Pertemuan dengan WajahBerseri-seri

Sesungguhnya pertemuan antar sesama muslim adalah sebaik-baik pertemuan di muka bumi. Di dalamnya terkandung rasa cinta, keikhlasan, kejujuran dan kegembiraan. Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam menekankan kepada kita akan pentingnya pertemuan. Beliau bersabda:
” Janganlah sedikitpun kamu menyepelekan kebaikan meski (hanya) dalam bentuk menjumpai saudaramu dengan wajah yang berseri-seri.” (HR. Muslim).

Syaikh Ahmad Ad Daumi mengata-kan, sesungguhnya muslim yang sebe-narnya itu jika berjumpa dengan saudaranya wajahnya akan berseri-seri, senyumannya tulus, pandangannya berbinar, kata-katanya bisa membuat keceriaan , ia merasa bahwa cintanya amatlah dalam serta persaudara-annya sangatlah kuat. Seakan-akan mereka adalah ranting-ranting cabang dari pohon yang satu. Mereka tak ubahnya satu jiwa dalam banyak tubuh. Inilah hakekat kehidupan dan rasa persaudaraan yang benar.

Urwah bin Zubair berkata, hendaklah kamu memiliki wajah yang selalu berseri-seri dan tutur kata yang halus maka kau akan dicintai manusia serta kamu termasuk orang yang telah menjadi penderma bagi mereka.
Al Fudhail bin Iyadh berkata, pandangan muslim pada saudaranya dengan wajah yang menggambarkan perasaan cinta dan kasih sayang adalah ibadah.

Dan bukankah wajah ceria menandakan apa yang ada di dalam hati? Bila hati telah menyatu maka kebaikan akan dengan mudahnya mengalir dari kedua belah pihak. Masing-masingpun menjadi bahagia.

Saling Memberi Nasehat

Memberi nasehat adalah bukti perhatian dan kecintaan seseorang kepada orang yang ia nasehati. Dalam komunitas masyarakat muslim, nasehat adalah kebutuhan muthlak, baik nasehat itu bersifat duniawi maupun ukhrawi. Bahkan dalam hadits riwayat Tamim Ad Dari disebutkan, Rasul ShallahuAlaihi wa Sallam bersabda:
“Agama adalah nasehat, kami bertanya untuk siapa wahai Rasulullah? Beliau menjawab, untuk Allah, RasulNya dan para pemimpin umat Islam serta orang-orang pada umumnya.” (HR. Muslim)

Dan diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu Anhu bahwasanya ia berkata: :
“Aku berbai’at kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk mendirikan shalat, membayar zakat dan memberi nasehat kepada setiap muslim.” (HR. Al Bukhari)

Dengan nasehat seorang muslim yang hendak melakukan kesalahan akan segera meninggal-kannya. Bila terlanjur melakukan-nya maka kesalahan yang dilakukannya tidak sampai menjadi kebiasaan.
Karena itu sering orang tidak bisa melupakan kebaikan kawan yang telah menasehatinya sehingga ia termasuk orang yang ta’at kepada Allah. Dan di situlah ia merasakan makna dan kebahagiaan pertemanan. Tetapi terkadang pula, nasehat bisa disikapi negatif, bahkan dibalas dengan kata-kata keji dan penganiayaan fisik. Untuk itu kita harus bersabar dalam menghadapi resiko memberi nasehat. (QS. 103:3)

Memenuhi Undangan

Sungguh amat membahagiakan bila kita mengundang kawan dan kolega dalam suatu acara yang kita selenggarakan kemudian mereka datang. Sebaliknya akan sangat kita sesalkan dan bahkan menyakitkan bila mereka menolak datang. Karena itu, memenuhi undangan berarti membahagiakan orang lain, mematri hakekat persaudaraan dan menambah kecintaan sesama muslim. Di samping, ia juga pertanda kemurnian jiwa.

Untuk itu, ajaran Islam sangat menekankan pentingnya masalah ini. Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah Radhiallahu Anhu, bah-wasanya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sal-lam bersabda: “Bila di anta-ra kamu diun-dang makan maka penuhilah, bila menghendaki (untuk makan) maka ma-kanlah dan bila menghen-daki (untuk tidak makan) maka tinggal-kanlah (janganlah kamu makan).” (HR.Muslim)
Bahkan Ibnu Umar Radhiallahu meriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa tidak memenuhi undangan (yang dibenarkan syara’) sebagai salah satu bentuk kemaksiatan kepada Allah dan RasulNya (HR. Muslim).

Karena itu, jika tidak ada udzur (yang dibenarkan syara’) hendaknya kita menghadiri undangan. Memenuhi undang-an bisa menambah rasa cinta, kasih sayang dan ketulusan jiwa di antara sesama. Juga dapat bermanfaat untuk saling mengenal dengan sesama undangan lain.

Menjenguk Orang Sakit

Di antara hak seorang muslim atas muslim lainnya -seperti ditegaskan dalam hadits riwayat Muslim- adalah bila ia sakit maka ia berhak untuk dijenguk. Hak adalah sesuatu yang harus dimiliki. Sebagaimana orang fakir miskin berhak atas sebagian harta orang-orang kaya. Maka orang sakit mesti dijenguk, sehingga mendapatkan hak-nya. Karena itu, akan sangat mulia bila lembaga-lembaga keagamaan atau sosial memperhatikan orang-orang sakit terutama dari kalangan fakir miskin dengan misalnya memberikan santunan obat-obatan, makanan bahkan membebaskannya dari biaya rumah sakit. Ada baiknya, hal ini diorganisir secara baik, ada anggota-anggota, para donatur dan giliran menjenguk secara berkelompok ke rumah sakit-rumah sakit yang ditentukan.

Bagi si sakit, dijenguk laksana mene-mukan oase (sumber air) di tengah gurun sahara kering. Rasa sakitnya akan sedikit terobati, apalagi bila yang menjenguk pandai menghibur dan memberikan harapan serta nasehat. Karena itu tak tanggung-tanggung, Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam mengumpamakan orang yang menjenguk si sakit dengan sabdanya:
“Sesungguhnya seseorang itu bila menjenguk saudaranya yang sakit senantiasa dalam khurfatul jannah sampai ia pulang. Ditanyakan, wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan khurfatul jannah itu? Nabi menjawab, memetik buah Surga yang telah matang.” (HR. Muslim)
Begitulah, menjenguk orang sakit merupakan perbuatan yang dapat membahagiakan hati sesama muslim, dapat meringankan beban yang dideritanya dan mengingatkannya untuk tetap bersabar dengan ujian yang sedang dialaminya.

Tidak Menjadi BebanOrang Lain

Termasuk yang dapat memba-hagiakan hati sesama muslim ialah tidak menjadi beban baginya dalam urusan apapun.
Karena itu, dalam hubungan antar sesama hendaknya kita selalu mengusahakan untuk bisa menolong dan membantu orang lain. Bukan sebaliknya, selalu menghujaninya dengan berbagai permintaan dan hal-hal yang membuatnya merasa sempit, tertekan dan merugi. Selalu menggantungkan kepada orang lain dan menjadi beban baginya adalah perbuatan tidak terpuji, bahkan lambat laun akan merusak hubungan kita dengan sesama.

Para salafus shaleh sangat menjaga diri untuk tidak merepotkan apalagi menjadi beban orang lain. Suatu ketika, Abu Bakar Radhiallahu Anhu sedang berada di atas untanya, tiba-tiba cambuknya terjatuh. Sahabat yang berada di bawahnya segera hendak mengambilkannya tetapi Abu Bakar mencegah. Ia kemudian turun dan mengambilnya sendiri karena tidak mau membuat repot orang lain.

Karena itu, Al Fudhail menasehatkan agar dalam bertemu dan mengunjungi saudara hendaknya kita tidak memberikan PR (pekerjaan rumah) baginya dalam suatu masalah. Maka tepat sekali ungkapan yang terkenal di kalangan orang-orang zuhud, janganlah kau ingini apa yang dimiliki orang lain, niscaya mereka menyayangimu. Kasih sayang dan kebahagiaan akan tercipta manakala kita senang menolong dan tak suka menjadi beban bagi orang lain.

Membayarkan HutangOrang Lain

Hutang bisa membuat hati resah-gelisah. Karena itu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memohon perlindungan kepada Allah agar dibebaskan dari lilitan hutang, dalam do’anya:
“Ya Allah sesungguhnya aku meminta perlindungan kepadaMu dari kekhawatir-an, kesusahan, kemiskinan, ketakutan, terabaikannya hutang dan tekanan orang lain.” (Muttafaq Alaih)

Lepas dari hutang berarti kebahagiaan dan ketenangan hidup. Maka termasuk membahagiakan orang lain jika kita membayarkan hutang mereka.

Dalam kehidupan orang-orang shaleh dikisahkan, Masyruq pernah mempunyai hutang yang sangat banyak. Tetapi secara diam-diam Khaitsamah membayarkan dan melunasi hutang-hutang Masyruq sehingga ia terbebas dari lilitan hutang. Dan pada saat lain, Khaitsamah juga mengalami lilitan hutang yang amat banyak. Secara diam-diam pula Masyruq yang sudah membaik perekonomiannya melunasi seluruh hutang saudaranya tersebut.

Dengan membayarkan hutang orang lain berarti kita memudahkan kehidupannya juga keluarganya. Kita pun dengan demikian -insya’allah – akan dimudahkan Allah dalam kehidupan kita, baik di duniamaupun di akherat.

Mendo’akan Orang Islam

Di antara hal yang harus dimiliki oleh setiap muslim adalah rasa peduli kepada sesamanya dengan selalu mendo’akan mereka, baik yang masih hidup maupun mereka yang sudah meninggal, seperti berdo’a untuk dirinya sendiri. Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
“Doanya seorang saudara muslim untuk saudaranya muslim yang lain tanpa sepengetahuannya adalah tidak ditolak.” (HR. Al Bazzar dengan sanad shahih)

Abu Darda’ berkata, sesungguhnya aku benar-benar mendoakan 70 orang dalam satu sujudku, aku sebut nama mereka satu per satu.
Imam Muhammad Al Asfahani suatu kali pernah ditanya, siapakah saudara yang baik itu? Beliau menjawab, yaitu saudara yang sedih atas kepergianmu saat keluarga-mu yang lain membagi-bagikan dan bersenang-senang dengan harta warisanmu.. Ia berdoa untukmu di kegelapan malam, sedang dirimu berada dalam tanah basah. Marilah memperbanyak do’a untuk saudara-saudara kita sesama muslim. Bahkan meskipun mereka telah meninggal dunia.

Sesungguhnya masih banyak kebaikan yang dapat kita lakukan sehingga orang lain menjadi bahagia. Ukurannya adalah diri kita sendiri. Bila kita senang dengan suatu perlakuan -dan tentu ia tidak dalam hal maksiat kepada Allah- maka pasti orang lain akan senang pula dengan perlakuan yang sama. Itulah yang semestinya terus menerus kita lakukan sehingga dengan demikian kita menjadi penabur kebaikan dan kebahagiaan bagi orang lain di muka bumi ini. Semoga.

Majdi As Sayyid, bit tasharruf waz ziyadah