Takut Riya

Di antara perkara yang sangat terlarang di dalam Islam adalah “kesyirikan”, menyekutukan Allah dengan yang lainNya. Allah berfirman,

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا

Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun (Qs. an-Nisa : 36).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’diy mengatakan, “(dalam ayat ini) Allah memerintahkan hamba-hambaNya untuk beribadah hanya kepadaNya semata tidak ada sekutu bagiNya, yaitu dengan memposisikan diri sebagai seorang yang terbelenggu dalam perbudakan peribadatan kepadaNya, yang selalu siap menerima perintah dan laranganNya dengan penuh cinta, kerendahan diri dan keikhlasan kepadaNya dalam segala bentuk ibadah yang nampak dan yang tersembunyi. (Dan dalam ayat ini pula)  Allah juga melarang (hamba-hambaNya) dari melakukan tindakan menyekutukanNya dengan yang lainNya, tidak dibedakan apakah kesyirikan tersebut besar ataukah kecil. (Tafsir as-Sa’diy, 1/177)

Di antara bentuk syirik kecil yang terlarang yang hendaknya setiap kita takut akan terjerembab ke dalamnya adalah “ Riya “.

 

Apa itu riya ?

Secara bahasa, riya berasal dari kata  رَاءَى – يُرَاءِى – رِءَاءً وَ رِيَاءًا (رَاءَاهُ) مُرَاءَاةً,. Adapun riya secara istilah syar’i, para ulama berbeda-berbeda dalam mendefinisikannya. Ada yang mengatakan, ‘riya adalah seorang melakukan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah, tetapi ia melakukan bukan karena Allah melainkan karena tujuan dunia” (al-Ikhlash, hlm. 94). Ada yang mengatakan, ‘riya adalah melakukan ibadah untuk mencari perhatian manusia sehingga mereka memuji pelakunya dan ia mengharap pengagungan dan pujian serta penghormatan dari orang yang melihatnya. (Fathul Bari, XI/336). Ada yang mengatakan, ‘hakikat riya adalah

طَلَبُ مَا فِيْ الدُّنْيَا بِالْعِبَادَةِ ، وَ أَصْلُهُ طَلَبُ الْمَنْزِلَةِ فِيْ قُلُوْبِ النَّاسِ

mencari apa yang ada di dunia dengan ibadah dan pada asalnya adalah mencari posisi di hati manusia (al-Lubab Fii ‘Ulumi al-Kitab, 20/517)

Riya Sangat Dikhawatirkan Rasulullah

Riya merupakan penyakit hati yang sedimikian dikhawatirkan oleh Rasulullah akan menjangkiti hati ummatnya. Hal ini sebagaimana tercermin secara gamblang dalam sabdanya,

إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ قَالُوا وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الرِّيَاءُ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِذَا جُزِيَ النَّاسُ بِأَعْمَالِهِمْ اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاءُونَ فِي الدُّنْيَا فَانْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً

Sesungguhnya perkara yang aku khawatirkan akan menimpa kalian adalah syirik kecil. Para sahabat bertanya,  apa yang dimaksud “syirik kecil” wahai Rasulullah ? beliau menjawab, “riya “ . Pada hari Kiamat- ketika para manusia diberikan balasan atas amal yang mereka lakukan- Allah akan berkata kepada para pelakunya, “ pergilah kalian kepada sesuatu yang dahulu ketika di dunia kalian melakukan amal agar dilihat oleh mereka, lalu lihatlah oleh kalian apakah kalian mendapati balasannya pada sisi mereka ?  (HR. Ahmad di dalam Musnadnya, no. 23630)

Para ulama mengatakan, bila mana Nabi mengkhawatirkan terhadap para sahabatnya dari terjatuh ke dalam riya, padahal mereka dalam hal ketaatan dan mengesakan Allah tidak diragukan, lalu bagaimana halnya dengan orang-orang yang dibawah mereka dalam hal ketaatan dan mengesakan Allah, seperti kita ? nampaknya lebih dikhawatirkan.

Isyarat Kerugian

Saudaraku seiman, Diperintahnya para pelaku riya -ketika para manusia diberikan balasan atas amal yang mereka lakukan pada hari kiamat nanti-, untuk pergi kepada sesuatu yang dulu ketika di dunia dijadikan sebagai tujuan dalam beramal, lalu diperintahkan untuk melihat balasannya pada sisi mereka, merupakan isyarat kerugian. Karena, tidaklah para pelaku riya ini akan mendapatkan balasan yang baik di sisi mereka, orang-orang atau sesuatu yang dulu ketika di dunia menjadi titik perhatian dan tujuan dari amal yang dilakukannya. Justru siksalah yang akan mereka terima. Perhatikanlah sabda Rasulullah berikut ini !

“Sesungguhnya manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid di jalan Allah. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia), lalu ia pun mengenalinya. Allah bertanya kepadanya , ‘amal apakah yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?’ Ia menjawab, ‘aku berperang semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid.’ Allah berfirman, ‘Engkau dusta! Engkau berperang supaya dikatakan seorang yang gagah berani. Memang demikianlah yang telah dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu atas mukanya (yakni, dalam kondisi tertelungkup-pen), lalu dilemparkan ke dalam Neraka. Berikutnya orang (yang diadili) adalah seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca al-Qur’an. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Kemudian Allah menanyakannya, ‘amal apakah yang telah engkau lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia menjawab, ‘aku menuntut ilmu dan mengajarkannya serta aku membaca al-Qur’an hanyalah karena Engkau.’ Allah berkata, ‘Engkau dusta! Engkau menuntut ilmu agar dikatakan seorang ‘alim (yang berilmu) dan engkau membaca al-Qur’an supaya dikatakan seorang qari‘ (pembaca al-Qur’an yang baik). Memang begitulah yang telah dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret atas mukanya (yakni, dalam kondisi tertelungkup-pen)  dan melemparkannya ke dalam Neraka. Berikutnya (yang diadili) adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya (yang telah diberikan kepadanya ketika di dunia), maka ia pun mengenalinya (mengakuinya). Allah bertanya, ‘apa yang engkau telah perbuat dengan nikmat-nikmat itu?’ Dia menjawab, ‘aku tidak pernah meninggalkan shadaqah dan infaq pada jalan yang Engkau cintai melainkan pasti aku melakukannya semata-mata karena Engkau.’ Allah berfirman, ‘Engkau dusta! Engkau berbuat yang demikian itu supaya dikatakan seorang yang dermawan (murah hati) dan memang begitulah yang telah dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeretnya atas mukanya (yakni, dalam kondisi tertelungkup-pen) dan melemparkannya ke dalam Neraka.'” (HR. Muslim, no. 1905)

Kekhawatiran Menggerakkan Hati  

Bila demikian ini nasib para pelaku riya nantinya di akhirat, maka tentunya hal ini menjadikan kita semakin mengkhawatirkan diri kita sendiri, dan kekhawatiran ini hendaknya menggerakkan hati kita untuk selalu ditata secara baik, diluruskan niatnya ketika beramal shaleh agar tidak menyimpang dari tujuannya  dari mengharapkan ridha Allah dan pahala dariNya kepada mencari keridhaan dan pujian di sisi manusia.

Kekhawatiran ini pula hendaknya mendorong kita untuk menjauhkan diri dari perkara yang dapat mendorong kita terjatuh ke dalam riya dan tenggelam di dalamnya.

Saudaraku seiman, Banyak pendorong yang memungkinkan seseorang terjatuh ke dalam riya. Misalnya, kecintaan terhadap pujian manusia, takut terhadap celaan mereka, cinta kepada popularitas dan cinta kepada kedudukan. Hal ini seperti terisyaratkan dalam hadis berikut, Abu Musa al-Asy’ari berkata, bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah seraya berkata,

الرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِلْمَغْنَمِ ، وَ الرَّجُلُ يُقاَتِلُ لِيُذْكَرَ ، وَ الرَّجُلُ يُقاَتِلُ لِيُرَى مَكَانُهُ ، فَمَنْ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ  : مَنْ قَاتَلَ لِتَكُوْنَ كَلِمَةُ اللهِ أَعْلَى ، فَهُوَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ

Orang ini berperang karena rasa fanatisme, yang itu berperang agar dikenang dan yang itu berperang agar dilihat kedudukannya; manakah yang berada di jalan Allah?” Beliau menjawab, “Barangsiapa yang berperang dengan tujuan agar kalimat Allah yang tinggi, maka ialah yang di jalan Allah”. (HR Bukhari, no. 2810 dan Muslim, no. 1904)

Apa yang menyebabkan orang-orang yang melakukan amal mulia ini -yakni, berperang di jalan Allah- terpalingkan niatnnya dari tujuannya untuk meninggikan kalimat Allah menjadi sekedar untuk membela kelompoknya, agar ia dikenang nantinya, disebut-sebut sebagai kesatria dan sebagai seorang pahlawan ?   kecintaan terhadap pujian manusia, popularitas dan kecintaan kepada kedudukan serta takut terhadap celaan manusia, itulah di antara jawabannya.

Benteng Penyakit Riya

Riya adalah penyakit hati, siapa saja mungkin terjangkitinya. Maka, membentengi diri darinya menjadi tugas setiap hamba. Ada beberapa hal yang diharapkan dapat membentengi seseorang dari serangan penyakit hati yang satu ini, di antaranya,

  1. Hendaknya seorang hamba ingat bahwa riya dapat menjadikan amal shaleh yang dilakukannya sia-sia dan menjadi sebab pelakunya mendapatkan siksa di akhirat.
  2. Hendaklah seorang hamba menyadari bahwasanya pujian ataupun celaan orang lain tidak akan memberikan manfaat kepadanya di sisi Allah pada hari kiamat nanti.
  3. Hendaklah seorang hamba menyadari bahwa setan musuhnya selalu saja berusaha memalingkan hamba-hambaNya dari jalan yang lurus, salah satu bentuknya adalah mengotori kemurnian niat dan tujuan ibadah hanya kepada Allah semata kepada tujuan lainnya.
  4. Hendaklah seorang hamba banyak berdoa kepadaNya dengan doa yang diajarkan RasulNya Muhammad, yaitu,

 اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَناَ أَعْلَمُ، وَأَسْتَغْفِرُكَ مِمَّا لاَ أَعْلَمُ

[Allahumma innii a’udzubika an-usyrika bika wa ana a’lamu, wa astaghfiruka mimma laa a’lamu]

Ya Allah, sungguh aku berlindung kepada-Mu dari berbuat syirik dalam keadaan tahu, dan aku memohon ampunan dari apa yang tidak aku ketahui (HR. al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, no. 716)

Demikianlah bahasan singkat tentang salah satu penyakit yang sangat berbahaya yang sedemikian dikhawatirkan oleh Rasulullah akan menjangkiti hati ummatnya. Akhirnya, semoga Allah  menyelamatkan hati kita darinya. Aamiin.

Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad beserta keluarga dan para sahabatnya. (Redaksi)

Referensi :

  1. Al Ikhlash, Dr. Umar Sulaiman al-Asyqar
  2. Al-Adab al-Mufrad, imam al-Bukhari
  3. Al-Lubab Fii ‘Ilmi al-Kitab, Umar bin Ali al-Hambali
  4. Al-Musnad, Imam Ahmad bin Hambal
  5. Fathul Baari, Ibnu Hajar al-Asqalani
  6. Shahihain, Imam al-Bukhari dan Imam Muslim
  7. Tafsir as-Sa’di, Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di