Wajib atas orang Muslim menghormati Kitab Allah, Sunnah RasulNya dan para ulama kaum Muslimin. Wajib pula mengetahui hukum siapa yang menghina sesuatu dalam agama atau al-Qur’an atau Rasul, agar seorang Muslim bisa berhati-hati darinya, karena siapa yang menghina sesuatu yang mengandung dzikrullah atau al-Qur’an atau Rasul atau sunnahnya, maka dia kafir kepada Allah, karena dia merendahkan Rububiyah dan kerasulan, dan itu bertentangan dengan tauhid dan merupakan kekafiran berdasarkan ijma’ para ulama.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (65) لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ (66)

“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), niscaya mereka akan menjawab, ‘Sesungguhnya kami hanya berbincang-bincang dan bersenda gurau saja.’Katakanlah, ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kalian selalu berolok-olok? Tidak usah kalian beralasan, karena sungguh kalian telah kafir sesudah kalian beriman’.” (At-Taubah: 65-66).

Diriwayatkan tentang sebab turunnya dua ayat di atas adalah apa yang dilakukan oleh sebagian orang-orang munafik di sebagian peperangan di mana dia menghina Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam dan para sahabat beliau.

Imam Ibnu Jarir rahimahullah[1] dan lainnya meriwayatkan dari Ibnu Umar, Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam dan Qatadah, [di mana hadits sebagian dari mereka masuk kepada sebagian lainnya],

‏أَنَّهُ قَالَ رَجُلٌ فِيْ غَزْوَةِ تَبُوْكَ‏:‏ مَا رَأَيْنَا مِثْلَ قُرَّائِنَا هَؤُلَاءِ أَرْغَبُ بُطُوْنًا وَلَا أَكْذَبُ أَلْسِنًا وَلَا أَجْبَنُ عِنْدَ اللِّقَاءِ -يَعْنِي‏:‏ رَسُوْلَ اللّٰهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابَهُ الْقُرَّاءَ-‏.‏ فَقَالَ لَهُ عَوْفُ بْنُ مَالِكٍ‏:‏ كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ مُنَافِقٌ، لَأُخْبِرَنَّ رَسُوْلَ اللّٰهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَذَهَبَ عَوْفٌ إِلَى رَسُوْلِ اللّٰهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيُخْبِرَهُ، فَوَجَدَ الْقُرْآنَ قَدْ سَبَقَهُ، فَجَاءَ ذَلِكَ الرَّجُلُ إِلَى رَسُوْلِ اللّٰهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدِ ارْتَحَلَ وَرَكِبَ نَاقَتَهُ، فَقَالَ‏:‏ يَا رَسُوْلَ اللّٰهِ‏،‏ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوْضُ وَنَتَحَدَّثُ حَدِيْثَ الرَّكْبِ، نَقْطَعُ بِهِ عَنَّا الطَّرِيْقَ‏.‏ قَالَ ابْنُ عُمَرَ‏:‏ كَأَنِّيْ أَنْظُرُ إِلَيْهِ مُتَعَلِّقًا بِنِسْعَةِ نَاقَةِ رَسُوْلِ اللّٰهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنَّ الْحِجَارَةَ تَنْكِبُ رِجْلَيْهِ وَهُوَ يَقُوْلُ‏:‏ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوْضُ وَنَلْعَبُ‏.‏ فَيَقُوْلُ لَهُ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ ‏

Bahwasanya seorang laki-laki berkata dalam perang Tabuk, Kami tidak melihat orang-orang seperti para qari kita itu, mereka paling banyak makannya, paling dusta perkataannya, dan paling pengecut saat bertemu musuh.‘ –Maksudnya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam dan para sahabat beliau yang dikenal sebagai para ulama-. Maka Auf bin Malik berkata, Kamu dusta, kamu memang orang munafik. Demi Allah, aku akan menyampaikannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam.Maka Auf pergi menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam dan dia mendapatkan al-Qur’an telah turun mendahuluinya, lalu orang tersebut datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam yang sudah naik untanya dan mulai berjalan. Dia berkata, Wahai Rasulullah, kami hanya sekedar berbincang dengan perbincangan orang dalam perjalanan untuk meringankan beban berat perjalanan‘.” Ibnu Umar berkata, Aku masih terbayang dia bergelayut pada tali pelana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam sedangkan kedua kakinya tersandung batu, sambil berkata, Kami hanya bercanda dan bergurau. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam menjawab (dengan membaca ayat),Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kalian selalu berolok-olok? Tidak usah kalian beralasan, karena kalian telah kafir setelah beriman’.” (At-Taubah: 65-66).

Dalam dua ayat di atas dengan sebab turunnya, terkandung dalil yang terang yang menunjukkan kekafiran siapa yang mengolok-olok Allah atau RasulNya atau ayat-ayat Allah atau Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam atau para sahabat Rasulullah, karena siapa yang melakukannya, dia meremehkan Rububiyah dan kerasulan, dan itu menafikan tauhid dan akidah, sekalipun tidak bermaksud mengolok-olok dalam arti sebenarnya.

Termasuk dalam masalah ini, menghina ilmu agama dan ahlinya (para ulama), tidak menghormati mereka atau mencela mereka karena ilmu yang mereka bawa, bahwa hal itu merupakan kekafiran, sekalipun tidak bermaksud mengolok-olok dalam arti sebenarnya, karena orang-orang yang ayat-ayat turun tentang mereka datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam mengakui apa yang mereka lakukan, mengajukan alasan

إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ

Sesungguhnya kami hanya berbincang-bincang dan bersenda gurau saja.” (At-Taubah: 65).

Yakni, kami tidak bermaksud mengolok-olok dan mendustakan, akan tetapi kami hanya bergurau, tidak serius.

Allah Ta’ala mengabarkan kepada mereka melalui lisan RasulNya shallallahu ‘alaihi wassalam bahwa alasan mereka ini tidak berguna sedikit pun di sisi Allah, dan bahwasanya mereka kafir sesudah beriman, karena perkataan tersebut yang mereka gunakan sebagai bahan olokan, Allah tidak menerima alasan mereka bahwa mereka tidak serius dalam mengucapkannya, akan tetapi hanya sekedar main-main.

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam tidak menjawabnya kecuali hanya dengan membaca Firman Allah Ta’ala,

أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ

Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kalian selalu berolok-olok? Tidak usah kalian beralasan, karena sungguh kalian telah kafir sesudah kalian beriman.” (At-Taubah: 65-66).

Hal itu, karena perkara ini tidak menerima main-main dan senda gurau, karena yang wajib terhadap hal-hal ini adalah menghormati dan mengagungkannya. Dan hendaknya seseorang khusyu’ di hadapan ayat-ayat Allah sebagai bukti iman kepada Allah dan RasulNya, mengagungkan ayat-ayatNya, sedangkan orang yang main-main dan senda gurau berarti merendahkannya.

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berkata, “Olok-olok terhadap agama dengan kata-kata yang jelas adalah seperti ini atau yang serupa dengan itu, adapun olok-olok dengan perbuatan maka ia seperti memonyongkan mulut, menjulurkan lidah atau mengedipkan mata, hal ini sering dilakukan oleh banyak orang saat mereka disuruh shalat dan zakat; apalagi bila mereka disuruh bertauhid?”[2]

Termasuk dalam hal ini mengolok-olok sunnah yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam, seperti orang yang mengolok-olok sikap memanjangkan jenggot dan pemotongan kumis atau menghina siwak atau lainnya, dan juga seperti menghina amar ma’ruf dan nahi mungkar.

Ibnu Ishaq berkata, “Ada sekelompok orang munafik, di antara mereka ada Wadi’ah bin Tsabit saudara Bani Umayyah bin Zaid bin Amr bin Auf, di antara mereka ada seorang laki-laki dari Asyja’ sekutu Bani Salimah bernama Makhsyi bin Humayyir. Mereka menyindir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam saat beliau berangkat ke Tabuk. Sebagian mereka berkata kepada sebagian lainnya, “Apakah menurut kalian keperkasaan orang-orang Romawi seperti berperangnya orang-orang Arab satu sama lain? Demi Allah, sepertinya kalian esok terikat dengan tambang sebagai tawanan.” Mereka berkata demikian untuk menakut-nakuti orang-orang Mukmin dan melemahkan semangat mereka.”

Makhsyi bin Humayyir berkata, “Demi Allah, sungguh aku berharap lebih baik masing-masing dari kita dicambuk seratus kali dan selamat dari turunnya al-Qur’an yang membongkar kata-kata kalian ini.”

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, sebagaimana yang telah sampai kepadaku, kepada Ammar bin Yasir, “Susullah orang-orang itu, sesungguhnya mereka telah terbakar, bertanyalah kepada mereka tentang apa yang mereka katakan, bila mereka mengingkari, maka katakanlah, ‘Tidak, sebaliknya kalian berkata begini dan begini.” Maka Ammar pergi kepada mereka dan dia berkata demikian kepada mereka, maka mereka datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam meminta maaf atas apa yang mereka katakan. Wadi’ah bin Tsabit berkata, sementara Rasulullah duduk di atas untanya, dia berkata sambil memegang tali pelana Rasulullah, “Rasulullah, kami hanya berbincang-bincang dan bersenda gurau.” Maka Allah Ta’ala menurunkan,

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), niscaya mereka akan menjawab, ‘Sesungguhnya kami hanya berbincang-bincang dan bersenda gurau saja.” (At-Taubah: 65).

Maka Makhsyi bin Humayyir berkata, “Wahai Rasulullah, namaku dan nama bapakku telah merendahkanku.” Dan orang yang dimaafkan dalam ayat ini

إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ

Jika Kami memaafkan sebagian dari kalian (karena telah bertaubat).” (At-Taubah: 66),

adalah Makhsyi bin Humayyir, lalu dia mengubah namanya dengan Abdurrahman. Dan dia memohon kepada Allah agar mati sebagai syahid dan tidak diketahui tempatnya, maka dia gugur dalam perang Yamamah dan tidak meninggalkan bekas.[3]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Allah mengabarkan bahwa mereka kafir sesudah beriman, padahal mereka berkata, kami mengucapkan kalimat kufur tanpa meyakininya, kami hanya berbincang-bincang dan bersenda gurau. Allah menjelaskan bahwa memperolok-olok ayat-ayatNya adalah kekafiran, dan bahwa ia tidak dilakukan kecuali oleh orang yang dadanya menerima perkataan tersebut dengan lapang, seandainya ada iman dalam hatinya, niscaya iman tersebut mencegahnya untuk mengucapkan perkataan itu.

Al-Qur’an menjelaskan bahwa iman dalam hati menuntut amal lahir sesuai dengan kadarnya, sebagaimana Firman Allah Ta’ala,

وَيَقُولُونَ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالرَّسُولِ وَأَطَعْنَا ثُمَّ يَتَوَلَّى فَرِيقٌ مِنْهُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَمَا أُولَئِكَ بِالْمُؤْمِنِينَ (47) وَإِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ مُعْرِضُونَ (48) وَإِنْ يَكُنْ لَهُمُ الْحَقُّ يَأْتُوا إِلَيْهِ مُذْعِنِينَ (49) أَفِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ أَمِ ارْتَابُوا أَمْ يَخَافُونَ أَنْ يَحِيفَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَرَسُولُهُ بَلْ أُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (50) إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (51)

“Dan mereka (orang-orang munafik) berkata, ‘Kami telah beriman kepada Allah dan Rasul (Muhammad), dan kami menaati (keduanya).’ Kemudian sebagian dari mereka berpaling setelah itu. Mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman. Dan apabila mereka diajak kepada Allah dan RasulNya, agar (Rasul) memutuskan perkara di antara mereka, ternyata sebagian dari mereka menolak (untuk datang). Tetapi jika kebenaran di pihak mereka, mereka datang kepadanya (Rasul) dengan patuh. Apakah (ketidakhadiran mereka karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu-ragu, ataukah (karena) takut jikalau Allah dan RasulNya berlaku zhalim kepada mereka? Sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang zhalim. Sesungguhnya ucapan orang-orang Mukmin, apabila mereka diajak kepada Allah dan RasulNya agar Rasul memutuskan (perkara) di antara mereka, hanyalah, ‘Kami mendengar dan kami taat.’ Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (An-Nur: 47-51).

Allah Ta’ala menafikan iman dari orang yang menolak menaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam. Allah mengabarkan bahwa bila orang-orang Mukmin diajak kepada hukum Allah dan RasulNya, maka mereka mendengar dan menaati. Allah Ta’ala menjelaskan bahwa hal itu termasuk konsekuensi iman.…”[4]

Dengan ini dapat diketahui kekafiran orang-orang yang merendahkan syariat Islam, dan menyatakan bahwa syariat Islam tidak cocok diterapkan di zaman ini, bahwa hukuman had hanya kebengisan dan kekerasan, bahwa Islam menzhalimi wanita dan masih banyak lagi kata-kata kafir dan menyimpang. Semoga Allah menjaga kita semuanya.

Keterangan:

[1] Dalam Tafsirnya, 10/172. Lihat Kitab at-Tauhid hal. 190 dan sesudahnya.

[2] Dalam Fatawa dan Masail dalam Majmu’ Muallafat asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, 2/39 dan Tarikh Ibnu Ghannam, hal. 452.

[3] Lihat as-Sirah an-Nabawiyah Ibnu Hisyam, 4/168 tahqiq as-Saqa, al-Abyari dan Abdul Hafizh Syalabi. Tafsir Ibnu Katsir, 2/368 dan Tarikh al-Islam, 1/340.

[4] Majmu’ al-Fatawa, 7/220.

Referensi:

Panduan Lengkap Membenahi Akidah Berdasarkan Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Darul Haq, Jakarta, Cetakan IV, Shafar 1441 H/ Oktober 2019 M.