Kami meriwayatkan dalam kitab at-Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

رَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ.

‘Terhinalah seseorang ketika namaku disebut, namun ia tidak mengucapkan shalawat kepadaku’.”

Takhrij al-Hadits:
Hadits Shahih:
Diriwayatkan oleh Ahmad 2/254; at-Tirmidzi, Kitab ad-Da’awaat, no. 101, Raghima anfu rajul, 5/550, no. 3545; Ibnu Hibban, no. 908; al-Hakim 1/549 dan al-Baghawi, no. 689: dari dua jalur yang kuat, dari Abdurrahman bin Ishaq, dari Sa’id al-Maqburi, dari Abu Hurairah dengan hadits di atas.
Ini sanad hasan karena Ibnu Ishaq. Ia shaduq termasuk perawi Muslim. Hadits ini memiliki jalur lainnya yang diriwayatkan Ibnu Khuzaimah, no. 1888: menuturkan kepada kami ar-Rabi’ bin Sulaiman, menuturkan kepada kami Ibnu Wahb, menuturkan kepadaku Sulaiman bin Bilal, dari Katsir, dari al-Walid bin Rabbah, dari Abu Hurairah dengan hadits di atas. Ini sanad yang La ba’sa bihi (tidak mengapa) karena Katsir bin Zaid. Ia diperbincangkan, namun haditsnya baik. Hadits ini shahih dengan semua jalurnya, yang telah dihasankan oleh at-Tirmidzi dan disetujui oleh al-Baghawi, al-Mundziri dan an-Nawawi, serta dishahihkan oleh al-Asqalani dan al-Albani

At-Tirmidzi menilainya sebagai hadits hasan.
Kami meriwayatkan dalam kitab Ibn as-Sunni dengan sanad jayyid dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ، فَلْيُصَلِّ عَلَيَّ، فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ مَرَّةً، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ عَشْرًا.

‘Barangsiapa yang namaku disebut di sisinya, maka hendaklah ia bershalawat kepadaku. Karena barangsiapa yang bershalawat kepadaku sekali, maka Allah subhanahu wata’ala bershalawat (mencurahkan rahmat) kepadanya sepuluh kali’.

Takhrij al-Hadits:
Hadits Shahih:
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, no. 31777; Ahmad 3/102 dan 261; al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, no. 643; an-Nasa’i dalam as-Sunan, no. 13 -As-Sahw, Kitab Al-Fadhl fi ash-Shalah ala an-Nabi, 3/50, no. 1296 dan al-Yaum wa al-Lailah, no. 62, 364, 365, dan 366; Abu Ya’la, no. 3681; Ibnu Hibban, no. 904; al-Hakim 1/551; al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab, no. 1554; al-Baghawi dalam Syarh as-Sunnah, no. 1365: dari berbagai jalur, dari Yunus bin Abi Ishaq, dari Buraid bin Abi Maryam, dari Anas dengan hadits di atas.
Ini adalah sanad hasan karena Yunus. Ia diperbincangkan, namun tidak turun ke derajat dhaif. Sementara Makhlad bin Yazid menyelisihi jamaah dalam riwayat an-Nasa’i di dalam al-Yaum wa al-Lailah, no. 63, karena ia meriwayatkannya dari Yunus, dari Buraid, dari al-Hasan, Anas menceritakan kepada kami dengan hadits tersebut. Ini juga hasan, yang menambah bersambungnya sanad-sanad tersebut. Bisa dinyatakan bahwa yang menjadi sandaran ialah yang pertama, karena sekelompok perawi yang tsiqah bersepakat atasnya. Bisa juga dikatakan, Yunus mendengarnya dari dua sisi tersebut, dan keduanya hasan. Inilah yang lebih baik, dan Ibnul Qayyim cenderung kepadanya. Hadits ini memiliki jalur ketiga dalam riwayat ath-Thayalisi, no. 2122; an-Nasa’i dalam al-Yaum wa al-Lailah, no. 61; Abu Ya’la, no. 4002; ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath, no. 2788 dan 4955; Ibn as-Sunni, no. 380; Abu Nu’aim dalam al-Hilyah 4/347: dari berbagai jalur, dari Abu Ishaq, dari Anas dengan hadits tersebut. Abu Ishaq telah meriwayatkan dengan “dari” dan bersamaan dengan itu dia adalah seorang mudallis, dan penyimakannya dari Anas diragukan. Ada kemungkinan ia mendengarnya dari Buraid lalu ia melakukan tadlis, sebab Buraid adalah termasuk syaikhnya. Namun yang pasti, jika riwayat ini bukan riwayat tersendiri, maka ia menjadi muttabi’ yang bermanfaat bagi Yunus yang dapat mengangkat derajat haditsnya menjadi shahih. Dan hadits ini telah dishahihkan oleh Ibnu Hibban, al-Hakim, an-Nawawi, adz-Dzahabi, Ibnul Qayyim, az-Zaila’i dan al-Albani.

Kami meriwayatkan di dalamnya dengan sanad dhaif, dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ فَقَدْ شَقِيَ.

‘Barangsiapa yang namaku disebut di sisinya, lalu ia tidak mengucapkan shalawat kepadaKu, maka sungguh ia telah celaka’.”

Takhrij al-Hadits:
Hadits Shahih:
Diriwayatkan oleh Ibn as-Sunni, no. 381; Rauh bin Abdul Majid telah mengabarkan kepada kami, Sahl bin Zanjalah menceritakan kepada kami; Abu Zuhair Abdurahman bin Maghra’ menceritakan kepada kami, dari al-Fadhl bin Mubasysyir, aku pernah mendengar Jabir dengan hadits tersebut.
Ini adalah sanad dhaif. Rauh bin Abdul Majid, tidak saya temukan biografinya. Ibnu Maghra’, padanya terdapat kelemahan, dan Ibnu Mubasysyir memiliki kelemahan. Tetapi hadits ini memiliki jalur lainnya pada riwayat al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, no. 644; Abdurrahman bin Syaibah telah menuturkan kepada kami, Abdullah bin Nafi’ ash-Sha’igh telah menceritakan kepadaku, dari Isham bin Zaid – dan Ibnu Syaibah memujinya dengan kebaikan – dari Muhammad bin al-Munkadir, dari Jabir dengan hadits tersebut dalam redaksi yang cukup panjang. Ini dhaif juga karena ada Isham bin Zaid, sebab ia tidak dikenal. Al-Asqalani mengatakan dalam Amali al-Adzkar 3/322 -Futuhat, “Hadits ini memiliki jalur lainnya yang dikeluarkan oleh at-Thabrani secara ringkas.” Aku katakan, secara zhahirnya, riwayat tersebut bukan ini. Namun yang pasti, hadits ini memiliki beberapa syahid dari segolongan sahabat. Ibnul Qayyim mengatakan dalam Jala’ al-Afham, hal. 195, “Pokok hadits ini telah diriwayatkan dari hadits Abu Hurairah, Ka’ab bin Ujrah, Ibnu Abbas, Anas, Malik bin al-Huwairits, Abdullah bin al-Harits bin Juz’ az-Zubaidi, dan Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhum.” Dengan redaksi ringkas. Berdasarkan hal itu, meskipun hadits ini tidak shahih berdasarkan semua jalur periwayatannya, namun ia shahih dengan sejumlah syahidnya. Ibnul Qayyim dan al-Asqalani cenderung untuk menguatkannya. Sementara as-Sakhawi mengatakan, “hadits hasan”, dan al-Albani mengatakan, “shahih”.

Kami meriwayatkan dalam kitab at-Tirmidzi dari Ali radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اَلْبَخِيْلُ مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ.

‘Orang yang bakhil adalah orang yang apabila namaku disebut di sisinya, maka ia tidak bershalawat kepadaku’.”

Takhrij al-Hadits:
Hadits Shahih:
Dari musnad al-Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhuma. Hadits ini berporos pada Umarah bin Ghaziyyah. Hadits yang diriwayatkan darinya berbeda dalam tiga jalur:
Pertama, yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam at-Tarikh 5/148; an-Nasa’i dalam al-Yaum wa al-Lailah, no. 57; al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab, no. 1566: dari jalan ad-Darawardi, darinya, dari Abdullah bin Ali bin al-Husain, dari Ali bin Abi Thalib dengan hadits tersebut secara marfu’.

Kedua, yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, Kitab ad-Da’awat, no. 101 –Raghima anfu rajul, 5/551, no. 3546: dari jalur Abu Amir al-Aqadi, dari Sulaiman bin Bilal, dari Umarah bin Ghaziyyah, dari Abdullah bin Ali bin al-Husain, dari ayahnya, dari al-Husain bin Ali, dari Ali bin Abi Thalib dengan hadits tersebut secara marfu’..

Ketiga, yang diriwayatkan oleh Ahmad 1/201; al-Bukhari dalam at-Tarikh 5/148; an-Nasa’i dalam al-Yaum wa al-Lailah, no. 55 dan 56; Abu Ya’la, no. 6776; Ibnu Hibban, no. 909; ath-Thabrani 3/127, no. 2885; Ibn as-Sunni, no. 382; Ibnu Adi 3/906; al-Hakim 1/549; al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab, no. 1567 dan 1568: dari beberapa jalur, dari Sulaiman bin Bilal, dari Umarah bin Ghaziyyah, dari Abdullah bin Ali bin al-Husain, dari ayahnya, dari kakeknya dan terkadang disebutkan: dari Ali bin al-Husain dari ayahnya dengan hadits tersebut secara marfu’. Jadi mereka menjadikan hadits ini dari musnad al-Husain radhiyallahu ‘anhu.
Adapun jalur yang pertama adalah yang paling lemah. Sebab ad-Darawardi meriwayatkannya sendirian, dan ia termasuk orang yang suka melakukan kesalahan, sehingga riwayatnya dilemahkan. Kemudian dia telah memursalkannya, maka perawi tsiqah yang meriwayatkan secara bersambung lebih didahulukan. Sedangkan jalur kedua, Abu Amir al-Aqdi meriwayatkannya sendirian -namun ia tsiqah termasuk perawi Syaikhain- di salah satu pernyataannya. Kemudian ia meriwayatkannya berdasarkan riwayat jamaah pada jalur yang ketiga, bahkan lafazhnya menegaskan bahwa hadits ini berasal dari sanad al-Husain. Hal semacam ini melemahkan pendapat yang menyendiri dan menegaskan bahwa keraguan itu berasal dari tindakan para perawi dan pemahaman mereka, bukan darinya. Ini dikuatkan oleh jalur ketiga, yaitu apa yang ditegaskan oleh Imam Ahmad, Abu Ya’la, Ibnu Hibban, ath-Thabrani, ad-Daruquthni, al-Mundziri dan selainnya. Kemudian jalur ketiga ini para perawinya tsiqah dan dijadikan hujjah dalam ash-Shahih. Kecuali Abdullah bin Ali, maka jamaah telah meriwayatkan darinya, dinilai tsiqah oleh Ibnu Hibban, dan dishahihkan oleh at-Timidzi dan al-Hakim. Adz-Dzahabi dalam al-Kasyif mengatakan, “tsiqah”. Dan ia memang demikian, insya Allah. Maka hadits tersebut, berdasarkan hal ini, tidak turun dari derajat hasan. Karena itu Ibnu Hibban berkata, “Ini adalah perkara paling kentara yang diriwayatkan dari al-Husain bin Ali Al-Husain radhiyallahu ‘anhu, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, berusia tujuh tahun kurang sebulan. Karena ia dilahirkan pada malam Sya’ban tahun keempat hijrah. Anak usia enam tahun lebih sebulan, jika bahasanya adalah bahasa Arab, maka ia sudah mampu menghafal kalimat demi kalimat.” Aku katakan, “Katakanlah hadits ini mursal, namun mursal yang dilakukan para sahabat muda bisa diterima dan dinilai bersambung menurut jumhur ulama, dan tidak mustahil bila al-Husain telah mengambil hadits tersebut dari ayahnya radhiyallahu ‘anhuma.”
Namun yang pasti, hadits ini memiliki banyak syahid yang dapat menjadikannya shahih, di antaranya hadits Abu Dzar yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Ashim dalam Fadhl ash-Shalah, no. 29; al-Qadhi Isma’il dalam Fadhl ash-Shalah, no. 37: dari dua jalur yang menguatkan satu sama lain. Dan yang lainnya, mursal al-Hasan yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah, no. 8701; al-Qadhi Isma’il, no. 38 dan 39: dari dua jalur yang salah satunya shahih. Jadi, hadits ini sangat shahih dengan hal ini. Apalagi hadits ini telah dishahihkan oleh at-Tirmidzi, al-Hakim, al-Mundziri, adz-Dzahabi, al-Asqalani dan al-Albani.

At-Tirmidzi menilai sebagai hadits hasan shahih.
Kami meriwayatkannya dalam kitab an-Nasa’i dari riwayat al-Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Imam Abu Isa at-Tirmidzi mengatakan berkenaan dengan hadits ini, “Diriwayatkan dari sebagian ulama, ia mengatakan, “Jika seseorang bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sekali dalam suatu majelis, maka itu sudah mencukupi selama ia masih dalam majelis.” Wallahu a’lam!!

(Dikutip dari kitab ‘ENSIKLOPEDIA DZIKIR DAN DO’A AL-IMAM AN-NAWAWI’ Bab: Bab Perintah Bagi Orang Yang Disebutkan Nama Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam Di Sisinya Untuk Bershalawat Kepada Beliau’. Penerbit: PUSTAKA SAHIFA. Oleh: Muhammad Ruliyandi Abu Nabiel)