Dialog Kedua : Bersama Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan
Syaikh Shalih al-Fauzan [Majalah Syarq Ausath, edisi no.64, 65, 5466 tanggal 13-15/11/1993. Silakan lihat biografi Syaikh bab selanjutnya]

  • Seluruh amalan tidak ada gunanya tanpa pembenahan aqidah.

  • Berpecah belah bukan merupakan ajaran Dienul Islam.

  • Berbilang-bilang jama’ah bukan termasuk ajaran Islam, sebab Dienul Islam memerintahkan kita berada dalam satu jama’ah.

  • Berbilang-bilang dan beragam jama’ah adalah makar setan dari jenis jin dan manusia terhadap umat ini.

  • Bai’at tidak berhak diberikan kecuali kepada penguasa kaum muslimin yang sah.

  • Kaum muslimin yang berada dalam satu naungan pemerintahan yang berdaulat wajib memberikan bai’at hanya kepada satu orang pemimpin saja tidak dibenarkan adanya bai’at-bai’at lainnya.

  • Jika ada orang yang berusaha membangkang pemerintahan yang sah dan berusaha memecah belah persatuan kaum muslimin, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan waliyul amri beserta kaum muslimin untuk memerangi pembangkang tersebut.

  • Pedoman kaum muslimin dalam menghadapi perbedaan pendapat adalah merujuk kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya serta petunjuk para Salafus Shalih, baik dalam persoalan manhaj, dien dan bai’at.

  • Dakwah kepada agama Allah merupakan kewajiban. Dan memecah belah kaum muslimin bukan merupakan pedoman dakwah. Masing-masing golongan mengklaim dirinyalah yang benar dan selain mereka adalah salah. Sebagaimana kondisi yang dapat kita saksikan pada hari ini.

  • Mendirikan jama’ah bukanlah termasuk perkara asasi dalam dakwah. Akan tetapi siapa saja yang memiliki ilmu dan hikmah serta ma’rifah hendaklah bangkit berdakwah kepada agama Allah meskipun cuma seorang diri, itulah perkara asasi dalam dakwah.

  • Yang penting dan wajib adalah istiqamah tanpa disertai sikap berlebih-lebihan dan menyepelekan.

  • Dienul Islam melarang sikap arogan dalam berdakwah.

  • Kekerasan yang dilawan dengan kekerasan justru akan menghasilkan sesuatu bertolak belakang dengan yang diharapkan.

  • Kekerasan dan sikap arogan memberikan dampak negatif kepada kaum muslimin.

  • Yang dituntut adalah berdakwah dengan cara yang penuh hikmah dan dengan cara yang terbaik serta bersikap lembut terhadap para mad’u (yang didakwahi).

  • Bersikap arogan, kasar dan kata-kata kotor terhadap para mad’u bukan termasuk ajaran Dienul Islam.

  • Kewajiban kaum muslimin adalah berdakwah menurut manhaj dakwah para rasul dan sejalan dengan bimbingan ayat-ayat Qur’ani.

  • Vonis kafir memiliki batasan-batasan syar’i yang perlu diperhatikan.

  • Era jahiliyah telah berakhir dengan diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak dibenarkan menggunakan istilah jahiliyah secara umum.

  • Tidaklah semua orang berhak memvonis kafir atau berbicara tentang vonis kafir terhadap kelompok atau individu tertentu.

  • Masalah takfir (pengkafiran) merupakan masalah yang sangat berbahaya, tidak semua orang berhak berkomentar dalam masalah ini terhadap orang lain. Masalah tersebut merupakan hak mahkamah syar’i dan ulama yang matang dalam keilmuannya.

  • Pedoman kita dalam menyikapi penguasa muslim adalah patuh dan taat dalam perkara-perkara ma’ruf.

  • Jika penguasa memerintahkan kepada perkara maksiat maka tidak wajib ditaati. Yaitu tidak boleh menuruti perkara maksiat yang diperintahkannya, ketaatan hanya boleh diberikan dalam perkara-perkara ma’ruf yang bukan maksiat.

  • Kaum muslimin diperintahkan berjihad melawan kaum kafir jika mereka telah memiliki kekuatan yang nyata. Akan tetapi jika kekuatan itu semu atau tidak nyata, maka tidak dibolehkan menjerumuskan kaum muslimin dalam bahaya yang mengakibatkan kesudahan yang tidak terpuji.

  • Bentuk nasihat kepada pemimpin kaum muslimin ialah dengan mentaati mereka dalam perkara ma’ruf, mendoakan mereka dan menjelaskan jalan yang benar serta menerangkan kesalahan yang mereka lakukan. Hendaknya nasihat itu diberikan secara rahasia antara mereka dan si pemberi nasihat (empat mata).

  • Dalam masalah merubah kemungkaran kaum muslimin terbagi tiga kelompok: (1)Yang memiliki ilmu dan kekuasaan, maka mereka berhak merubah kemungkaran dengan tangan (tindakan), seperti pemerintah dan aparat yang ditunjuk oleh pemerintah. (2)Yang memiliki ilmu tapi tidak memiliki kekuasaan. Kelompok ini hendaknya merubah kemungkaran dengan lisan.(3)Seorang muslim yang tidak memiliki ilmu dan tidak pula memiliki kekuasaan. Kelompok ketiga ini cukuplah membenci kemungkaran dalam hatinya.

  • Seyogyanya menutupi perbuatan maksiat yang dilakukan seseorang jika ia bertekad untuk meninggalkan maksiat dan menerima dakwah serta meninggalkan kesalahan yang dilakukannya.

  • Siapa saja yang beranggapan bahwa pedoman Salafus Shalih tidak layak diterapkan sekarang ini maka ia termasuk orang yang sesat lagi menyesatkan.

  • Tidaklah patut seorang muslim menyibukkan diri membicarakan orang lain, memecah belah persatuan kaum muslimin dan menjatuhkan vonis terhadap kaum muslimin tanpa ilmu. Sebab perbuatan seperti itu termasuk perbuatan merusak.

  • Pelaksanaan hudud (hukuman) adalah hak penguasa kaum muslimin, tidaklah setiap orang berhak melaksanakan hudud tersebut sebab justru akan menimbulkan kekacauan dan kerusakan.

  • Jika tidak ada penguasa muslim yang melaksanakannya maka cukuplah dengan menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar sesuai dengan kemampuan serta menegakkan dakwah kepada agama Allah.

  • Tidak dibolehkan melangkahi wewenang pemerintah dan merampas hak mereka.

  • Barangsiapa membunuh tanpa sandaran hukum syar’i dan kewenangan dari pemerintah, namun hanya berdasarkan pendapat akalnya saja, maka wajib ditegakkan hukum qishash atas dirinya jika ahli waris yang terbunuh menuntutnya. Kecuali jika telah ditetapkan secara syar’i bahwa yang terbunuh itu adalah seorang yang murtad dari agama Islam. Akan tetapi walau bagaimanapun ia berhak mendapat hukum ta’zir atas kelancangannya terhadap pemerintahan yang sah.

Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, salah seorang anggota Lembaga Majelis Ulama di Kerajaan Saudi Arabia, dekan Ma’had al-‘Aali lil Qadha’ cabang Universitas Islam Muhammad bin Su’ud di Riyadh dan anggota Lajnah Da’imah Urusan fatwa, dalam dialog ini secara terbuka menegaskan urgensi aqidah dalam kehidupan manusia. Beliau menjelaskan bahwa pembenahan aqidah yang merupakan asas Dienul Islam. Hal itu tidaklah berlebihan karena syahadah Laa Ilaaha Illallah Muhammadur Rasulullah merupakan rukun Islam yang pertama. Dan para rasul pertama kali menyeru kaumnya untuk membenahi aqidah mereka. Sebab aqidah merupakan dasar pondasi seluruh amal ibadah dan perbuatan yang dilakukan. Tanpa pembenahan aqidah amal menjadi tiada berguna.

Dalam dialog ini beliau menjawab beberapa pertanyaan yang berkenaan dengan permasalahan yang tengah dihadapi kaum muslimin, khususnya dalam memahami nash-nash syar’i. Seiring dengan keinginan kami membantu umat Islam khususnya generasi muda dalam mendapatkan pemahaman yang benar. Beliau memberikan beberapa catatan-catatan penting berkaitan dengan kelompok-kelompok Islam serta fenomena berpecah belah yang melanda kaum muslimin sekarang ini. Beliau menjelaskan hukum kelompok-kelompok yang berpecah belah tersebut menurut tinjauan nash-nash syar’i.

Beliau juga menjelaskan urgensi bai’at bagi kaum muslimin serta batasan-batasannya dan bahaya sikap kaum muslimin meremehkan perkara tersebut. Beliau juga menjelaskan beberapa kaidah-kaidah yang berkaitan dengan dakwah di negara Islam maupun non Islam.

Tidak lupa beliau juga menerangkan pedoman kaum muslimin dalam menyikapi penguasa muslim ataupun non muslim yang berdaulat. Beliau menjelaskan keutamaan memegang teguh jama’ah kaum muslimin dan bahaya memecah belah persatuan dan mengacaubalaukan jama’ah mereka serta tidak lupa beliau jelaskan hukum syar’i berkaitan dengan masalah tersebut.

Kemudian beliau menyinggung tentang fenomena ghuluw (sikap berlebih-lebihan) dalam agama. Beliau jelaskan fenomena ini serta batas-batasnya.

Di antara aspek yang terpenting yang beliau singgung dalam dialog ini adalah yang berkaitan dengan munculnya gejala vonis kafir terhadap kaum muslimin yang menjadi problematika dan tantangan besar masyarakat muslim di berbagai belahan dunia. Terlebih lagi disertai munculnya gejala-gejala negatif yang dapat disaksikan akhir-akhir ini. Yaitu ketika oknum-oknum tersebut mulai menuangkan prinsip-prinsip menyimpang mereka di lapangan. Beliau juga menjelaskan maksud diberikannya sebuah nasihat, bagaimana caranya dan fase-fasenya. Semua itu beliau jelaskan dalam jawaban terhadap beberapa pertanyaan yang menyangkut permasalahan di atas yang banyak dihadapi kaum muslimin pada hari ini.

Kemudian dialog menyinggung persoalan pelaksanaan hudud (hukuman) di kalangan masyarakat muslim, beliau menjelaskan bahwa perkara itu adalah hak dan wewenang sultan (penguasa). Tidaklah setiap orang berhak dan berwenang melaksanakan hudud sebab dapat menimbulkan kekacauan dan kerusakan. Beliau juga menjelaskan sanksi yang ditimpakan atas orang yang melancangi wewenang pemerintahan yang sah, sebagaimana yang dijelaskan dalam nash-nash syar’i.

Dialog tersebut sebagai berikut:

Soal : Ada beberapa orang yang memandang remeh perkara aqidah, mereka beranggapan bahwa nilai keimanan yang dimiliki sudah mencukupi bagi seseorang. Sudikah Anda menjelaskan urgensi aqidah bagi setiap pribadi muslim serta pengaruh yang timbul dari aqidah tersebut dalam kehidupannya dan dalam hubungannya terhadap diri sendiri, masyarakat muslim dan non muslim?

Jawab : Bismillahirrahmanirrahim, segala puji hanyalah bagi Allah semata Rabb sekalian alam. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada rasul junjungan kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, bagi keluarga serta sahabat beliau, wa ba’du.

Pembenahan aqidah merupakan asas dasar Dienul Islam. Tidaklah berlebihan sebab syahadat Laa Ilaaha Illallah Muhammadur Rasulullah merupakan rukun Islam yang pertama. Dan para rasul pertama kali menyeru kaumnya untuk membenahi aqidah mereka. Sebab aqidah merupakan dasar pondasi seluruh amal ibadah dan perbuatan yang dilakukan. Tanpa pembenahan aqidah amal menjadi tiada berguna. Allah berfirman :

وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُم مَّاكَانُوا يَعْمَلُونَ

“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS. 6:88)

Yaitu akan hapuslah seluruh amalan mereka. Dalam ayat lain Allah berfirman:

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَابَنِى إِسْرَاءِيلُ اعْبُدُوا اللهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَالِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ ‏

“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolongpun.” (QS. 5:72)

Dalam ayat lain Allah berfirman :

وَلَقَدْ أُوحِىَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِّنَ الْخَاسِرِينَ

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) sebelummu: “Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. 39:65)

Dari ayat-ayat di atas dan beberapa ayat lainnya jelaslah bahwa urgensi aqidah. Aqidah merupakan prioritas utama dan pertama dalam dakwah. Seruan dakwah pertama kali adalah kepada pembenahan aqidah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bermukim di kota Makkah setelah diangkat menjadi rasul selama tiga belas tahun menyeru umat manusia kepada pembenahan aqidah, yakni kepada tauhid. Tidaklah diturunkan kewajiban-kewajiban ibadah kecuali setelah beliau hijrah ke Madinah. Memang benar, ibadah shalat diwajibkan ketika beliau berada di Makkah sebelum hijrah, akan tetapi bukankah syariat-syariat lainnya diwajibkan atas beliau setelah hijrah ke Madinah? Hal itu menunjukkan bahwa amal ibadah itu baru dituntut setelah pembenahan aqidah. Orang yang mengatakan “cukuplah nilai keimanan tanpa memperhatikan perlu ambil peduli masalah aqidah” justru bertentangan dengan nilai keimanan itu sendiri. Sebab keimanan itu akan sempurna dengan memiliki aqidah yang benar dan lurus. Adapun jika aqidah belum benar, maka tidak akan ada tersisa iman dan nilai agama sedikitpun!

Soal: Bagiamanakah pengaruh aqidah terhadap kehidupan seorang muslim dan perilakunya?

Jawab: Sebagaimana yang telah disinggung di atas bahwa jika seorang muslim memiliki aqidah yang benar maka amal ibadahnya pun menjadi benar. Sebab aqidah yang benar akan mendorongnya melakukan amal shalih dan mengarahkannya kepada nilai-nilai kebaikan dan perbuatan terpuji. Apabila seseorang telah berikrar tiada Ilah yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah didasari ilmu dan keyakinan serta ma’rifah, maka akan mendorongnya melakukan amal shalih. Sebab syahadat Laa Ilaaha Illallah bukanlah sekedar kata-kata yang diucapkan lisan begitu saja. Ia merupakan ikrar bagi i’tiqad dan amalan. Ikrar dan syahadat tersebut tidak akan lurus dan berguna kecuali dengan melaksanakan segala konsekuensinya berupa amal shalih, si pengikrar akan tergerak menegakkan rukun Islam dan Iman. Ditambah beberapa perintah-perintah agama dan disempurnakan dengan melaksanakan sunnah-sunnah dan nilai-nilai keutamaan lainnya.

Soal: Fadhilatusy Syaikh di samping kondisi buruk yang melanda umat Islam di tengah-tengah badai pemikiran yang tidak menentu khususnya yang berkaitan dengan agama. Fenomena tersebut melahirkan banyak sekali gerakan-gerakan dan kelompok-kelompok yang mengatasnamakan Islam dan mengklaim bahwa manhaj mereka adalah manhaj islami yang benar dan wajib diikuti. Sehingga seorang muslim seringkali bingung menentukan siapakah yang diikuti dan siapakah yang berada di atas kebenaran?

Jawab: Berpecah belah bukanlah ajaran Dienul Islam. Sebab Islam memerintahkan kita supaya bersatu padu dan berada di atas satu jama’ah yang memiliki aqidah yang satu, yakni aqidah tauhid. Di atas satu asas, yakni mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah berfirman:

إِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ

“Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Rabbmu, maka sembahlah Aku.” (QS. 21:92)

Dalam ayat lain Allah berfirman:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai” (QS. 3:103)

Dalam ayat lain Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (QS. 6:159)

Ayat ini merupakan ancaman yang berat atas setiap tindakan berpecah belah dan saling berselisih. Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat” (QS. 3:105)

Dienul Islam mengedepankan persatuan dan kesatuan. Berpecah belah bukanlah termasuk ajaran agama. Berbilang-bilang kelompok juga bukan merupakan ajaran agama. Sebab Dienul Islam memerintahkan kita supaya bersatu di dalam jama’ah yang satu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

المُسْلِمُ لِلْمُسْلِمِ كَالبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضَهُ بَعْضًا

“Sesama kaum muslimin ibarat satu bangunan yang saling menguatkan satu sama lainnya.”

Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَثَلُ المُؤْمِنِيْنَ فِي تَوَادِّهِمْ وَ تَرَاحُمِهِمْ وَ تَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الجَسَدِ الوَاحِدِ

“Perumpamaan kaum mukminin dalam rasa cinta kasih dan sayang mereka seperti satu jasad.”

Sebagaimana dimaklumi bahwa bangunan ataupun jasad adalah satu kesatuan yang tidak dapat dicerai beraikan. Sebuah bangunan yang telah tercerai berai pasti roboh. Demikian pula jasad jika tercerai berai pasti mati. Maka tiada lain kecuali harus bersatu padu, harus berada dalam satu kesatuan satu jama’ah yang berasaskan tauhid dan mengikuti metodologi dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam serta menapaki nilai-nilai Islam. Allah berfirman:
“dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa.” (QS. 6:153)

Kelompok-kelompok yang berbilang-bilang jumlahnya dan saling bercerai-berai seperti yang dapat disaksikan pada hari ini sama sekali tidak direstui Dienul Islam, bahkan Islam sangat melarang hal itu. Dienul Islam memerintahkan supaya bersatu di atas aqidah tauhid dan pedoman Islam dalam satu jama’ah. Sebagaimana hal itu telah diperintahkan oleh Allah Subhaanahu Wata’aala. Berbilang-bilang jama’ah merupakan tipu daya setan dari jenis manusia dan jin terhadap umat ini. Orang-orang kafir dan munafik dari dahulu senantiasa menebar jaring-jaring makar dan tipu muslihat untuk memecah belah persatuan umat. Sejak dahulu orang-orang Yahudi telah mengatakan seperti yang diberitakan dalam Al-Qur’an:
“Segolongan (lain) dari Ahli Kitab berkata (kepada sesamanya): “Perlihatkanlah (seolah-olah) kamu beriman kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman (sahabat-sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah ia pada akhirnya, supaya mereka (orang-orang mu’min) kembali (kepada kekafiran).” (QS. 3:72)

Yaitu supaya kaum muslimin murtad dari agama mereka jika melihat kamu murtad dari agama mereka. Berkaitan dengan kaum munafikin Allah berfirman:

“Mereka orang-orang yang mengatakan (kepada orang-orang Anshar): “Janganlah kamu memberikan perbelanjaan kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada di sisi Rasulullah supaya mereka bubar (meninggalkan Rasulullah)”. Padahal kepunyaan Allahlah perbendaharaan langit dan bumi, tetapi orang-orang munafik itu tidak memahami.” (QS. 63:7)

Dalam ayat lain Allah Subhaanahu Wata’aala berfirman:
“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan mesjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mu’min), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mu’min serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu.” (QS. 9:107)

Soal: Fadhilatusy Syaikh! Termasuk perkara yang dianggap remah manusia sekarang ini adalah masalah bai’at. Ada beberapa orang yang berpendapat boleh memberikan bai’at kepada salah satu kelompok Islam yang ada sekarang ini, kendati di sana ada bai’at-bai’at lain bagi kelompok lain pula. Kadangkala pemimpin yang dibai’at ini tidak dikenal dengan alasan masih ‘dirahasiakan’. Bagaimanakah hukumnya bai’at seperti itu? Apakah hukumnya berbeda di dalam negeri-negeri kafir atau negara yang tidak berhukum dengan hukum Allah?

Jawab: Bai’at hanya boleh diberikan kepada penguasa kaum muslimin. Bai’at-bai’at yang berbilang-bilang dan bid’ah itu merupakan akibat perpecahan. Setiap kaum muslimin yang berada dalam satu pemerintahan dan satu kekuasaan wajib memberikan satu bai’at kepada satu orang pemimpin. Tidaklah dibenarkan memunculkan bai’at-bai’at yang lain. Bai’at-bai’at tersebut merupakan hasil perpecahan kaum muslimin pada zaman ini dan akibat kejahilan tentang agama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang hal itu, beliau bersabda :

مَنْ جَاءَ كُمْ وَ أَمْرُكُمْ جَمِيْعٌ عَلَى وَاحِدٍ مِنْكُمْ يُرِيْدُ تَفْرِيْقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاضْرِبُوْا عُنُقَهُ

“Siapa saja yang ingin memecah belah persatuan kalian setelah kalian sepakat mengangkat seorang pemimpin maka tebaslah lehernya.”

Atau sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Jika didapati orang yang ingin membangkang pemerintah yang berdaulat dan berusaha memecah belah persatuan kaum muslimin maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan waliyul amri beserta segenap kaum muslimin untuk memerangi pembangkang tersebut.

Allah Subhaanahu Wata’aala berfirman:
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu’min berperang maka damaikanlah antara keduanya.Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali, kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah).”(QS. 49:9)

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu beserta beberapa sahabat yang senior memerangi kelompok Khawarij dan kaum pembangkang hingga berhasil ditumpas dan memadamkan kekuatan mereka sehingga kaum muslimin aman dari kejahatan mereka. Ini merupakan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau telah memerintahkan kaum muslimin agar memerangi kaum pemberontak dan kelompok Khawarij yang berusaha memecah-belah persatuan kaum muslimin dan membangkang pemerintah. Semua itu demi menjaga persatuan dan kesatuan jama’ah kaum muslimin dari rongrongan perpecahan dan perselisihan.

Soal: Apa hukumnya orang yang menisbatkan dirinya kepada salah satu jama’ah tersebut? Khususnya kepada jama’ah yang menerapkan sistem sirriyah dan bai’ah terhadap pengikutnya?

Jawab: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengabarkan bahwa perpecahan bakal terjadi. Pada kondisi demikian beliau memerintahkan kita untuk berpegang teguh persatuan dan istiqamah di atas petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan sahabat-sahabat beliau. Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

اِفْتَرَقَتِ اْليَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَسَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةٌ قَالُوْا مَنْ هِيَ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ مَنْ كَانَ عَلىَ مِثْلَ مَا أَنَا عَلَيْهِ اْليَوْمَ وَأَصْحَابِي

“Umat Yahudi telah terpecah belah menjadi tujuh puluh satu golongan. Umat Nasrani telah terpecah-belah menjadi tujuh puluh dua golongan dan umat ini akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan seluruhnya masuk neraka kecuali satu. Para sahabat bertanya: “Siapakah golongan yang satu itu, wahai Rasulullah!” Beliau menjawab: “Siapa saja yang berada di atas petunjukku dan di atas petunjuk sahabat-sahabatkku.”

Ketika para sahabat meminta wasiat kepada beliau, beliau bersabda:

أُصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَ السَّمْعِ وَ الطَّاعَةِ وَ إِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِي، تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

“Aku wasiatkan kamu agar selalu bertakwa, patuh dan taat (kepada pemimpin) walaupun yang memimpin kamu adalah seorang budak. Sebab siapa saja yang hidup sepeninggalku ia pasti melihat perselisihan yang sangat banyak. Maka berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah Khulafa’ Rasyidin setelahku. Peganglah ia erat-erat dan gigitlah dengan gigi gerahammu (sungguh-sungguhlah).”

Itulah pedoman yang harus ditempuh oleh kaum muslimin sekarang ini sampai hari Kiamat. Yaitu dalam menghadapi perselisihan hendaklah merujuk kepada pedoman Salafus Shalih dalam masalah apapun, terutama masalah dien, manhaj, bai’at dan lain-lain.

Soal: Sebagian orang memandang wajib mendirikan jama’ah-jama’ah atau kelompok-kelompok ini khususnya dalam rangka dakwah kepada agama Allah ke tengah masyarakat yang tidak tampak kekuasaan Dienul Islam di dalamnya.

Jawab: Dakwah kepada agama Allah merupakan tuntutan kewajiban. Allah Subhaanahu Wata’aala berfirman:
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik” (QS. 16:125)

Akan tetapi memecah belah kaum muslimin menjadi berkelompok-kelompok sehingga masing-masing orang mengklaim kelompoknyalah yang benar sementara yang lain sesat sebagaimana realita yang ada sekarang jelas bukan merupakan manhaj dakwah yang benar. Setiap muslim yang memiliki ilmu dan kemampuan wajib berdakwah kepada agama Allah di atas petunjuk ilmu. Hendaklah ia bekerja sama dengan yang lainnya tanpa harus menjadikan manhaj khusus bagi setiap golongan yang menyelisihi manhaj golongan lainnya. Bahkan seharusnya kaum muslimin memiliki manhaj yang satu. Dan hendaknya mereka saling bekerja sama dan bermusyawarah di antara mereka. Tidak perlu mendirikan jama’ah dan manhaj-manhaj baru yang saling berbeda dan berpecah belah. Karena kondisi seperti itu akan mengancam keutuhan persatuan kaum muslimin dan akan memunculkan persengketaan dan percekcokan di antara kaum muslimin sebagaimana yang dapat disaksikan pada hari ini di antara jama’ah-jama’ah yang ada di negeri-negeri Islam dan lainnya. Mendirikan jama’ah bukanlah perkara yang sangat esensial dalam berdakwah. Namun yang esensial ialah siapa saja yang memiliki ilmu, kebijaksanaan dan ma’rifat hendaklah bangkit berdakwah kepada jalan Allah meskipun seorang diri. Berdakwah kepada jalan Allah harus dilakukan di atas manhaj yang satu, manhaj yang tegak di atas al-haq sekalipun berbeda-beda dalam disiplin ilmu dan terpencar di berbagai negeri.

Soal: Fadhilathusy Syaikh, beberapa catatan yang perlu diperhatikan sekarang ini adalah munculnya gejala sikap ghuluw (ekstrim) serta reaksi masyarakat umum terhadap fenomena ini. Bagaimanakah caranya meredam fenomena tersebut dan siapakah yang bertanggung jawab dalam hal ini?

Jawab: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memperingatkan umat dari bahaya sikap ekstrim, beliau bersabda:

إِيَّاكُمْ وَ الغُلُوَّ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الغُلُوُّ

“Waspadalah terhadap sikap ghuluw (ekstrim) karena perkara yang membinasakan umat sebelum kamu adalah sikap ghuluw.”

Beliau juga bersabda:

هَلَكَ المُتَنَطِّعُوْنَ، هَلَكَ المُتَنَطِّعُوْنَ، هَلَكَ المُتَنَطِّعُوْنَ

“Binasalah mutanaththi’un, binasalah mutanaththi’un, binasalah mutanaththi’un.”
Beliau mengulangi sabdanya tiga kali.

Mutanaththi’un ialah orang yang berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam perkara agama. Allah berfirman:
“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.” (QS. 4:171)

Dalam ayat lain Allah berfirman:
“Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu”.” (QS. 5:77)

Yang wajib adalah beristiqamah di atas al-haq tanpa perlu diiringi sikap ekstrim dan tidak pula sikap apatis. Allah telah berkata kepada Nabi-Nya dan para pengikutnya:
“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas.” (QS. 11:112)
Yakni janganlah menambah-nambahi dan jangan bersikap ekstrim, karena yang dituntut adalah keistiqamahan, yaitu bersikap tengah di antara sikap ekstrim dan apatis. Itulah pedoman Dienul Islam dan merupakan metode para nabi seluruhnya, yakni istiqamah di atas Dienullah tanpa disertai sikap ekstrim dan berlebih-lebihan dan tidak pula sikap apatis.

Soal: Termasuk perkara yang perlu dibahas dalam wawasan keislaman pada hari ini adalah merasuknya benih-benih pemikiran kelompok sesat seperti Khawarij dan Mu’tazilah ke dalamnya. Pada sebagian kelompok tersebut didapati pemikiran takfir (pengkafiran kaum muslimin) dan tindak kekerasan melawan pelaku maksiat dan orang fasik di kalangan kaum muslimin. Adakah pengarahan Anda dalam masalah ini?

Jawab: Hal itu merupakan sikap yang keliru. Sebab Dienul Islam melarang tindak kekerasan dalam berdakwah. Allah berfiman:
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS. 16:125)

Allah memerintahkan kepada kedua nabi-Nya, yakni Musa dan Harun dalam menghadapi Fir’aun:
“Maka berbicalah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut mudah-mudahan ia ingat atau takut”. (QS. 20:44)

Kekerasan yang dilawan dengan kekerasan justru akan menghasilkan sesuatu yang bertolak belakang dengan harapan. Dan juga dampaknya kepada kaum muslimin sangat buruk. Dienul Islam menganjurkan agar mempergunakan hikmah dan cara yang terbaik dalam berdakwah serta bersikap lembut terhadap mad’u (orang yang didakwahi). Adapun sikap keras dan arogan terhadap mad’u bukanlah termasuk ajaran Dienul Islam. Kaum muslimin wajib berjalan di atas manhaj Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan sejalan dengan bimbingan qur’ani dalam berdakwah.

Hendaklah diketahui bahwa vonis kafir memiliki batasan-batasan syar’i yang harus diperhatikan. Siapa saja yang melakukan salah satu dari pembatal keislaman yang disebutkan oleh ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah maka ia dihukumi kafir setelah menegakkan hujjah atas yang bersangkutan. Barangsiapa yang tidak melakukan salah satu dari pembatal keislaman itu, maka tidak boleh dihukumi kafir meskipun ia melakukan dosa besar selain dosa syirik.

Soal: Ada sebagian orang yang menggunakan istilah jahiliyah bagi masyarakat Islam yang terdapat kerusakan di dalamnya. Dan penggunaan istilah ini memberi konsekuensi negatif sebagaimana yang Anda ketahui. Bagaimanakah bimbingan yang benar dalam masalah ini?

Jawab: Jahiliyah secara umum telah berakhir dengan diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, walillahil hamd. Beliau datang dengan membawa cahaya Islam, pelita ilmu dan hidayah yang akan terus ada dan bertahan hingga akhir zaman. Tidak ada lagi masa jahiliyah secara umum setelah diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi akan masih tetap ada sisa-sisa jahiliyah dalam hal-hal tertentu dan jahiliyah yang dilakukan oleh sebagian oknum. Adapun jahiliyah secara umum telah berakhir seiring dengan diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak akan kembali hingga datangnya hari Kiamat.

Adapun sifat-sifat jahiliyah yang dilakukan oleh sebagian orang atau jama’ah atau sebagian anggota masyarakat memang masih ada, namun hal itu termasuk jahiliyah dalam ruang lingkup khusus bagi yang melakukannya.

Dengan demikian tidak boleh menggunakan istilah jahiliyah secara umum sebagaimana yang telah diperingatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam buku Iqtidha’ Shiratul Mustaqim.

Soal: Setelah diselidiki ternyata orang yang menggunakan istilah jahiliyah terhadap masyarakat Islam ialah untuk mengkafirkan masyarakat Islam tersebut kemudian dilanjutkan dengan pemberontakan, bagaimanakah komentar Anda?

Jawab: Tidak semua orang boleh menjatuhkan vonis kafir atau berkomentar tentang vonis kafir terhadap individu ataupun kelompok tertentu. Pengkafiran memiliki batasan-batasan yang perlu diperhatikan. Barangsiapa melakukan salah satu dari pembatal keislaman maka ia dihukumi kafir. Pembatal-pembatal keislaman itu sudah diketahui secara luas dan yang paling besar adalah syirik, mengaku tahu perkara ghaib, berhukum dengan selain hukum Allah, Allah berfirman:
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. 5:44)

Masalah pengkafiran ini sangat berbahaya. Tidak semua orang boleh mengucapkannya terhadap orang lain. Masalah ini merupakan wewenang hakim syar’i dan ahli ilmu yang mapan ilmunya, yang mengetahui Dienul Islam dan pembatal-pembatalnya, mengetahui situasi dan kondisi serta keadaan manusia dan masyarakat. Merekalah yang berwenang menjatuhkan vonis kafir. Adapun orang jahil, orang awam, pemula dalam menuntut ilmu tidaklah berhak menjatuhkan vonis kafir terhadap siapapun baik pribadi, masyarakat ataupun negara. Karena mereka tidak ahli dalam masalah ini.

Soal: Fadhilatusy Syaikh, sangat disayangkan di sana ada beberapa oknum yang membolehkan memberontak pemerintah tanpa memperhatikan kaidah-kaidah syar’i. Bagaimanakah pedoman Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam menghadapi pemerintah muslim maupun non muslim?

Jawab: Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam menghadapi pemerintah muslim adalah patuh dan taat. Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari Kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. 4:59)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:

أُصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَ السَّمْعِ وَ الطَّاعَةِ وَ إِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِي.

“Aku wasiatkan kamu agar selalu bertakwa, patuh dan taat (kepada pemimpin) walaupun yang memimpin kamu adalah seorang budak. Sebab siapa saja yang hidup sepeninggalku ia pasti melihat perselisihan yang sangat banyak. Maka berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah Khulafa’ Rasyidin setelahku.”

Hadits ini sangat sejalan dengan ayat di atas, dan dengan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam :

مَنْ أَطَاعَ اْلأَمِيْرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَ مَنْ عَصَى اْلأَمِيْرَ فَقَدْ عَصَانِي

“Barangsiapa mentaati pemimpin, sungguh ia telah mentaatiku, barangsiapa membangkang kepada pemimpin berarti ia telah membangkang kepadaku.”

Dan masih banyak lagi hadits-hadits lain yang menganjurkan kita supaya patuh dan taat. Di antaranya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :

اِسْمَعْ وَ أَطِعْ وَإِنْ أُخِذَ مَالُكَ وَضُرِبَ ظَهْرُكَ

“Patuh dan taatlah meskipun hartamu diambil dan punggungmu dipukul.”

Pemerintah muslim yang berdaulat wajib ditaati dalam bingkai ketaatan kepada Allah. Jika pemerintah menyuruh berbuat maksiat janganlah ditaati. Yaitu janganlah lakukan maksiat yang diperintahkannya itu. Namun dalam perkara yang bukan maksiat hendaklah ditaati.

Sementara berkaitan dengan masalah menghadapi penguasa yang kafir, maka hal ini bergantung kepada situasi dan kondisi yang ada. Jika kaum muslimin memiliki kekuatan dan kemampuan untuk memerangi serta mengganti penguasa kafir itu dengan penguasa muslim maka hal itu wajib bagi mereka dan termasuk jihad fi sabilillah. Adapun jika kaum muslimin tidak mampu melakukannya maka mereka tidak dibenarkan melawan orang zhalim dan kafir itu. Karena tindakan tersebut dapat menimbulkan bencana dan kehancuran atas kaum muslimin. Rasulullah hidup di kota Makkah selama tiga belas tahun setelah diutus menjadi rasul, dalam rentang waktu begitu lama tersebut beliau berada di bawah kekuasaan kafir Quraisy. Namun beliau dan para sahabat tidak berusaha merongrong kekuasan kafir Quraisy ketika itu. Bahkan mereka dilarang memerangi kaum kafir pada masa tersebut. Hingga beliau hijrah ke kota Madinah, memiliki daulah dan jam’ah yang mampu memerangi kaum kafir. Inilah pedoman Dienul Islam.

Adapun jika ternyata kaum muslimin yang berada di bawah kekuasaan kaum kafir tidak mampu melengserkan penguasa kafir itu maka hendaknya mereka tetap berpegang teguh dengan ajaran Islam dan aqidah yang benar. Jangan sampai mereka menjerumuskan diri ke dalam bahaya dengan melibatkan diri melawan kaum kafir. Karena tindakan tersebut menimbulkan kehancuran dan terganggunya aktifitas dakwah. Adapun jika mereka memiliki kekuatan dan mampu menegakkan jihad, maka hendaklah mereka melakukannya dengan memperhatikan kaidah-kaidah syar’i.

Soal: Kekuatan yang dimaksud di sini apakah kekuatan yang pasti dan riil atau cukupkah hanya sekedar kekuatan nisbi dan sebatas perkiraan belaka?

Jawab: Kekuatan yang dimaksud adalah kekuatan yang sama-sama dimaklumi, yakni apabila kekuatan itu benar-benar riil dimiliki dan kaum muslimin mampu menegakkan panji jihad fi sabilillah, maka dalam kondisi begitu disyariatkan jihad melawan kaum kafir. Adapun jika ternyata kekuatan tersebut bersifat nisbi atau hanya sebatas perkiraan belaka maka tidak dibenarkan menggiring kaum muslimin ke dalam mara bahaya yang dapat menimbulkan kesudahan yang tidak terpuji. Sepak terjang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di kota Makkah merupakan sebaik-baik bukti yang nyata dalam masalah ini.

Soal: Fadhilatusy Syaikh, ad-Dien adalah nasihat. Dan nasihat merupakan salah satu dasar Dienul Islam. Namun kendati begitu kami masih menemukan kendala khususnya yang berkaitan dengan hakikat nasihat kepada penguasa dan batasan-batasannya. Bagaimanakah caranya memberi nasihat kepada penguasa dan fase-fasenya. Problematika yang sangat serius adalah tentang merubah kemungkaran dengan tangan (tindakan). Sudikah Anda menjelaskan persoalan ini?

Jawab: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menerangkan hal ini, beliau bersabda:

الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: للهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلأَئِمَّةِ المُسْلِمِيْنَ وَعَامّتِهِمْ

“Dien adalah nasihat.” Kami bertanya: “Bagi siapa?” Beliau bersabda: “Bagi Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, penguasa kaum dan segenap kaum muslimin.”

Nasihat bagi penguasa kaum muslimin adalah dengan mentaati mereka dalam perkara ma’ruf, mendoakan mereka dan menunjuki mereka jalan yang benar serta menjelaskan kekeliruan yang mereka lakukan supaya dapat dihindari. Dan hendaknya nasihat itu diberikan secara rahasia, empat mata antara si pemberi nasihat dan penguasa tersebut. Nasihat kepada penguasa itu juga dapat diberikan dalam bentuk melakukan instruksi-instruksi yang diserahkan melalui aparat yang diangkat penguasa dan orang-orang yang diberi kewenangan olehnya. Yaitu melakukannya dengan amanah dan ikhlas. Ini juga termasuk bentuk nasihat kepada penguasa kaum muslimin. Demikian pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ

“Barangsiapa melihat sebuah kemungkaran hendaklah ia ubah dengan tangannya, jika tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka bencilah kemungkaran itu dalam hatinya.”

    Maksudnya, kaum muslimin terbagi menjadi tiga kelompok:

  • Yang memiliki ilmu dan kekuasaan, maka mereka berhak merubah kemungkaran dengan tangan (tindakan), seperti pemerintah dan aparat-aparat yang ditunjuk oleh pemerintah untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar. Merekalah yang berwenang merubah kemungkaran dengan tangan melalui proses hukum syar’i.
  • Yang memiliki ilmu tapi tidak memiliki kekuasaan. Kelompok ini hendaknya merubah kemungkaran dengan lisan. Yaitu dengan menjelaskan kepada umat manusia hukum halal haram, ma’ruf dan mungkar. Ia berhak menganjurkan kepada yang ma’ruf, melarang, memberi bimbingan dan menasihati, semua itu termasuk mengingkari kemungkaran dengan lisan.
  • Seorang muslim yang tidak memiliki ilmu dan tidak pula memiliki kekuasaan. Kelompok ketiga ini cukuplah membenci kemungkaran dan pelakunya dalam hatinya. Menjauhkan dirinya dari kemungkaran dan pelakunya.Itulah tingkatan amar ma’ruf nahi mungkar.

Soal: Apakah metode dakwah dibatasi dengan kaidah-kaidah tertentu?

Jawab: Allah Ta’ala berfirman:
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Rabbmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. 16:125)

Orang yang terjerumus dalam kemungkaran boleh jadi karena kejahilannya. Maka untuk orang jenis ini cukup didakwahi dengan cara yang bijaksana. Misalnya dengan menjelaskan kekeliruannya, apabila telah jelas kekeliruan tersebut baginya ia segera kembali kepada kebenaran. Di antara manusia ada juga yang walaupun kekeliruannya telah jelas namun ia masih keras kepala tidak mau kembali kepada kebenaran. Barangkali ia memiliki sifat malas, hawa nafsunya merintangi dirinya untuk menerima kebenaran. Maka untuk orang jenis ini dibutuhkan pelajaran yang baik, yaitu dengan memperingatkan kepadanya kerasnya siksa Allah dan hukuman yang bakal diterima oleh orang yang terus menerus berbuat maksiat setelah mengetahuinya. Ada pula jenis ketiga, yaitu orang yang membantah apabila mengetahui kebenaran demi mempertahankan kebatilan dan kemungkaran. Ia hanya ingin mencari pembenaran bagi kesalahan yang dilakukannya. Orang jenis ini perlu dibantah. Namun hendaknya perbantahan itu dilakukan dengan cara yang terbaik bukan dengan sikap arogan, tidak pula dengan pelecehan dan penghinaan, namun dengan cara yang terbaik, yaitu membantah kebatilan dengan argumen-argumen yang jelas sehingga kebenaran menjadi nyata dan kebatilan menjadi sirna. Inilah tingkatan-tingkatan yang dijelaskan Allah dalam ayat tersebut. Tingkatan pertama dengan hikmah, tingkatan kedua dengan pelajaran yang baik dan tingkatan ketiga dengan perbantahan yang baik. Skala tingkatan-tingkatan itu berbeda-beda sesuai dengan kondisi mad’u.

Soal: Bagaimanakah pedoman Salafus Shalih dalam masalah amar ma’ruf nahi mungkar?

Jawab: Tadi telah kita jelaskan bahwa jika amar ma’ruf nahi mungkar itu ditegakkan di negeri Islam seperti negeri kita ini, maka cukup dengan nasihat dan peringatan yang baik, sebab pemerintah negeri tersebut telah mengatur seluruh proseduralnya. Jika si pelaku maksiat harus dicekal, maka keputusannya diserahkan kepada pemerintah yang berwenang. Jika tidak perlu dilaporkan kepada pemerintah maka yang dituntut adalah menutupi kesalahan pelaku maksiat apabila tampak pada dirinya tekad untuk meninggalkan maksiat dan menerima dakwah serta meninggalkan kesalahan yang dilakukannya. Kesalahan mereka ini tidak perlu diekspos. Cukuplah mereka merubah diri sendiri semampu mereka dari jahat menjadi baik. Jika kelihatannya si pelaku maksiat ini tidak mengindahkan dan tidak menerima nasihat maka sebaiknya mengangkat urusan mereka kepada pihak yang berwajib. Jika telah diangkat kepada pihak yang berwajib maka selesailah kewajiban si pemberi nasihat, sebab ia telah mengembalikan urusan kepada pihak yang berwenang. Namun apabila hal itu terjadi di negeri non muslim, maka cukuplah bagi mereka dakwah kepada jalan Allah dengan cara yang hikmah dan pelajaran yang baik serta mencegah terjadinya fitnah yang lebih besar yang dapat merugikan dan membahayakan kaum muslimin. Jangan sampai muncul sikap arogan dan anarki yang menimbulkan mudharat lebih besar. Cukuplah dengan menyebarkan Dienul Islam secara hikmah dan penuh dengan pelajaran yang baik serta memberi nasihat bagi yang menerima serta menyerahkan urusan kepada Allah bagi orang yang tidak menerimanya.

Soal: Sebagian orang menyangka bahwa pedoman Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak layak diterapkan pada masa sekarang ini. Mereka beralasan bahwa kaidah-kaidah yang ditetapkan Ahlus Sunnah tidak mungkin dilakukan pada hari ini?

Jawab: Yang menganggap pedoman Salafus Shalih tidak layak diterapkan pada zaman sekarang adalah orang yang sesat lagi menyesatkan. Bukankah pedoman Salafus Shalih yang telah diperintahkan Allah supaya diikuti hingga akhir zaman? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِي، تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

“Sesungguhnya siapa saja yang hidup sepeninggalku ia pasti melihat perselisihan yang sangat banyak. Maka berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah Khulafa’ Rasyidin setelahku. Peganglah ia erat-erat dan gigitlah dengan gigi gerahammu (sungguh-sungguhlah).”

Inilah merupakan pernyataan yang ditujukan kepada segenap umat hingga hari Kemudian kelak. Dan sekaligus menunjukkan bahwa kaum muslimin wajib menempuh pedoman Salafus Shalih. Dan penegasan bahwa pedoman Salafus Shalih layak diterapkan kapan dan di mana saja. Allah berfirman:
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah” (QS. 9:100)

Termasuk di dalamnya segenap umat hingga hari Kiamat nanti. Kaum muslimin wajib mengikuti pedoman generasi awal umat ini dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Imam Malik pernah berkata, “Tidak akan baik generasi akhir umat ini kecuali dengan apa-apa yang menjadikan baik generasi awalnya.”

Siapa saja yang berusaha memisahkan umat ini dari generasi awalnya, memisahkan mereka dari generasi Salafus Shalih berarti menghendaki keburukan terhadap kaum muslimin. Sebenarnya ia menginginkan perubahan Dienul Islam dan mengada-adakan bid’ah dan penyimpangan. Usahanya itu wajib ditolak dan dipatahkan argumennya serta memperingatkan umat dari bahayanya. Sebab kaum muslimin wajib mengikuti pedoman Salafus Shalih dan berjalan di atasnya. Sebagaimana disebutkan dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Siapa saja yang berusaha memutus hubungan antara generasi akhir umat ini dan generasi awalnya maka usaha dan propagandanya itu harus ditolak mentah-mentah dan harus diwaspadai bahayanya tanpa pandang bulu siapapun yang mempropagandakannya.

Soal: Termasuk persoalan yang memprihatinkan sekarang ini adalah kami dapati sebagian orang berusaha mengkotak-kotakkan kaum muslimin dan mereka merasa senang dengan perbuatan tersebut?

Jawab: Seorang muslim tidak dibolehkan menyibukkan dirinya mengomentari orang lain serta memecah belah persatuan kaum muslimin. Memvonis atau menghakimi orang lain tanpa ilmu termasuk tindak pengrusakan yang dilarang. Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya.” (QS. 17:36)

Seorang muslim seyogyanya melakukan perbaikan dan menjaga persatuan kaum muslimin serta berusaha merapatkan barisan mereka di atas panji-panji kebenaran. Bukan justru memecah belah Ahlus Sunnah dan memilah-milah mereka menjadi beberapa golongan dan kelompok. Yang dituntut darinya jika melihat kesalahan di tengah kaum muslimin adalah berusaha memperbaikinya. Jika dilihatnya ada celah untuk berpecah maka ia wajib berusaha menyatukannya. Inilah yang dituntut dari seorang muslim. Yaitu menyeru kepada persatuan dan menambal celah-celah perpecahan. Usaha itu merupakan bentuk nasihat yang sangat agung bagi penguasa dan segenap kaum muslimin.

Soal: Seringkali kami perhatikan segelintir penuntut ilmu terlalu mudah memvonis kafir terhadap kaum muslimin. Bahkan segelintir orang ini menuntut kaum muslimin supaya melaksanakan hukuman mati atas orang yang telah divonis kafir –menurut mereka- apabila penguasa (pemerintah) tidak melaksanakannya. Bagaimana pendapat Anda dalam masalah ini?

Jawab: Pelaksanaan hukuman pidana merupakan wewenang penguasa semata. Tidak setiap orang berhak menegakkan hukum pidana ini. Sebab bila demikian prakteknya jelas akan terjadi kekacauan, kerusakan dan keresahan di kalangan masyarakat. Dan juga akan menyalakan api pemberontakan dan fitnah. Pelaksanaan hukuman merupakan wewenang penguasa muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

تَعَافَوْا الْحُدُوْدَ فِيْمَا بَيْنَكُمْ فَإِذَا أَبْلَغَتِ الحُدُوْدُ السُّلْطَانَ فَلَعَنَ اللهُ الشَّافِعَ وَ الْمُشَفَّعَ

“Saling memaafkanlah di antara kalian, namun jika urusannya telah diangkat kepada sultan (penguasa), maka Allah melaknat pemberi rekomendasi dan terpidana yang direkomendasi.”

Salah satu kewajiban dan wewenang sultan dalam Dienul Islam adalah melaksanakan hukuman setelah diproses secara syar’i oleh mahkamah syariat atas terdakwa pelaku kejahatan yang berhak mendapat hukuman, seperti hukuman atas orang murtad, pencuri dan lain sebagainya.

Walhasil, pelaksanaan hukuman merupakan wewenang sultan. Jika seandainya kaum muslimin tidak memiliki sultan (penguasa) maka cukuplah dengan melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar serta dakwah kepada jalan Allah dengan hikmah, pengajaran yang baik serta perdebatan dengan cara yang terbaik. Individu-individu masyarakat tidak berhak melaksanakan hudud (hukuman). Sebab sebagaimana yang kami sebutkan, dapat menimbulkan kekacauan, pemberontakan dan fitnah. Dan juga dapat menimbulkan mafsadat yang lebih besar daripada mashlahatnya. Salah satu kaidah syar’i yang disepakati bersama menyatakan: “Menolak mafsadat lebih diutamakan daripada meraih maslahat.”

Soal: Fadhilatusy Syaikh, siapakah yang layak dikatakan murtad? Kami ingin Anda menguraikannya dengan jelas. Karena beberapa orang telah divonis kafir dengan alasan yang masih samar!

Jawab: Menetapkan hukum murtad dan keluar dari agama atas seseorang merupakan kewajiban ahli ilmu yang matang ilmunya. Mereka adalah para qadhi di mahkamah-mahkamah syar’i dan para mufti yang diakui kepiawaiannya. Masalah ini tidak jauh berbeda dengan masalah-masalah agama lainnya. Tidak semua orang berhak berkomentar di dalamnya, termasuk juga para penuntut ilmu yang masih dalam taraf pemula atau orang-orang yang mengaku ulama namun pengetahuan agamanya masih dangkal. Mereka tidak punya wewenang membicarakan masalah ini. Sebab jika mereka berkomentar juga maka bisa menimbulkan kerusakan dan akhirnya beberapa kaum muslimin divonis murtad padahal sebenarnya tidak begitu! Pengkafiran seorang muslim yang tidak melakukan salah satu dari pembatal keislaman merupakan bahaya yang sangat besar. Barangsiapa mengatakan kepada saudaranya: Yaa kafir yaa fasik ternyata tidak demikian maka perkataan itu akan kembali kepadanya. Orang yang berhak menjatuhkan vonis murtad adalah para qadhi dan mufti yang diakui kepiawaiannya dan pelaksana hukuman tersebut adalah para penguasa (pemerintah). Selain prosedur di atas, pasti hanya menimbulkan kekacauan belaka.

Soal: Point terakhir yang sangat kami harapkan penjelasannya adalah tentang masalah orang yang merampas dan melangkahi wewenang penguasa. Yaitu tentang orang yang telah melaksanakan had (hukum pidana) tanpa seizin sultan, ada yang berpendapat bahwa hukuman maksimal yang berhak dijatuhkan oleh sultan atas orang itu hanyalah hukuman kurungan (penjara)!

Jawab: Tidak dibenarkan merampas dan melangkahi wewenang penguasa. Barangsiapa membunuh seseorang tanpa prosedur hukum syar’i dan hanya berdasarkan pendapat pribadinya saja maka berhak dijatuhkan hukum qishash atasnya jika ahli waris si korban menuntutnya. Kecuali jika dapat dibuktikan secara syar’i bahwa si korban benar-benar murtad dari Islam maka tidak ada qishash atasnya. Akan tetapi sultan berhak memberikan hukuman peringatan atas perbuatannya yang melangkahi wewenang sultan.

Soal: Bagaimanakah halnya dengan hukuman ta’zir?

Jawab: Kadangkala hukuman ta’zir itu sampai kepada tingkatan hukuman mati sesuai dengan kebijaksanaan penguasa. Misalnya penguasa melihat tidak ada jalan lain untuk mencegah kejahatannya kecuali dengan hukuman mati maka penguasa berhak melakukannya.