Hukum Asuransi

Asuransi Tijari (yang merupakan usaha untuk mencari keuntungan) dengan semua jenisnya hukumnya haram, karena:

1. Perjanjian asuransi merupakan perjanjian penggantian harta yang mengandung ketidak pastian dan memuat bahaya yang sangat banyak.

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli dengan kerikil dan jual beli gharar.” (HR. Muslim no. 1513)

Jual beli dengan kerikil, seperti seorang penjual mengatakan “Aku menjual kain yang terkena kerikil yang aku lemparkan.” Atau “Aku menjual tanah ini mulai sini sampai jarak kerikil yang aku lemparkan.” Atau semacamnya yang tidak ada kejelasan.

Sedang jual beli gharar yaitu jual beli yang mengandung ketidak jelasan, tipu-daya, dan tidak mampu menyerahkan barang, seperti menjual ikan di dalam kolam, menjual burung yang terbang di udara, dan semacamnya. (Lihat Syarh Muslim karya Imam Nawawi)

2. Asuransi termasuk jenis perjudian. Karena padanya terdapat bahaya kerugian di dalam pertukaran harta, kerugian dengan tanpa berbuat kejahatan atau penyebabnya, dan keuntungan dengan tanpa imbalan atau dengan imbalan yang tidak sepadan. Karena nasabah asuransi terkadang baru menyetor sekali angsuran, lalu terjadi kecelakaan, sehingga perusahaan asuransi menderita kerugian sejumlah uang asuransi. Atau tidak terjadi kecelakaan, sehingga perusahaan asuransi mendapatkan keuntungan angsuran-angsuran asuransi dengan tanpa imbalan. Dengan demikian asuransi masuk di dalam larangan perjudian di dalam firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Qs. Al-Maidah : 90)

3. Perjanjian asuransi mengandung riba. Karena keuntungan yang didapati oleh perusahaan adalah tanpa imbalan, sedangkan keuntungan nasabah merupakan tambahan dari harta pokoknya yang tidak ada imbalannya. Dan larangan riba sangat keras di dalam Islam. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ
لا تَظْلِمُونَ وَلا تُظْلَمُونَ

“Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Qs. Al-Baqarah : 278-279)

4. Asuransi merupakan perlombaan yang hukumnya haram, karena mengandung ketidak jelasan, bahaya kerugian, dan perjudian. Dan syari’at Islam tidak memperbolehkan perlombaan yang pemenangnya mengambil harta kecuali yang padanya terdapat pembelaan dan kemenangan terhadap Islam untuk meninggikan Islam dengan hujjah atau dengan senjata. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membatasi perlombaan yang pemenangnya mengambil upah dengan tiga macam:

لَا سَبَقَ إِلَّا فِي خُفٍّ أَوْ فِي حَافِرٍ أَوْ نَصْلٍ

“Tidak boleh mengambil hadiah harta perlombaan kecuali pada onta, kuda, atau anak panah.” (HR. Abu Dawud, no. 2574; Tirmidzi, no. 1700)

Yaitu tidak boleh mengambil harta dengan perlombaan kecuali pada salah satu dari tiga perkara di atas. Karena ketiganya -dan yang semaknanya- termasuk persiapan peperangan dan kekuatan berjihad memerangi musuh. Dan memberikan hadiah padanya merupakan dorongan kepada jihad. (Lihat Tuhfatul Ahawadzi)

5. Perjanjian asuransi, di dalamnya mengandung pengambilan harta orang lain dengan tanpa imbalan, ini merupakan kebatilan. Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (Qs. An-Nisa’ : 29)

6. Perjanjian asuransi mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Syari’at. Karena perusahaan asuransi tidak membuat kecelakaan dan tidak melakukan perkara yang menyebabkan kecelakaan, namun ia wajib membayar klaim. Hal itu karena perjanjian dengan nasabah untuk menjamin bahaya jika terjadi dengan imbalan setoran angsuran nasabah.

Berdasarkan keterangan ini, maka banyak sekali fatwa para ulama yang mengharamkan asuransi tijari dengan segala jenisnya. Dari penjelasan ini nampak bahwa asuransi yang banyak beredar, yang dilakukan sebagai usaha untuk meraih keuntungan termasuk perkara yang dilarang di dalam Syari’at. Adapun asuransi yang dibolehkan adalah At-Ta’miin at Ta’aawuniy (asuransi gotong royong) sebagaimana di atas. Wallahu a’lam.

[Makalah ini diringkas dari kitab Mausuu’ah Al-Qadhaayaa Al-Fiqhiyyah Al-Mu’aashirah wal Iqtishaad Al-Islami, karya Syaikh Prof. Dr. Ali Ahmad As-Saaluus, ustadz Fiqh dan Ushuul di kuliyah Syari’at Univ. Qathar, hlm 363-395, penerbit: Dar Ats-Tsaqafah Qathar; dan beberapa tambahan dari rujukan lain]