Di antara tokoh-tokoh kasta kedua adalah Abu Yazid al-Busthami, dia adalah Thaifur bin Isa bin Adam bin Syarwasan, lahir di Bustham dari asal usul Majusi wafat tahun 263, banyak kata-kata yang buruk yang dinisbatkan kepadanya, tidak sedikit para pengkaji meragukan kebenaran penisbatannya kepadanya, seperti ucapannya, “Aku keluar dari al-haq kepada al-haq sampai ia berteriak padaku, ‘Wahai siapa kamu adalah aku.’ Aku telah mewujudkan derajat fana` pada Allah.” Juga perkataannya, “Maha suci aku, betapa besar perkaraku.” Ucapan-ucapan yang mana pengucapnya tidak ditoleransi dalam keadaan apa pun, Syaikhul Islam menggolongkannya ke dalam kasta ini, tetapi dia meragukan penisbatan ucapan-ucapan ini kepadanya, karena pada saat yang sama Abu Yazid memiliki perkataan-perkataan yang sesuai dengan sunnah. wallahu a’lam.

Di antara tokoh kasta ini adalah al-Hakim at-Tirmidzi, Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin al-Husain at-Tirmidzi wafat tahun 320 H. Dia adalah orang pertama yang berbicara tentang khatm al-wilayah (penutup kewalian), dia menulis kitab dalam hal ini yang dia beri nama yang sama, kitab ini memicu tuduhan kekufuran kepadanya dan akhirnya dia terusir dari kotanya Tirmidz. Dinisbatkan kepadanya bahwa dia berkata, “Para wali mempunyai penutup sebagaimana para nabi mempunyai penutup.” Perkataan ini membuka jalan di depan para filosof sufi seperti Ibnu Arabi, Ibnu Sab’in dan at-Tilmasani untuk mengaku sebagai penutup para wali dan bahwa kedudukannya melebihi kedudukan para nabi.

Kasta ketiga

Dalam kasta ini tasawuf bercampur dengan filsafat Yunani, lahir akidah hulul, ittihad, wihdatul wujud, bahwa al-maujud al-haq adalah Allah, selainnya adalah bentuk-bentuk palsu dan khayalan belaka. Dengan ini, kasta ini tergolong kasta paling berbahaya dan fase paling gawat yang dilalui oleh tasawuf, bid’ah amaliah telah bergeser menjadi bid’ah ilmiah yang membuat tasawuf melenceng dari Islam secara keseluruhan.

Di antara tokoh-tokoh kasta ini adalah al-Hallaj, as-Sahrawurdi, Ibnu Arabi, Ibnu al-Faridh dan Ibnu Sab’in.

Al-Hallaj, dia adalah Abu Mughits al-Husain bin Mansur al-Hallaj, 244 – 309 H, lahir di Persia sebagai cucu seorang laki-laki yang beragama Zeroaster, dia tumbuh di Wasith Irak, paling terkenal dengan hulul dan ittihadnya, dituduh kafir, dia dibunuh dengan disalib dengan empat tuduhan yaitu, mempunyai hubungan dengan orang-orang Qaramithah, ucapannya, “Akulah al-haq”, para pengikutnya menganggapnya sebagai Tuhan dan pendapatnya bahwa haji ke Baitullah al-Haram tidak wajib.
Al-Hallaj berkepribadian tidak jelas, di samping dia adalah seorang yang sulit, keras kepala dan angkuh. Wallahu a’lam.

Pada paruh kedua abad kelima muncul Abu Hamid al-Ghazali, Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad ath-Thusi yang berjuluk Hujjatul Islam 450-505 H. Al-Ghazali tumbuh di lingkungan di mana madzhab-madzhab dan aliran-aliran berkecamuk, ilmu kalam, filsafat, batiniyah dan tasawuf, perkara yang menimbulkan kebingungan pada dirinya yang membuatnya terombang-ambing di antara empat aliran tersebut pada saat dia tinggal di Baghdad.

Al-Ghazali melakukan perjalanan demi mencari ilmu ke Jurjan dan Naisabur, dia mendampingi Nizham al-Mulk, mengajar di madrasah an-Nizhamiyah di Baghdad, dia juga melakukan perjalanan ke Baitul Maqdis lalu ke Hejaz kemudian pulang ke kampungnya.

Al-Ghazali menulis beberapa kitab seperti Tahafut al-Falasifah, al-Munqidz min adh-Dhalal dan yang paling kesohor adalah Ihya` Ulumuddin, al-Ghazali juga terkenal dengan kasyafnya dalam ma’rifah. Salah satu usaha mulia al-Ghazali adalah pembeberannya terhadap kedok filsafat Yunani dan bualan aliran batiniyah, hal itu dia tulis dalam kitabnya Fadhaih al-Bathiniyah.

Muridnya Abdul Ghafir al-Farisi menceritakan bahwa akhir kehidupan al-Ghazali setelah dia berkeliling dan pulang ke negerinya Thus, Abdul Ghafir berkata, “Akhir kehidupannya adalah perhatian kepada hadits Rasulullah saw dan bergaul dengan ahlinya, menelaah ash-Shahihain yang merupakan hujjatul Islam.” Hal ini terjadi pada al-Ghazali setelah dia berkawan dengan ahli hadits di kotanya seperti Abu Suhail Muhammad bin Abdullah al-Hafshi, al-Ghazali membaca Shahih al-Bukhari kepadanya, Qadhi Abu al-Fath al-Hakimi ath-Thusi, al-Ghazali membaca Sunan Abu Dawud kepadanya.

Dalam fase akhir ini dia menulis kitab Iljam al-Awam an Ilm al-Kalam, yang berisi celaan terhadap ilmu kalam dan dukungan kepada pendapat dan manhaj salaf, al-Ghazali berkata, “Dalil bahwa madzhab salaf adalah yang haq, bahwa lawannya adalah bid’ah, bid’ah tercela dan sesat, terjunnya orang awam ke dalam takwil dan kajian tentangnya dari para ulama adalah bid’ah yang tercela, sebaliknya menghentikan diri darinya adalah sunnah yang terpuji.” Dalam fase ini juga al-Ghazali rujuk dari keyakinannya tentang kasyaf

Dari al-Mausu’ah al-Muyassarah, isyraf Dr. Mani’ al-Juhani.