Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.(QS. Al-Baqarah: 184)

Berbuka karena lupa

Makan dan minum tidaklah membatalkan puasa apabila dilakukan karena lupa. Hal ini sebagaimana riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ

“Barangsiapa lupa saat berpuasa, kemudian makan atau minum, maka sempurnakanlah puasanya. Karena sesungguhnya Allah-lah yang memberinya makan dan minum.” (HR. Muslim no. 2772).

Orang lupa statusnya seperti orang tidur yang tidak terbebani syariat. Sehingga tidak ada kewajiban qadha bagi orang yang makan atau minum saat berpuasa dikarenakan lupa. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّغِيرِ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ

“Diangkat pena (beban syariat) dari tiga golongan; yaitu orang tidur sampai bangun, anak kecil sampai baligh dan orang gila sampai sadar.” (HR. Abu Dawud no. 4405).

Atas dasar hadits ini pula, apabila saat makan atau minum dirinya teringat sedang berpuasa, maka wajib baginya untuk mengeluarkan makanan atau minuman yang sedang ada di mulutnya, baik banyak atau sedikit. Karena objek lupa yang menjadi sebab diangkatnya beban syariat telah hilang darinya. Dengan kembalinya ingatan, kembali pula kewajiban syariat atasnya.

Berbuka karena sengaja

Berbuka (tidak berpuasa) dengan sengaja bisa dibedakan menjadi dua kondisi; yaitu:

Pertama; Berbuka dengan sengaja tanpa adanya udzur syar’i (alasan yang dibenarkan syariat).

Berbuka dengan sengaja tanpa adanya udzur syar’i hukumnya haram. Bahkan termasuk dosa besar karena dengan sengaja telah menentang perintah Allah dan melanggar kewajiban yang dibebankan atasnya. Apabila berbuka dengan makan dan minum secara sengaja tanpa adanya udzur yang benar, maka ia wajib meng-qadha (mengganti) sejumlah hari yang ia tidak berpuasa di dalamnya. Tidak ada kewajiban kafarat baginya karena tidak ada dalil yang mewajibkan kafarat selain pada jima’. Sementara kafarat jima’ tidak bisa diqiyas-kan (dianalogikan) kepadanya. Sehingga kewajiban baginya hanya qadha. Ini adalah pendapat yang rajih (kuat) sebagaimana pendapat Imam Asy-Syafi’i, Ahmad, dan mayoritas ahli ilmu. (Lihat Shahih Fiqhi As-Sunnah, Abu Malik Kamal 2/105).

Jika berbuka disebabkan karena melakukan jima’ pada siang hari bulan Ramadhan, maka ia wajib mengqadha dan membayar kafarat. Ini adalah pendapat mayoritas ulama berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang menceritakan ada seorang laki-laki telah menggauli istrinya pada saat puasa, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan kafarat baginya; yaitu memerdekakan budak, atau puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan enam puluh fakir miskin (Lihat HR. Bukhari No. 1936).

Kedua; Berbuka dengan sengaja karena adanya udzur syar’i.

Ini adalah golongan yang dibolehkan berbuka pada bulan Ramadhan karena adanya udzur syar’i yang menyeratinya. Mereka itu meliputi:

1) Orang lanjut usia

Para lansia yang sudah tidak kuat lagi berpuasa dibolehkan berbuka. Mereka tidak wajib mengqadha puasanya karena fisiknya yang semakin lemah. Sebagai gantinya mereka wajib membayar kafarat dengan memberi makan satu orang miskin dalam setiap harinya. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Landasan hukumnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

 “Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184).

Diriwayatkan dari Atha’ bahwa ia mendengar Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma membaca ayat itu. Kemudian Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Ayat ini tidaklah di-mansukh (terhapus hukumnya). Namun yang dimaksud adalah laki-laki dan perempuan lansia yang sudah tidak mampu lagi berpuasa, maka wajib baginya memberi makan seorang miskin dalam setiap harinya.” (HR. Bukhari no. 4505).

2) Orang yang sakit

Kondisi sakit yang dibolehkan berbuka adalah sakit berat yang sulit baginya untuk berpuasa. Apabila sakitnya itu dimungkinkan sembuh, maka wajib untuk mengqadha. Landasan hukumnya ialah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

 “Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 184).

Namun jika tidak ada harapan sembuh dari sakitnya, maka wajib baginya memberi makan seorang miskin dalam setiap harinya. Karena statusnya sama seperti para lansia.

3) Musafir

Orang yang sedang bepergian (safar) juga dibolehkan berbuka. Landasan hukumnya sebagaimana ayat 184 surat Al-Baqarah di atas. Jika ia memilih berbuka saat safar, maka wajib baginya qadha sebanyak hari yang ia tidak berpuasa di dalamnya. Terkait mana yang lebih utama bagi musafir, antara berpuasa atau berbuka? Hal ini tergantung dari kondisi musafir itu sendiri yang berbeda-beda.

Jika puasa itu memberatkan dirinya dan membuatnya terhalangi dari melakukan kebaikan yang lain, maka yang lebih utama ialah berbuka. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَيْسَ مِنَ اْلبِّرِ الصَّوْمُ فِي السَّفَرِ

“Berpuasa saat safar bukanlah suatu kebaikan.” (HR. Bukhari no. 1946).

Namun jika puasa itu tidak memberatkan dirinya, maka yang lebih utama ialah berpuasa berdasarkan keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ

“Dan puasamu itu lebih baik bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 184).

 4) Wanita hamil dan menyusui

Wanita hamil dan menyusui dibolehkan berbuka. Para ulama sepakat tentang masalah ini. Landasan hukumnya ialah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَضَعَ عن الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلَاةِ وَعَنْ الْحَامِلِ أَوْ الْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوْ الصِّيَامَ

“Sesungguhnya Allah menggugurkan puasa dan separuh shalat dari musafir, dan menggugurkan puasa dari wanita hamil atau menyusui.” (HR. At-Tirmidzi no. 175).

Jika mereka merasa mampu dan tidak merasa khawatir terhadap janin yang dikandungnya atau bayi yang disusui, mereka boleh memilih tetap berpuasa. Para ulama hanya bersilang pendapat tentang apa kewajiban mereka; antara mengqadha puasa atau memberi makan seorang miskin dalam setiap harinya atau kedua-duanya. Namun dalam bahasan ini sengaja tidak disebutkan pendapat-pendapat mereka berserta dalil-dalilnya.

5) Wanita haidh dan nifas

Wanita haidh atau nifas tidak hanya dibolehkan berbuka, bahkan wajib baginya untuk berbuka (tidak berpuasa) selama masa haidh maupun nifas. Apabila sudah tiba masa suci, maka wajib untuk mengqadha puasanya. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa ia berkata:

كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ

 “Kami pernah mengalami itu (haidh saat puasa), lantas kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat.” (HR. Muslim no. 789). Wallahu a’lam. (Saed As-Saedy, Lc.).

 Referensi:

  1. Tafsir Al-Baghawi, Imam Al-Baghawi.
  2. Shahih Fiqhi As-Sunnah, Abu Malik Kamal.
  3. Min Ahkami Shiyam, Fahd bin Mubarak, dll.