diamImam Abu Dawud rahimahullah berkata ketika menyifat kitab Sunan beliau:

” ما لم أذكر فيه شيئاً فهو صالح، وبعضها أصح من بعض” [رسالة أبي داود إلى أهل مكة في وصف سننه ص (27)].

“Sesuatu (maksudnya hadits, ed) yang di dalamnya tidak aku komentari (aku diamkan), maka ia adalah shalih. Dan sebagiannya lebih shahih dibandingkan yang lainnya.” (Risalah Abi Dawud Ke Penduduk Mekah)

Dalam menafsirkan perkataan tersebut para Ulama berbeda pendapat, di antara mereka rahimahumullah ada sekelompok ulama yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan perkataan tersebut adalah bahwa hadits-hadits yang didiamkan tersebut Shaalihun Lilihtijaj (pantas/baik untuk dijadikan hujjah). Oleh sebab itu ketika mereka membawakan salah satu hadits yang didiamkan oleh imam Abu Dawud rahimahullah dalam kitab Sunannya, mereka berkata: ” Hadits ini minmal kedudukannya adalah hasan, karena Abu Dawud rahimahullah mendiamkannya, dan beliau rahimahullah tidaklah diam kecuali dari hadits yang minimal derajatnya adalah hasan.”

Di sana ada sekelompok ulama yang lain yang berpandangan bahwasanya imam Abu Dawud mendiamkan hadits-hadits tersebut karena ia adalah hadits yang Shaalihun Lili’tibar (pantas/bisa dijadikan mutabi’ atau syawahid). Dan ini adalah madzhab al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah.

Dan kesimpulannya dalam hal ini adalah bahwasanya jika kita mencermati hadits-hadits yang dibawakan oleh imam Abu Dawud, maka memang benar kita dapatkan bahwa beliau mengomentari sebagian hadits-hadits yang di dalamnya –sebagaimana disebutkan oleh beliau sendiri- terdapat “Wahn Syadid” (lemah yang parah). Dan mungkin contoh yang paling mendekati adalah hadits yang beliau bawakan dari Asma binti Abu Bakar radhiyallahu ‘anhuma tentang sifat hijab wanita:

وَإِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ يَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلاَّ هَذَا وَهَذَا ». وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ

” Dan sesungguhnya perempuan itu apabila sudah mencapai usia haid (baca: baligh) tidak boleh tampak darinya selain ini dan ini.” Dan beliau (Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) mengisyaratkan ke wajah dan kedua telapak tangan beliau.

Abu Dawud rahimahullah ketika membawakan hadits ini beliau berkata:” Ini adalah hadits mursal, Khalid bin Duraik tidak berjumpa dengan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.” Maka beliau (Abu Dawud) rahimahullah menjelaskan hadits ini.

Haidts ini bisa dijadikan contoh untuk haidts-hadits yang dikomentari oleh imam Abu Dawud rahimahullah dan beliau jelaskan ke-dha’if-annya atau wahn-nya.

Di sana adalah kumpulan hadits-hadits yang lain (yaitu hadits-hadits yang didiamkan/tidak dikomentari), kita dapati bahwa hadits-hadits yang didiamkan tersebut, kebanyakan adalah hadits-hadits yang shahih. Dan bahkan banyak di antaranya yang diriwayatkan dalam ash-Shahihain (Shahih al-Bukhari dan Muslim) atau salah satu di antara keduanya. Dan ini tidak dinyatakan secara tegas oleh imam Abu Dawud rahimahullah, maksudnya hadits-hadits shahih ini tidak dikomentari oleh beliau dan bahkan beliau rahimahullah mendiamkannya.

Dan di sana ada hadits-hadits yang di dalamnya terdapat kelemahan (dha’f), dan beliau rahimahullah mendiamkannya. Akan tetapi kelemahannya mungkin bisa dijadikan untuk syawahid dan mutaba’at.

Demikian juga kita dapati bahwa beliau rahimahullah mendiamkan hadits-hadits yang di dalamnya ada nakarah (hadits munkar), wahn, dan dha’fun syadid (sangat lemah). Kami sebutkan salah satu hadits sebagai contoh yang di dalamnya ada nakarah (hadits munkar), yaitu hadits yang beliau rahimahullah bawakan dalam kitab al-Adab dari jalur Salam bin Qutaibah dari Dawud dari Abu Shalih dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَنَّ النَبِيَّ صلى الله عليه وسلم نَهَى أَنْ يَمْشِىَ الرَّجُلُ بَيْنَ المَرْأَتَيْنِ

” Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang seorang laki-laki berjalan di antara dua wanita.”

Hadits ini kita dapati bahwa para ulama menghukuminya dengan hadits Munkar, hal itu karena di dalamnya terdapat perawi yang bernama Dawud bin Abi Shalih, dan ia adalah Munkarul hadits (perawi yang haditsnya Munkar). Abu Zur’ah rahimahullah berkata mengenai perawi ini(Dawud bin Abi Shalih):” Aku tidak mengenalnya melainkan dalam satu hadits, yang dia riwayatkan dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan itu adalah hadits Munkar.” Dan masih ada lagi beberapa nukilan dari para ulama tentang perawi yang satu ini (Dawud bin Abi Shalih). Wallahu A’lam.

(Sumber: فتاوى حديثيّة, Syaikh Sa’d bin ‘Abdullah Alu Humaid hal 66-68. Diterjemahkan dan diposting oleh Abu Yusuf Sujono)