PENJELASAN DASAR-DASAR AQIDAH ISLAM
PERTAMA : BERIMAN KEPADA ALLAH

Beriman kepada Allah merupakan dasar dari dasar-dasar aqidah Islam lainnya, pokok yang paling urgen dan ilmu yang paling mulia.
Beriman kepada Allah adalah keyakinan teguh akan wujud Allah, dan bahwasanya Dia adalah Rabb dan Pemilik segala sesuatu, hanya Dialah Sang Pencipta dan hanya Dia semata yang berhak disembah (diibadahi) tiada sekutu bagi-Nya, Dia mempunyai sifat-sifat kesempurnaan dan keagungan, Dia Maha Suci dari segala aib, kekurangan dan penyerupaan dengan makhluk.

Iman seperti ini telah ada di fitrah setiap manusia, semua manusia difitrahkan iman kepada Penciptanya tanpa didahului oleh pemikiran dan pendidikan sekalipun, dan ia tidak akan berubah dari kondisi fitrah tersebut kecuali ada hal lain yang mempengaruhi hatinya yang dapat memalingkannya dari fitrah iman tersebut. Allah berfirman:
“(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu”. (Q.S. 30: 30)

Makna fitrah Allah adalah Islam; oleh kerena itu, manusia telah menjadi fitrahnya kembali kepada Rabb (Tuhan)nya di saat menghadapi berbagai kesengsaraan. Jadi, apabila manusia –siapapun manusia itu, hingga kafir sekalipun- ketika dalam keadaan sengsara atau jiwanya terancam oleh marabahaya, maka berbagai khayalan dan dugaan-dugaan terbayang di dalam benaknya, lalu khayalan dan dugaan itu lenyap dan yang tersisa adalah fitrah yang telah ditetapkan Allah pada dirinya. Maka dari itu, ia segera kembali kepada Rabb (Tuhan)nya agar dibebaskan dari kesengsaraan dan kesempitan yang dihadapinya.

Yang dimaksud dengan “setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah” ialah bahwasanya ia dilahirkan dalam keadaan cinta kepada Rabb (Tuhan), mengakui wujud dan peribadahan kepada-Nya, hingga sekiranya fithrahnya dibiarkan (tidak ada pengaruh lain) maka ia fithrahnya tetap tidak akan berubah kepada yang lain. Sebagaimana jasad manusia difitrahi mempunyai keinginan makan dan minum, maka demikian pula halnya dengan jiwa (hati)nya telah difitrahi kembali kepada Allah dan beriman kepada-Nya. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda:

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

“Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fithrah, maka kedua ibu-bapaknyalah yang akan menjadi-kannya seorang Yahudi atau seorang Nasrani atau seorang Majusi”.

Maksudnya: Setiap bayi lahir dilahirkan dalam keadaan fitrah, yaitu Islam. Maka dari itu Nabi shallallahu ‘alahi wasallam tidak mengatakanيسلمانه (menjadikannya sebagai muslim). Maka, memeluk agama selain Islam dianggap sebagai tindakan keluar dari dasar dan pondasi aslinya karena disebabkan oleh faktor-faktor eksternal. Kedua orang tua kadang dapat menjadikan penyebab keluar-nya sang anak dari fitrah aslinya menjadi seorang penganut agama Yahudi atau Nasrani atau Majusi atau agama lainnya yang bertentangan dengan fitrah aslinya.

Kemudian, sesungguhnya akal sehat selalu mendukung fitrah yang masih suci. Akal sehat menunjukkan dengan sebesar-besarnya dalil kepada keimanan kepada Allah. Maka siapa saja yang memperhatikan jagad raya ini dan merenungkan berbagai keajaiban berbagai makhluk yang ada di dalamnya, berupa bumi (tanah), langit, gunung-gunung, lautan, manusia, tanaman, benda-benda mati dan lain-lain sebagainya, niscaya ia mengetahui bahwa alam-raya ini mempunyai Pencipta, yaitu Allah subhanahu wata’aala. Karena pandangan akal terhadap hal tersebut tidak keluar dari tiga kemungkinan, yaitu:

  • Pandangan yang beranggapan bahwa semua makhluk ini ada secara tiba-tiba tanpa pencipta. Tentu mustahil dan rasio (akal) dapat memastikan kerapuhan (batal)nya, sebab setiap orang yang berakal pasti mengetahui bahwasanya tidak akan mungkin ada sesuatu tanpa ada yang menciptakannya, dan karena keberadaan berbagai makhluk di dalam suatu tatanan yang betul teratur lagi indah dan saling berkaitan yang sangat kental antara sebab dan penyebab, antara sesama makhluk sebagaimana kita saksikan sangat menolak kemungkinan kejadiannya secara spontan.

  • Pandangan yang mengasumsikan bahwa makhluk itu sendiri yang menciptakan dirinya. Pandangan inipun mustahil dan sangat tidak mungkin. Karena setiap orang yang berakal dapat memastikan bahwa sesuatu itu tidak dapat menciptakan dirinya sendiri, karena sesuatu tersebut tidak ada (ma’dum) sebelum keberadaannya, maka bagaimana mungkin ia dapat menciptakan dirinya sendiri.
    Dan apabila kedua kemungkinan di atas batal, maka kemungkinan ketiga adalah pasti kebenarannya, yaitu:

  • Pandangan akal yang menyatakan bahwa makhluk ini memiliki pencipta yang telah menciptakannya, yaitu Allah Yang Maha Pencipta segala sesuatu, yaitu Tuhan yang tidak pernah dimulai dengan ketiadaan dan tidak ada batas keberakhirannya.

Allah subhanahu wata’aala telah menjelaskan argumen aqliy (rasional) yang akurat tersebut di dalam Al-Qur’an suci, seraya berfirman:
“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri?)” (Q.S. 52: 35).
Maksudnya adalah mereka tidak diciptakan tanpa pencipta yang menciptakannya dan mereka juga tidak menciptakan diri mereka sendiri. Maka dari itu dapat dipastikan bahwa pencipta mereka adalah Allah, dan adanya makhluk pasti harus mempunyai pencipta, sebagaimana adanya pengaruh menunjukkan kepastian adanya pemberi pengaruh, dan adanya objek menunjukkan adanya subjek.

Ini merupakan masalah-masalah yang jelas, mudah diketahui dengan pemikiran sederhana, semua orang yang berakal dapat mengetahuinya. Ia merupakan masalah-masalah rasional yang sangat gamblang. Maka barangsiapa meragukannya maka ini mengindikasikan adanya ketidakberesan pada akalnya, menunjukkan kebodohan dan adanya kerusakan pada pandangannya.

Hal-hal seperti di atas sudah dikenal oleh ahli fikir non muslim; dan barangsiapa yang membaca dengan cermat karya ilmiyah “Allahu Yatajalla fi ‘Ashril ‘Ilmi” (Allah Tampak di Abad Ilmu Pengetahuan) [Allah adalah nama bagi Zat Yang Maha Pencipta lagi Maha Sempurna. (Pent.)] sebuah buku yang ditulis oleh 30 (tiga puluh) tokoh ilmuwan falak dan fisika, niscaya mengetahui bahwa sesungguhnya seorang ilmuwan sejati itu pasti menjadi mu’min dan seorang awam pun pasti menjadi seorang mu’min, dan bahwa sesungguhnya kekafiran dan pembangkangan itu terjadi dari mereka yang hanya mencapai tingkat separo atau seperempat ke-ulama-an, yaitu orang-orang yang pengetahuannya dangkal yang menyebabkan kerugian fitrah iman dan belum mencapai kepada kebenaran yang diserukan oleh iman.

Ada lagi karya ilmiyah lain mirip dengan karya tulis di atas dengan judul “Al-Insan Laa Yaquumu Wahdahu” (Manusia Tidak Berdiri Sendiri) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan judul “Al-’Ilmu Yad’u lil Iman” (Ilmu Pengetahuan Mengajak kepada Iman), penulisnya adalah Crisy Mourysoun, seorang mantan direktur Akademika Ilmu Pengetahuan di New York, mantan direktur Lembaga Amerika di kota New york, anggota Dewan Eksekutif pada Dewan Nasional Riset di AS, anggota pada Musium Amerika dalam bidang sejarah ilmu pengetahuan alam dan anggota seumur hidup pada Lembaga Kerajaan Inggris.

Di antara ungkapan yang ia tulis di dalam karya tulisnya tersebut sebagai berikut: “Sesungguhnya kemajuan manusia dalam aspek moral dan kesadaran akan kewajibannya adalah merupakan salah satu pengaruh beriman kepada Allah”.

Dia juga berkata: “Sesungguhnya ketaatan beragama benar-benar akan menyingkap ruh manusia dan mengangkatnya secara bertahap hingga manusia merasa berhubungan dengan Allah; dan sesungguhnya do’a (permohonan) insting manusia kepada Allah agar Dia selalu memberikan pertolongan kepadanya adalah merupakan perkara natural, dan sesungguhnya shalat (penyembahan) yang sangat sederhana dapat mengangkat manusia menjadi dekat dari sang Penciptanya”.

Dan ia mengatakan: “Sesungguhnya sikap tenang, murah hati, kecerdikan, keutamaan dan inspirasi itu semua tidak timbul dari kekafiran”.

Ia juga mengungkapkan: “Tanpa keimanan, maka kebudayaan akan menjadi hampa, sistem akan menjadi kekacauan, setiap kendali dan ikatan akan menjadi sia-sia dan kejahatan pasti menyelimuti dunia. Maka kita wajib memperteguh keyakinan kita tentang wujudnya Allah dan wajib memperkuat cinta kepada-Nya”.
“Dan selagi akal kita terbatas kemampuannya, karena sesungguhnya kita tidak dapat mengetahui sesuatu yang tidak terjangkau (tidak ada batasannya), maka berdasarkan hal tersebut kita tidak ada jalan lain kecuali beriman kepada adanya Sang Pencipta Yang Mengatur apa yang telah Dia ciptakan yang termasuk di dalamnya planet-planet, bintang dan matahari”.
“Sesungguhnya keberadaan manusia pada setiap tempat, dan semenjak manusia diciptakan hingga sekarang telah merasakan adanya kekuatan di dalam dirinya yang mendorong supaya meminta pertolongan kepada siapa yang lebih mulia, lebih kuat dan lebih agung daripadanya, itu semua menunjukkan bahwa (kecenderungan ber) agama itu adalah fitrah, dan ilmu pengetahuan harus mengakui semua itu”.

Di antara bukti-bukti keesaan Allah dan iman kepada-Nya adalah “Dalil Indrawi”:

Bukti-bukti indrawi yang menunjukkan akan ke-esa-an Tuhan dan iman kepada-Nya sangat banyak sekali, sebagai contoh nyata adalah dikabulkannya do’a. Karena betapa banyak orang-orang yang lemah yang menghadapkan diri kepada Allah dengan berdo’a memohon kepada-Nya, lalu Dia mengabulkan do’a mereka, membebaskan mereka dari kesengsaraannya dan menghilangkan marabahaya dari mereka.

Contoh-contoh pengabulan do’a itu sangat banyak, bahkan setiap muslim telah mengetahui hal tersebut dari pengalaman dirinya. Allah subhanahu wata’aala berfirman:
“Dan Tuhanmu berfirman: Berdo’lah kepada-Ku, niscaya akan Ku perkenankan bagimu” (Q.S 40: 60).

Dan firman-Nya:
“Atau siapakah yang memperkenankan (do’a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo’a kepada-Nya dan yang menghilangkan kesusahan”. (Q.S. 27: 62)

Sebagai contoh pengabulan do’a adalah terkabulnya do’a-do’a para nabi sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an. Allah berfirman:
“Dan (ingatlah kisah) Nuh sebelum itu ketika ia berdo’a dan Kami memperkenankan do’anya”. (Q.S. 21: 76)

Dan firman-Nya:
“(Ingatlah) ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankannya bagi-mu”. (Q.S. 8: 9).

Di dalam hadits-hadits terdapat sejumlah dalil yang menunjukkan terkabulnya do’a orang yang berdo’a; di antaranya adalah hadits Shahih Bukhari yang bersumber dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu “Bahwa sesungguhnya pada suatu hari Jum’at ada seorang Badui (A’rabi) masuk (ke masjid) disaat Nabi shallallahu ‘alahi wasallam sedang berkhutbah. A’rabi itu berkata: Wahai Rasulullah, harta (kami) binasa dan keluarga kelaparan, maka berdo’alah kepada Allah untuk kami. Maka Nabi shallallahu ‘alahi wasallam mengangkat kedua tangannya lalu berdo’a. Maka awan-awan hitam sebesar gunung berdatangan dan Nabi shallallahu ‘alahi wasallam tetap di atas mimbarnya (berdo’a), hujanpun turun berkucuran hingga membasahi jenggot Nabi shallallahu ‘alahi wasallam”.

Dan pada hari Jum’at berikutnya orang badui tersebut (atau badui lainnya) bangkit dan berkata: “Wahai Rasulallah, bangunan-bangunan porak poranda dan tanaman tenggelam, maka berdo’alah kepada Allah untuk kami”. Maka Nabi shallallahu ‘alahi wasallam mengangkat kedua tangan beliau seraya berdoa: Ya Allah, turunkan hujan ini di sekitar kami ini dan jangan Engkau jadikan bencana bagi kami. Maka beliau tidak menunjuk dengan tangannya ke suatu arah kecuali langitpun terbuka cerah (dari awan yang menyelimuti).

Di antara bukti-bukti nyata, adalah mu’jizat para nabi:

Mu’jizat adalah peristiwa luar biasa di luar kemampuan manusia yang diberikan oleh Allah kepada para nabi sebagai pendukung (da’wah) mereka dan penguat kebenaran yang mereka ajarkan.

Maka mu’jizat merupakan argumen qath’i atas keberadaan Dzat yang mengutus mereka sebagai contoh adalah mu’jizat yang diberikan kepada Nabi Musa, yang di antaranya:

Ketika Nabi Musa beserta para pengikut yang beriman kepadanya dikejar oleh Fir’aun dan pasukannya hingga tiba di tepi laut, para pengikutnya berkata: “Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul” (Q.S. 26: 61)
Maksudnya: Sesungguhnya kita pasti disusul oleh Fir’aun dan pasukannya. Maka Nabi Musa ’alaihis salam menjawab:
“Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku”.(Q.S. 26: 62).
Lalu Allah mewahyukan kepada Musa:
“Pukullah lautan itu”. (Q.S. 26: 63)
Dan tatkala Musa memukul lautan itu dengan tongkatnya, lautan itu terbelah menjadi dua belas lorong kering; Nabi Musa dan para pengikutnya segera menyeberangi lautan hingga sampai di seberang dan Fir’aun bersama pasukannya membuntutinya hingga apabila mereka telah berada di tengah lautan, lautan itu kembali menyatu. Nabi Musa bersama para pengikutnya selamat, sementara Fir’aun dan pasukannya tenggelam di lautan.

Contoh lain: Mu’jizat yang diberikan kepada Nabi Isa ’alaihis salam. Dimana ia dapat menghidupkan kembali orang yang sudah mati dan mengeluarkan mereka dari kuburannya dengan izin dari Allah.

Demikian pula terpancarnya air bersih dari celah-celah jari Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alahi wasallam.

Dan demikian pula ketika orang-orang kafir Mekkah meminta suatu tanda bukti kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wasallam akan kebenaran kerasulannya, maka beliau menunjuk ke arah bulan dan bulan pun terbelah dua dan semua orang pada saat itu menyaksikannya.

Semua tanda-tanda (mu’jizat-mu’jizat) yang tampak dan diberikan Allah kepada para utusan-Nya sebagai pendukung kerasulan mereka, secara pasti menunjukkan adanya orang-orang yang diutus oleh Allah.

Di antara dalil yang menunjukkan keesaan Allah subhanahu wata’aala dan kewajiban beriman kepada-Nya adalah kejujuran para rasul-Nya:

Semua rasul (utusan Tuhan) itu datang dengan mendakwakan kenabian dirinya, dan dakwaan tersebut tidak akan dilakukan kecuali oleh manusia yang paling jujur atau manusia yang paling dusta. Para nabi adalah manusia yang paling jujur, sedangkan para pendakwa lain adalah manusia yang paling dusta, karena para nabi datang dengan membawa wahyu dari Allah subhanahu wata’aala dan mereka mendapat dukungan dari-Nya (berupa mu’jizat, diberi kemenangan dan ditinggikan derajatnya dan do’a mereka dikabulkan serta musuh-musuh mereka dibinasakan. Dan sekiranya mereka adalah orang-orang pendusta niscaya Allah membinasakan dan membiarkan mereka tanpa pertolongan dari-Nya dan malapetaka niscaya menimpa mereka sebagaimana lazimnya menimpa para pengaku menjadi nabi. Dengan demikian dapat diketahui bahwa dukungan Allah kepada para utusan-Nya adalah bukti kebenaran kerasulan mereka, dan kejujuran (kebenaran) mereka menunjukkan bahwasanya mereka diutus dari sisi Tuhan Yang Maha Haq, dan yang mengutus mereka Haq dan menyembah kepadanya adalah haq.

Termasuk dalil akan keesaan Allah adalah bimbingan-Nya kepada semua makhluk.

Allah telah memberikan petunjuk dan bimbingan kepada semua hewan (manusia dan binatang) kepada jalan menuju kebaikan kehidupan dan perihalnya. Cobalah perhatikan, siapakah yang membimbing bayi yang baru lahir untuk mengisap air susu ibunya? Siapakah yang telah membekalinya dengan pengeta-huan praktis tentang cara menetek, suatu praktik unik yang memerlukan gerakan sedotan berulang-ulang pada otot-otot wajah, lisan, leher dan gerakan-gerakan berkesinambungan dari rahang bawah serta bernafas dari hidung. Semua itu terlaksana dengan suatu petunjuk yang sempurna tanpa ilmu ataupun eksperimen? Maka siapa yang telah mengilhamkan hal tersebut? Dialah Allah “Yang telah mengaruniakan segala sesuatu kepada makhluk-Nya, kemudian memberinya petunjuk” (Q.S. 20: 50).

Siapakah yang memberikan kekuatan dan akal (daya fikir) kepada manusia dan mengajarkan kepada-nya apa yang belum pernah ia ketahui? Dialah Allah yang berhak disembah (diibadahi).

Adapun petunjuk (insting) yang diberikan kepada burung, binatang buas dan binatang melata lainnya sangat luar biasa. Perhatikanlah bahwa sesungguhnya Allah telah membekalinya dengan perbuatan-perbuatan unik lagi ajaib yang tidak dapat dilakukan oleh manusia.

Jika anda ingin mengetahui dalil (bukti)nya maka perhatikan kehidupan lebah madu, atau semut, atau burung dara atau lainnya, pasti anda akan menyaksikan hal-hal ajaib yang luar biasa yang dapat mengantarkan anda kepada keimanan kepada Tuhan (Rabb) yang sebenarnya. Tulisan ini tidak cukup untuk memuat uraian tentang hal tersebut.