk amalan kita. Secara langsung maupun tidak langsung, seakan-akan masyarakat menuntut kesesuaian antara amal perbuatan dan tingkah laku kita dengan mereka. Daya seret yang ditimbulkan sangat besar. Sehingga, apabila seseorang menyelisihi masyarakat umum dalam satu bentuk amalan saja, maka akan terlihat aneh dan ia akan merasa asing berada di tengah-tengah mereka.

    Dalam kehidupan nyata, sering kita lihat kejadian yang menggambarkan keadaan seperti itu. Banyak orang yang berani melakukan maksiat, bid’ah, atau bahkan syirik sekalipun hanya beralasan untuk penyesuaian dengan masyarakat; melestarikan kebudayaan nenek moyang; atau agar tidak dijauhi oleh tetangga, kerabat, dan orang-orang yang senantiasa berada dalam tradisi tersebut. Begitupula seperti yang menimpa para pemuda pada zaman sekarang ini, mereka dengan mudah terbawa arus mode dan gaya hidup yang berasal dari negara-negara kafir. Apapun yang mereka anggap telah populer, dengan gampangnya mereka tiru, tanpa diteliti dan dikoreksi kesesuaiannya dengan syariat Islam. Para wanita tidak merasa sungkan atau malu untuk melenggang di jalan-jalan dengan aurat terbuka. Bila mereka diingatkan, dengan mudah mereka berdalih bahwa model pakaian seperti itu sudah populer dan umum digunakan oleh orang banyak.

    Akan tetapi sebaliknya, tidak sedikit orang yang dulunya tenggelam dalam lautan maksiat menjadi sadar dan insaf setelah ia bergaul dengan orang-orang shaleh yang senantiasa menghiasi dirinya dengan tauhid, Kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

    Mereka secara langsung dan tidak langsung terdidik oleh akhlaq orang shaleh tersebut. Ia akan selalu dinasehati bila salah dan ditegur dalam setiap kelalaian, sehingga tidak ada kesempatan baginya untuk berbuat maksiat, karena apabila dilakukan akan timbul rasa malu pada dirinya sendiri. Kisah lain yang dapat kita ambil sebagai pelajaran adalah:

    Kisah Pengaruh kemusyrikan:
    Firman Allah dalam Surat Al-A’raf: 138
    Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan, maka ketika mereka sampai pada suatu kaum yang sedang menyembah berhala mereka, Bani Israil berkata: “Hai Musa, buatkanlah untuk kami sebuah sembahan, sebagaimana mereka mempunyai beberapa sembahan”. Musa menjawab: “Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang bodoh”. (Al-A’raf: 138).
    Begitu mudahnya Bani Israil terpengaruh dengan perbuatan suatu kaum walaupun baru saja mereka menyaksikannya. Kemudian bagaimanakah dengan kita yang sudah begitu sering melihat perbuatan kesyirikan, bid’ah, dan maksiat lainnya yang bahkan telah menjadi budaya Nasional? Allahu Musta’an.

    Kisah para Shahabat dalam perjalanan ke perang Hunain bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
    Ketika mereka melewati sebatang pohon yang terkenal dengan sebutan Dzatu Anwath. Pohon itu digunakan oleh orang-orang musyrik untuk menggantungkan senjata-senjata mereka guna mengharap berkah. Di antara para Shahabat yang baru saja masuk Islam berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
    ” Buatkanlah bagi kami dzatu anwath sebagaimana mereka (orang musyrik) mempunyai dzatu anwath!” (Shahih, riwayat At-Tirmidzi)
    Kejadian para shahabat tersebut sama seperti yang terjadi dengan kaum Nabi Musa ‘alaihissalam di atas tadi.

    Kisah seorang yang telah membunuh seratus jiwa, kemudian ia ingin bertaubat.
    Ketika ia meminta nasehat pada seorang ulama: “Apakah masih ada kesempatan baginya untuk bertaubat?” Orang alim tersebut menjawab: “Ya, Siapakah yang menghalangimu untuk bertaubat? Pergilah ke suatu negeri, di sana banyak orang yang taat kepada Allah. Beribadahlah engkau bersama mereka. Dan janganlah engkau kembali ke negerimu karena itu adalah negeri maksiat.” (Bukhari-Muslim)

    Di antara syarat-syarat taubat adalah menghentikan maksiat yang telah dilakukan dan bersungguh-sungguh untuk tidak mengulanginya lagi. Maka, orang alim tersebut memerintahkan si pembunuh tadi agar segera beranjak dari negerinya yang penuh dengan kejahatan ke negeri yang dihuni oleh orang-orang ta’at pada Allah, sebab disanalah maksiat akan mudah ditinggalkan serta pengaruh akhlaq orang sholeh akan terasa dengan cara senantiasa bergaul bersama mereka. Sedangkan negeri yang ia tempati dulu penuh dengan kejahatan, niscaya maksiat akan sangat sulit ditinggalkan, karena boleh jadi maksiat sudah merupakan makanan sehari-hari penduduk negeri itu. Sehingga, lambat laun akan ikut terpengaruh dengan kejahatan mereka, sampai kemudian taubatpun terlupakan.
    Itulah beberapa contoh dari Kitabullah dan sunnah RasulNya shallallahu ‘alaihi wasallam tentang besarnya pengaruh mayoritas manusia terhadap diri seseorang. Yang lebih dikhawatirkan, pengaruh buruklah yang lebih banyak ditimbulkan.

Cara menghindari:

Di antara jalan untuk mewaspadainya adalah:

  • Memiliki ilmu dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersandarkan atas pemahaman para Shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ilmu inilah yang akan membuka mata hati manusia apabila terus mempelajarinya. Sehingga ia tidak akan tertipu oleh syubhat (kesamaran); dapat membedakan antara tauhid dengan syirik, sunnah dengan bid’ah, ma’ruf dengan mungkar. Sedangkan kejahilanlah yang membuat orang terpedaya dan mudah tersesat. Kebodohan itulah yang menimpa Bani Israil, sehingga Musa ‘alaihissalam mengatakan “Sesungguhnya kalian adalah orang-orang yang bodoh”. Begitu pula yang menimpa Shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang baru masuk Islam, mereka masih awam tentang syariat Islam.
  • Tidak ada yang bisa menjamin seseorang yang telah mengetahui perbedaan antara Haq dan Bathil akan selamat dari kebathilan itu. Karena kita semua yakin bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam telah mengetahui perbedaan tauhid dengan syirik. Tetapi, Beliau ‘alaihissalam tetap saja memohon perlindungan kepada Allah dari kesyirikan. Marilah kita mengikuti jejak tauladan kita ini. Di antara doa yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah: Ya Allah, aku mohon perlindunganMu dari menyekutukanMu dengan sesuatu sedangkan aku mengetahuinya, dan aku memohon ampunan-Mu dari dosa yang tidak aku ketahui.
  • Berteman dengan orang-orang sholeh. Karena, teman sangat besar pengaruhnya bagi diri seseorang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
    Seseorang dipandang dari agama temannya. Maka hendaklah seseorang memperhatikan siapa yang menemani. (H.R. Abu Daud. Silsilah Hadits Shahihah 927)
  • Meyakini bahwa Al-Haq itu tidak dipandang dari banyak tidaknya pengikut, tapi ditinjau dari segi kesesuaiannya dengan Kitab dan Sunnah.

Dengan demikian, bila kita telah mengetahui Al-Haq, kita tidak akan merasa terasing dengan sedikitnya pengikut Al-Haq, dan tidak akan tertipu dengan banyaknya orang-orang sesat.

Kita mohon taufiq kepada Allah agar ditunjuki ke jalan yang lurus dan di atas jalan yang lurus sampai akhir hayat kita.

(Muhammad Yassir)

Maraji’:

  • Al-Jadid Syarh Kitab Tauhid, Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz As-Sulaiman Al-Qar’awi.
  • Riyadhus Shalihin, Imam An-Nawawi.
  • Raf’ul Hijab, Syaikh Abul Hasan Raf’ul
  • Al-Wajibat Al-Mutahattimat, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.