مَلَكْتَ فَأَسْجِحْ

“Kamu berkuasa maka maafkanlah”

Peribahasan ini diucapkan kepada orang yang mampu membalas orang yang menzhaliminya agar dia memaafkan.
Peribahasa ini berasal dari sabda Nabi saw kepada Salamah bin al-Akwa’ atas kepahlawanannya dalam perang Ghabah atau Dzi Qarad.
Salamah berkata, Rasulullah saw mengutus pembantunya Rabah dengan membawa beberapa unta, aku menyertainya dengan berkuda milik Abu Thalhah. Di pagi hari tiba-tiba Abdur Rahman al-Fazari menyerang unta-unta tersebut, dia mengambil semuanya dan membunuh penggembalanya. Aku berkata, “Wahai Rabah, bawalah kuda ini, pulangkan ia kepada Abu Thalhah dan beri tahu Rasulullah”. Kemudian aku aku berdiri di atas sebuah bukit, menghadap Madinah dan berseru, “Hai yang bangun di pagi hari tolooong, kemudian saya mengejar mereka dan menyerang mereka dengan anak panah seraya melantunkan syair,

Aku putra al-Akwa’, hari ini hari kebebasan

Demi Allah aku terus menyerang dan melukai kuda mereka, jika ada penunggang kuda yang kembali kepadaku, aku duduk di bawah pohon kemudian menyerangnya dan melukai kudanya, sehingga ketika mereka berada di cela gunung yang sempit aku naik ke puncaknya dan menghujani mereka dengan batu, aku terus membuntuti mereka sambil melempari mereka dengan batu-batuan sehingga mereka meninggalkan unta-unta rasulullah, tiga puluh pakaian dan tiga puluh tombak untuk mempermudah pelarian, dan aku beri tanda pada apa yang mereka tinggalkan dengan batu sehingga dikenali oleh Rasulullah dan para sahabatnya.

Setelah mereka sampai di sebuah cela di gunung mereka duduk-duduk makan siang, aku berada di puncak gunung tersebut, lalu ada empat orang yang naik ke tempatku, aku berkata, ‘apakah kalian mengenaliku? Aku Salamah bin al-Akwa’, jika aku mengejar salah seorang dari kalian pasti aku mendapatkannya, namun jika kalian yang mengejarku kalian tidak bisa menangkapku.’ Maka keempat orang itu mundur. Aku tetap di tempat tersebut sampai aku melihat pasukan berkuda Rasulullah melesat di antara pepohonan, yang pertama adalah Akhram disusul Abu Qatadah dan berikutnya Miqdad bin al-Aswad.

Akhram berhadapan dengan Abdur Rahman, dia menghadang laju kuda Abdur Rahman tetapi Abdur Rahman berhasil membunuhnya, lalu dia membalikkan kudanya dan berhadapan dengan Abu Qatadah dan Abu Qatadah mengalahkannya, sehingga para pengikutnya melarikan diri. Kami terus mengejar mereka sementara aku berlari dengan kedua kakiku. Sebelum matahari tenggelam mereka sampai di mata air yang disebut Dzu Qarad, mereka ingin minum karena kehausan, tetapi aku mengusir mereka, sehingga mereka tidak minum setetes pun. Sampai tiba waktu Isya’ Rasulullah menyusulku. Aku berkata, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya mereka sedang kehausan, jika engkau izinkan aku bawa seratus orang dan aku akan merebut tunggangan mereka dan membawa mereka kepadamu.’ Rasulullah bersabda, ‘Wahai Ibnul Akwa’ kamu berkuasa maka maafkanlah.’ Rasulullah bersabda, ‘Sekarang mereka sedang makan di Ghathafan.’

Rasulullah bersabda, ‘Pasukan berkuda terbaik pada hari ini adalah Abu Qatadah, dan pasukan pejalan kaki terbaik adalah Salamah.’ Kemudian beliau memberiku dua bagian, bagian pasukan berkuda dan bagian pasukan pejalan kaki, kemudian beliau mendudukkanku di belakang untanya pulang menuju Madinah. (Ar-Rahiqul Makhtum, Shafiyyurrahman al-Mubarakfury).


لَحْمُ جَمَلِ غَثٍّ عَلَى رَأْسِ جَبَلٍ


Daging unta kurus di puncak gunung

Peribahasa ini berasal dari ucapan Aisyah istri Rasulullah saw dalam hadits yang dikenal dengan hadits Ummu Zar’ yang diriwayatkan oleh al-Bukhari.

Aisyah istri Nabi saw berkata, ada sebelas orang istri berkumpul, mereka sepakat dan berjanji tidak menutup-nutupi rahasia suami masing-masing sedikit pun. Wanita pertama berkata, “Suamiku adalah daging unta kurus di puncak gunung. Gunung itu tidak mudah untuk didaki dan dagingnya tidak gemuk sehingga ia diambil.”

زَوْجِي لَحْمُ جَمَلِ غَثِّ عَلَى رَأْسِ جَبَلٍ لاَ سَهْلٍ فَيُرْ تَقَى وَلاَ سَمِيْنٍ فَيُنْتَقَلَ

Peribahasa ini diucapkan untuk sesuatu yang tidak berharga tetapi untuk mendapatkannya diperlukan jerih payah yang melelahkan.


كَيْفَ أُعَاوِدُكَ وهَذَا أَثَرُ فَأْسِكَ


Bagaimana aku mempercayaimu sementara ini adalah bekas kapakmu

Peribahasa ini diucapkan kepada seseorang agar berhati-hati dari keburukan orang lain yang telah melanggar janji.

Asal-usul peribahasa ini adalah kisah khayalan dari negeri Arab. Ada dua orang bersaudara yang tinggal di daerah dengan tanah kering kerontang. Sementara tidak jauh dari tempat mereka berdua terdapat lembah subur dan hijau yang dijaga seekor ular besar. Salah seorang dari kedua bersaudara tersebut turun ke lembah untuk menggembala tetapi penunggunya marah dan memangsanya, dia mati. Mengetahui saudaranya mati dimangsa ular, saudara yang masih hidup berjanji membalas dendam, ular meminta maaf dan berjanji membiarkan saudara tersebut hidup di lembah itu dengan kesuburannya, saudara itu menerima dan keduanya bersepakat atas itu.

Tetapi saudara tersebut tidak bisa melupakan kematian saudaranya. Dia tergoda untuk balas dendam. Akhirnya dia mencabut kapaknya, dia ayunkan ke kepala ular tetapi meleset dan meninggalkan bekas di lubang ular. Ular pun marah dan berjanji membalas. Saudara tersebut khawatir dan takut, dia meminta maaf dan ular mengucapkan peribahasa di atas. ( Nushush Adabiyah, lis Sanah Tsaniyah Mutawassithah)