Lelaki berinisial “A” adalah seorang yang berusia hampir 50 tahunan. Dia mempunyai sepuluh anak. Di antara mereka ada laki-laki dan perempuan. Dia teraniaya oleh pekerjaan dan menderita sakit. Konon, dia bisa menerima, merasa tenang dan rela dengan apa yang menimpanya. Dia tahu bahwa setelah susah ada senang dan setelah kesukaran ada kemudahan.

Dia sangat sedih dan selalu berduka akan kea-daan putri sulungnya, Nada, yang paras kecantikannya bak embun pagi. Dia hanya berharap bisa melihat hari di mana putrinya menjadi mempelai di rumahnya sebe-lum dia dijemput oleh kematian.

Nada, adalah seorang guru di salah satu pemu-kiman yang berjarak 200 Km dari tempat tinggalnya. Dia berpendapat bahwa ilmu adalah suatu risalah, dan bahwa ilmu adalah nilai tinggi yang bisa membantu untuk menyulut kemajuan, peradaban dan kebuda-yaan bagi generasi ini.

Dia cukup bahagia dengan profesinya itu meski sangat berat. Sehari-hari, dia sangat menderita dan mengeluh, tapi dia tetap menahan dan menjalaninya dengan penuh ketabahan. Cukuplah dia membantu untuk menghilangkan beban bapaknya dengan peran aktifnya dalam mengatur urusan rumah tangga setelah bapaknya menderita sakit dan hanya terbaring di atas ranjang.

Pernah dia kebingungan dan merasa pedih atas semua yang bergumul di sekitarnya, dan sebagai ganti daripada dia bercermin di depan kaca untuk meman-dangi dirinya, dia pun melihat kepada orang-orang di sekitarnya. Seketika, dia pun merasa sedih atas apa yang dialami orang tua dan saudara-saudaranya yang masih kecil.

Tanggung jawab telah membebankan suatu kewa-jiban bagi dirinya, dan memposisikannya dalam hem-busan angin. Bisa saja dia turun di tengah jalanan dan menjadi bahan tertawaan semua orang. Atau, menu-bruk dan melawan arus dengan segala kekerasannya, hingga dia bisa menyelamatkan bapak dan keluar-ganya dari kebutuhan. Dengan terpaksa, akhirnya dia memilih jalan yang terakhir, sedang di hadapannya tidak ada peluang untuk menentukan pilihan. Dia be-kerja dan merasakan kesengsaraan sepanjang bulan untuk mencukupi kebutuhan keluarga dengan giat dan penuh keluh kesah.

Dia menampakkan ketenangannya di mata para siswinya yang masih kecil yang menggantinya dengan senyuman yang indah dan kejenakaan yang suci untuk bisa melupakan sebagian kesedihannya. Setiap hari skenario maut ini terus berulang. Keluh kesah yang begitu lama bersama bus yang tidak menghiraukan dasar-dasar keselamatan yang paling sederhana. Supir bus ini orang asing yang memusuhi bahasa Arab de-ngan semua keindahannya, sehingga dia tidak menge-tahui sedikit pun tentangnya… dan sampai-sampai bangunan sekolah pun sudah usang dan membu-tuhkan banyak bantuan dan lain sebagainya.

Sehabis shalat Zhuhur, roda bus pun sekali lagi berputar, dan dia pulang ke rumah dalam kondisi lelah dan penat.

Pada suatu malam, dia merasa takut dan cemas. Dia tidak bisa menjelaskan sebabnya, juga keresahan dan kegelisahan yang menimpanya yang membuatnya tak bisa tidur semalaman. Ibunya mencemaskan dirinya dan sang bapak pun menangis di hadapannya setelah memintanya untuk tidak pergi pada hari itu, namun dia menolak. Para siswi sedang dalam masa ujian, dan dia harus berangkat kerja. Jika tidak, maka petaka bisa jadi akan menimpanya. Tidak ada alasan untuk tidak berangkat kerja pada pagi hari, meski dia sedang di-rundung kegelisahan dan kecemasan. Maka, dia pun menumpang bus yang membawanya berkeliling kota untuk menjemput teman-teman wanitanya untuk kemudian melanjutkan perjalanan yang cukup berat dan melelahkan.

Bus ini berukuran kecil, tapi diisi penumpang yang melampaui kapasitasnya. Kecepatan pun sema-kin bertambah meski jalanan banyak lobang dan polisi tidur. Semuanya terombang-ambing seperti bola dari satu tempat ke tempat lainnya, dan seolah-olah mereka sedang dalam kompetisi sepak bola. Semuanya men-jerit dan menyuarakan, “Hai supir, takutlah kepada Allah demi nyawa manusia…” Sang supir meng-anggukkan kepalanya menampakkan simbol kema-rahan, untuk bersikeras dalam aturannya yang telah ditetapkan dan dia merasa bangga dengan apa yang diperbuatnya.

Jalanan cukup sempit, dan butuh kehati-hatian dan kewaspadaan. Namun, supir tetap saja terburu nafsu dan kurang perhitungan. Pada salah satu tu-runan jalan, tiba-tiba dia dikejutkan oleh sebuah mobil yang datang bagaikan angin. Dengan cepat dia pun menekan rem agar bus berhenti dan dia bisa menye-lamatkan dirinya beserta para penumpangnya. Akan tetapi, kesigapan tidak bisa mencegah takdir. Maka, bus pun menubruk mobil yang datang berlawanan arah itu, dan seolah-olah keduanya bertarung dalam arena baku hantam, sehingga bus pun terbagi menjadi dua bagian. Sedang nasib seluruh penumpangnya ada yang seketika tewas, dan ada yang dalam kondisi se-karat di rumah sakit. Kondisi semuanya seperti apa yang selalu diucapkan oleh orang-orang Mesir dalam berbagai kejadian serupa: “di dalam suatu berita” (fi khabari kana). Yaitu, ungkapan berbau ejekan sewaktu terjadi tragedi yang mengenaskan. Tiada daya dan kekuatan kecuali atas pertolongan Allah SWT.
(SUMBER: SERIAL KISAH TELADAN KARYA MUHAMMAD BIN SHALIH AL-QAHTHANI, PENERBIT DARUL HAQ, 021-4701616)