allahuKedudukan hati dalam jasad manusia

Ketika di dalam tubuh manusia ada segumpal daging yang jika ia baik maka baik pula seluruh tubuhnya, dan jika ia rusak maka rusak pula seluruh tubuhnya, -yaitu hati- maka hati menjadi objek yang dilihat oleh Rabbul ‘Alamin. Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda,

إن الله لا ينظر إلى أجسامكم ولا إلى صوركم ولكن ينظر إلى قلوبكم

“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada jasad-jasad kalian, dan tidak pula pada rupa-rupa kalian, akan tetapi dia melihat kepad hati-hati kalian.”(HR. Muslim)

Dalam riwayat lain ada tambahan, “Dan amalan-amalan kalian.”

Maka, hati adalah tempat yang dilihat oleh Allah ‘Azza Wa Jalla. Dan dari sini, maka sudah menjadi keharusan seorang hamba untuk menyibukkan diri dengan Ishlahul Qulub (perbaikan hati). Maka jika Anda bertanya-tanya tentang sebab tersebarnya khianat di antara manusia dalam masalah harta, amanah, kedudukan dan hal-hal lainnya. Jika Anda bertanya-tanya tentang sebab terjadinya pencurian, dan korupsi. Jika Anda bertanya-tanya tentang sebab terjadinya pemutusan hubungan kekerabatan (silaturahim) di kalangan manusia. Dan Jika anda bertanya-tanya tentang sebab segala bentuk penyakit-penyakit sosial, maka ketahuilah bahwa jawabannya adalah karena rusaknya hati.

Urgensi Ishlahul Quluub (perbaikan hati)

Sesungguhnya perhatian terhadap perbaikan hati kita adalah perkara yang sangat penting, karena perbaikan hati akan berdampak pada benarnya amalan, bagusnya jalan hidup, baiknya perilaku dan indahnya tingkah laku. Dan kebanyakan kontradiksi yang terjadi pada diri seseorang adalah karena ketidakserasian antara lahir dengan batin dan batin dengan lahir.

Sufyan bin ‘Uyainah Rahimahullah berkata, “Jika yang tersembunyi (di hati) dari seseorang sesuai dengan yang terlihat (amal perbuatan), maka itu adalah keadilan. Jika yang tersembunyi lebih baik dari yang terlihat, maka itu adalah Fadhl (keunggulan/keutamaan). Dan jika yang terlihat lebih baik dari yang tersembunyi, maka itu adalah kecurangan dan ini adalah kezhaliman.”

Amalan-amalan untuk Ishlahul Quluub

Berikut ini beberapa amalan yang bisa dilakukan untuk perbaikan hati:

Mujahadah:
Seseorang membutuhkan mujahadah yang rutin dan berkesinambungan, dan membutuhkan sikap tahan terhadap penderitaan dalam menjaga hatinya. Ibnul Munkadir Rahimahullah (salah seorang ulama Tabi’in) berkata, “Aku memaksa jiwaku (untuk ketaatan) selama empat puluh tahun, sampai ia tunduk kepadaku.” (Fashlul Khithab fiz Zuhd wa Raqaa’iq wal Aadab)
Abu Hafsh an-Naisaburi Rahimahullah berkata, “Aku menjaga hatiku selama dua puluh tahun, kemudian dia (hati) menjagaku dua puluh tahun.”(Shifatush Shofwah, 2/312)

Menyendiri (khalwah) untuk beribadah

Seharusnya seorang hamba memiliki tempat khusus di mana ia menyendiri dari manusia, hanya berdua dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Disana ia menghitung dosa-dosanya, mengoreksi dan menghitung-hitung amal perbuatannya, memperbaiki hatinya dan meminta ampunan dari Rabb-nya. Namun yang perlu diperhatikan adalah bahwa menyendirinya dia tidak sampai meninggalkan shalat jama’ah dan jum’at. Syaikhul Islam Ibnu Taimiah Rahimahullah berkata, “Seharusnya seorang hamba memiliki waktu-waktu khusus dimana di waktu tersebut ia menyendiri dalam doa, dzikir, shalat (shalat sunnah), tafakkur dan muhasabah (intropeksi diri).”

Oleh karena pentingnya khalwah ini, Islam mesyariatkan i’tikaf, agar seorang muslim terbiasa untuk menyendiri berdzikir, berdoa, bertafakkur, merenungi ayat-ayat Allah Subhanahu Wa Ta’ala memohon ampunan dan ibadah-ibadah hati yang lainnya.

Muraqabatullah (Merasa diawasi oleh Allah)

Merasa diawasi akan melahirkan sikap hati-hati dalam berniat, berucap dan bertindak, karena ia yakin bahwa Allah ‘Azza Wa Jalla, Sang Pencipta melihat apa yang dia lakukan secara terang-terangan ataupun secara tersembunyi. Dia mendengar apa yang dia bisikan dan apa yang dia suarakan. Sehingga dengan demikian ia akan jauh dari dosa, dan menjadi bersih dan hiduplah hatinya, karena sumber penyakit hati adalah yang dilakukan oleh manusia.

Banyak mengingat kematian, dan ziarah kubur

Diantara hal yang membuat hati seseorang baik adalah banyak mengingat kematian, ziarah kubur dan melihat orang yang sedang sakartul maut, yaitu saat-saat keluarnya manusia dari alam dunia ini dan meninggalkan semua bentuk syahwat (kesenangan) dan kenikmatan, meninggalkan keluarga, dan harta yang telah membuat dirinya capek dalam mencari dan mengumpulkannya.

Maka mengingat mati merupakan sarana yang dapat menghidupkan hati, dan melembutkan kekerasan yang ada di dalamnya. Maka berikanlah waktu khusus bagi jiwamu untuk berpikir tentang kematian, untuk berziarah kubur, dan mengiringi jenazah. Sa’id bin Jubair Rahimahullah berkata, “Seandainya mengingat kematian berpisah dari hatiku, niscaya aku khawatir hatiku akan rusak.” Maknanya adalah bahwa kematian selalu menyertainya, dia mengingatnya dalam setiap keadaan.

Bermajelis dengan orang shalih

Diantara hal yang menghidupkan hati seseorang adalah bermajelis (duduk-duduk) dengan orang-orang shalih yang mengingat Allah ‘Azza Wa Jalla, dan mereka mengingatkan orang tersebut kepada Allah dengan melihat wajah-wajah mereka. Karena diantara manusia ada orang-orang yang apabila engkau melihat wajahnya, hatimu akan lapang, dan hilang darimu berbagai macam kesedihan, kekhawatiran dan kebimbangan. Hal itu karena pada diri orang-orang shalih kita melihat potret ketakutan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, ketawakalan kepada-Nya, ketawadhu’an dan sikap-sikap baik yang lainnya. Sehingga orang-orang yang melihat dan bermajelis dengannya akan berusaha menirunya. Oleh karena itu para shahabat apabila berada di sisi Nabi, maka iman mereka naik, namun jika mereka jauh dari Nabi dan berkumpul dengan keluarga dan harta mereka, mereka merasakan kegersangan dalam hati sebagaimana yang diceritakan shahabat Hanzhalah dalam Shahih Muslim.

Menjadikan hatinya hanya bergantung kepada Rabb-nya

Jika hati seseorang bergantung kepada makhluk, maka dia akan tersiksa dengan makhluk tersebut, siapa dan apa pun dia, apakah dia laki-laki, perempuan, mobil, bangunan, harta atau yang lainnya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala menciptakan hati ini dan menyusunnya dengan susunan yang khusus, yang keadaannya sama sekali tidak akan baik, kecuali kalau pemiliknya menjadikannya hanya bergantung kepada Rabb-nya dan Pencipta-nya. Maka jika ia digantungkan kepada selain Allah, ia akan merasa tersiksa dengan ketergantungan tersebut.

Menggantungkan hati kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah hal yang bisa membuat baik hati manusia. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata, “Setiap kali hati ini bertambah cinta kepada Allah, maka bertambah pula peribadatan kepada-Nya, dan setiap kali bertambah peribadatan kepada-Nya, semakin bertambah pula kecintaan kepada-Nya, dan (bertambah pula) kebebasannya dari selain-Nya –hatinya tidak menjadi hamba dan tawanan siapa pun dari kalangan makhluk, tidak wanita dan tidak pula manusia lain.”

Dan beliau berkata, “Hati ini sangat butuh kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dari dua sisi: Dari sisi ibadah dan dari sisi meminta pertolongan, dan tawakkal. Maka hati seseorang tidak akan bagus, beruntung, senang, baik, tenang, dan tentram kecuali dengan ibadah kepada Rabb-nya, mencintai-Nya, dan kembali (bertaubat) kepada-Nya. Seandainya ia mendapatkan semua hal yang mendatangkan kenikmatan berupa makhluk, maka ia (hati) tidak akan tenteram dan tenang. Karena di dalamnya (hati) ada perasaan sangat butuh kepada Rabb-nya, yang mana Dia adalah sesembahannya, kecintaannya dan yang dicarinya.” (al-Fatawa, 10/193-194)

Oleh karena itu Ibnul Qayyim berkata, “Sesungguhnya di dalam hati ada keterasingan yang tidak bisa dihilangkan kecuali dengan kecintaan kepada Allah, di dalamnya juga ada kesedihan yang tidak bisa dihilangkan kecuali dengan kesenangan mengenal-Nya, dan di dalamnya juga ada kefaqiran yang tidak bisa dihilangkan kecuali dengan kepasrahan yang jujur kepada-Nya, dan seandainya diberikan kepadanya dunia dan seisinya niscaya hal itu tidak bisa menghilangkan kefaqiran tersebut selama-selamanya.”

Amal shalih dengan segala macamnya

Diantara perkara yang membuat hati baik adalah amal shalih dengan segala macamnya, sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abbas Radiyallahu ‘Anhu, “Bagi (pelaku) kebaikan akan mendapatkan cahaya dalam hatinya, sinar di wajahnya, kekuatan pada badannya, tambahan dalam rizqinya, dan kecintaan di hati para makhluk. Dan Bagi (pelaku) kejahatan/keburukan akan mendapatkan kegelapan di hati, noda hitam di wajah, kelemahan di dalam jasmani, kekurangan/kesempitan dalam rizqi dan kebencian di hati para makhluk.” (az-Zuhd wal Wara’ fil ‘Ibadah: 63)

Menggunakannya sesuai tujuan penciptaanya

Hati ini diciptakan agar ia menjadi hamba Allah Subhanahu Wa Ta’ala, ia diciptakan agar melakukan amalan-amalan yang agung, yaitu amalan hati yang shalihah. Maka jika hati ini disibukkan dengan selainnya, ia akan kotor dan rusak. Sebagaimana perkataan Ibnu Taimiyah, “Sesungguhnya Allah Tabaraka Wa Ta’ala menciptakan hati bagi manusia, dengannya ia mengetahui segala sesuatu, sebagaimana Dia menciptakan mata yang dengannya dia melihat segala sesuatu, (menciptakan) telinga yang dengannya dia mendengar segala sesuatu -sampai perkataan beliau – : Demikian juga organ tubuh (anggota badan) yang lain yang batiniah atau lahiriah, apabila si hamba menggunakannya di dalam lingkup tujuan dia diciptakan dan dipersiapkan, maka itu adalah kebenaran yang lurus dan keadilan yang dengannya langit dan bumi ini tegak, dan hal itu pun menjadi kebaikan dan keshalihan bagi organ tersebut, dan mendatangkan kerdihaan Rabb, serta menjadikan baik sesuatu yang di dalamnya dia digunakan (maksudnya menjadikan shalih amalan tersebut).”

Beliau menambahkan, “Dan jika organ tubuh itu tidak digunakan sesuai haknya (sesuai tugasnya yaitu ibadah), akan tetapi dibiarkan tidak bekerja, maka itu adalah kerugian, dan pemiliknya tertipu. Dan jika digunakan dalam hal yang berseberangan dengan tujuan dia diciptakan, maka itu adalah kesesatan dan kebinasaan dan pemiliknya termasuk orang yang mengganti nikmat Allah dengan kekufuran (pengingkaran).”

Mengingat Allah (berdzikir) dan membaca al-Qur’an

Sulaiman al-Khawash berkata, “Dzikir bagi hati itu seperti kedudukan nutrisi makanan bagi tubuh, maka sebagaimana jasad tidak bisa merasakan kelezatan makanan dengan keadaan tubuh yang sakit, demikian juga hati tidak bisa merasakan nikmatnya dzikir dengan keberadaan cinta dunia di dalamnya.”

Doa

Yang terakhir adalah doa, karena kita hanya bisa berusaha, dan hasil ada dalam kehendak Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Oleh karena itu kita minta kepada-Nya semoga Dia menjadikan hati kita hati yang hidup, yang selalu tergantung dan mengingat Penciptanya, hati yang tunduk dan taat kepada perintah-Nya, hati yang selalu mendorong anggota badan yang lainnya untuk beribadah. Amin

(Sumber: Silsilah A’maalul Qulub syaikh Khalid as-Sabt dan tambahan yang lain)