Para ulama berbeda pendapat tentang di mana shalat jamaah didirikan, apakah ia harus di masjid atau boleh di selain masjid. Dalam masalah ini terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama berkata, boleh jamaah di selain masjid. Ini adalah madzhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i serta riwayat dari Imam Ahmad.
Imam asy-Syafi’i berkata dalam al-Um I/137, “Semua jamaah di mana seorang laki-laki shalat di rumahnya (dengan berjamaah) atau di masjid kecil atau masjid besar, dengan jumlah jamaah yang sedikit atau banyak sudah cukup baginya. Namun saya lebih suka masjid yang lebih besar dan jamaahnya lebih banyak.”

Pendapat kedua berkata, jamaah hanya dilaksanakan di masjid. Ini adalah riwayat kedua dari Imam Ahmad.

Ibnul Qayyim, salah seorang ulama dalam madzhab Hanbali berkata dalam kitab ash-Shalah hal. 461, “Yang kami yakini di hadapan Allah adalah bahwa seseorang tidak boleh meninggalkan jamaah di masjid kecuali jika ada udzur. Wallahu a’lam bis shawab .”

Dalil-Dalil Kedua Pendapat

Di antara dalil-dalil pendapat pertama adalah hadits Jabir bin Abdullah bahwa Nabi saw bersabda, “Aku diberi lima perkara yang tidak diberikan kepada nabi sebelumku…Dan bumi dijadikan untukku sebagai masjid dan alat bersuci, maka laki-laki mana pun dari umatku yang mendapatkan shalat hendaknya dia shalat.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari.

Yakni hendaknya dia shalat di mana dia mendapatkan shalat, dan dia tidak selalu mendapatkan shalat di tempat yang ada masjidnya. Hal ini menunjukkan bahwa shalat tidak harus di masjid, akan tetapi di mana seseorang mendapatkan shalat.

Di antara dalil pendapat kedua adalah hadits Abu Hurairah berkata, Rasulullah bersabda, “Sungguh aku ingin meminta pelayan-pelayanku agar mengumpulkan kayu bakar kemudian aku pergi kepada kaum yang shalat di rumahnya lalu aku membakarnya atas mereka.” Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah dan at-Tirmidzi.

Pendapat kedua juga berdalil kepada hadits orang buta, Rasulullah saw bertanya kepadanya, “Apakah kamu mendengar panggilan adzan?” Dia menjawab, “Ya.” Rasulullah bersabda, “Jawablah.” Diriwayatkan oleh Muslim, an-Nasa’i dan lain-lain.

Dalam riwayat Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaemah di Shahihnya dan al-Hakim. “Aku tidak menemukan keringanan untukmu.”

Beberapa pertimbangan

1- Pada dasarnya shalat jamaah dilaksanakan di masjid karena salah satu tujuan didirikannya masjid adalah untuk shalat, Nabi saw tidak pernah tertinggal dari masjid dalam lima waktu sejak masjid beliua didirikan sampai beliau wafat kecuali pada saat safar dan sakit.

2- Dengan shalat jamaah di masjid seorang mushalli mendapatkan keutamaan-keutamaan yang tidak dia dapatkan jika dia shalat di rumah misalnya, walaupun dengan berjamaah. “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut namaNya di dalamnya pada waktu pagi dan waktu petang. Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah dan dari mendirikan shalat dan dari membayarkan zakat, mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (An-Nur: 36-37).

3- Jika jamaah tidak dilaksanakan di masjid maka masjid akan sepi, lalu untuk apa masjid dibangun kalau hanya dihadiri setiap minggu saja? Di mana keutamaan memakmurkan masjid? Bukankah mendirikan shalat berjamah di masjid termasuk memakmurkan masjid yang paling utama? “Yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, Maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (At-Taubah: 18).

4- Jamaah dilaksanakan di selain masjid jika ada udzur atau alasan syar’i, misalnya dia dalam perjalanan di suatu tempat yang sulit mendapatkan masjid, maka dalam kondisi ini tidak mengapa shalat di tempat di mana dia mendapatkannya. Wallahu a’lam.
(Izzudin Karimi)