Susu

Imam an-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ berkata, susu ada empat macam:

Pertama: Susu hewan yang halal dagingnya seperti unta, sapi, domba, kuda dan lain-lain, ia suci berdasarkan ayat al-Qur`an dan hadits-hadits shahih, dan ia disepakati.

“Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum dari pada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.” (An-Nahl: 66).

Dan Nabi saw telah memerintahkan orang-orang Uraniyin minum susu unta, di samping beliau sendiri minum dan para sahabat juga minum.

Kedua: Susu anjing, babi dan yang lahir dari keduanya atau salah satunya, ia najis dengan kesepakatan.

Ketiga: Susu ibu, al-Anmathi Abu al-Qasim Usman bin Said bin Basysyar, salah seorang ulama dalam madzhab asy-Syafi’i, wafat tahun 280 H di Baghdad berkata, ia najis, ia boleh diminum oleh bayi karena dharurat. Imam an-Nawawi mengomentari pendapat ini. Pendapat ini bukan apa-apa, ia merupakan kekeliruan yang nyata.

Yang benar, air susu ibu suci dan pendapat yang berkata najis adalah pendapat aneh yang tidak perlu ditengok. Jika ASI najis, mengapa Allah memerintahkan ibu menyusui anaknya selama dua tahun? Jika ASI najis, berarti kita semua hidup dari sesuatu yang najis dan ini bertentangan dengan kemuliaan Bani Adam.

Keempat: Susu selain yang disebutkan di atas misalnya susu binatang buas yang bertaring seperti singa atau susu keledai.

Imam Abu Hanifah berkata, suci karena binatang ini adalah bintang yang suci selama ia hidup maka susunya juga suci.

Imam Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad berkata, najis karena susu seperti daging, jika daging hewan yang haram dimakan najis maka demikian pula susunya.

Liur

Pendapat yang rajih dalam masalah ini adalah sucinya liur hewan selain anjing dan babi, ini adalah pendapat Imam Malik, Imam asy-Syafi’i dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.

Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ berkata, “Madzhab kami bahwa sisa minum kucing adalah suci tidak makruh, begitu pula sisa minum semua hewan: kuda, baghl, keledai, binatang buas, tikus, ular, cicak dan hewan-hewan yang lain, yang dimakan dagingnya atau tidak, sisa minum semua hewan tersebut dan keringatnya adalah suci tidak makruh kecuali anjing, babi dan yang lahir dari salah satu dari keduanya.”

Imam Ibnu Qudamah dalam al-Mughni berkata, “Yang benar menurutku adalah sucinya baghl dan keledai karena Nabi saw mengendarai keduanya dan keduanya dikendarai pada zaman beliau, kalau keduanya najis maka Nabi saw pasti menjelaskannya.”

Rajihnya pendapat ini didukung oleh beberapa dalil, di antaranya:

Dalil yang disebutkan oleh Imam Ibnu Qudamah di atas, bahwa Nabi saw dan para sahabat mengendarainya, meskipun begitu Nabi saw tidak memerintahkan para sahabat agar menjaga diri darinya, dan menunda penjelasan dari waktu yang diperlukan tidak dibolehkan.

Di samping itu Nabi saw bersabda tentang kucing, “Ia tidak najis, karena ia termasuk hewan yang ada di sekelilingmu.” (HR. Ashhab as-Sunan, dishahihkan oleh al-Bukhari, at-Tirmidzi, an-Nawawi dan lain-lain).

Sabda Nabi saw, “Yang ada di sekelilingmu.” Yakni di sekitarmu, di mana kamu sering berinteraksi dengannya dan sulit untuk menghindarinya, dan hal ini tidak hanya ada pada kucing saja.

Di samping itu kaidah dasar dalam masalah suci najisnya sesuatu berkata, pada dasarnya segala sesuatu itu suci.

Pendapat ini dikatakan oleh para ulama zaman ini seperti Ibnu Sa’di, muridnya Ibnu Utsaimin, dan Ibnu Ibrahim.

Dalam Fatawa al-Lajnah ad-Daimah, fatwa nomor 8052, tercantum pertanyaan: Apa hukum yang rajih tentang sisa minum baghl, keledai, binatang buas dan burung pemangsa?

Jawabannya: Yang rajih adalah sucinya sisa minum baghl, keledai, binatang buas seperti serigala, macan dan singa, dan burung pemangsa seperti elang dan rajawali, inilah pendapat yang dinyatakan shahih oleh Abu Muhammad Ibnu Qudamah dalam al-Mughni dan inilah yang selaras dengan dali-dalil syar’i. Wallahu a’lam. (Izzudin Karimi).