4. Larangan al-Gharar

(مَنْعُ الْغَرَرِ)

Definisi al-Gharar

Kata ”al-gharar“ dalam bahasa Arab adalah isim mashdar dari kata (غرر) yang berkisar pengertiannya pada kekurangan, pertaruhan (al-khathr) , serta menjerumuskan diri dalam kehancuran dan ketidakjelasan.

Adapun dalam terminologi syariat, pendapat para ulama dalam hal ini hampir sama. Di antaranya adalah:
1. Imam as-Sahkhasi rahimahullahu menyatakan, “Al-Gharar adalah yang terselubung (tidak jelas) hasilnya”.
2. Imam asy-Syairazi rahimahullahu menyatakan, ” Al-Gharar adalah yang terselubung dan tidak jelas hasilnya”
3. Abu Ya’la rahimahullahu mendefinisikannya dengan sesuatu yang berada antara dua perkara yang tidak jelas hasilnya.
4. Ibnu Taimiyah rahimahullahu menyatakan, “Al-Gharar adalah yang tidak jelas hasilnya (Majhul al-‘Aqibah)”.
5. Sedangkan menurut Syekh as-Sa’di rahimahullahu, Al-Gharar adalah al-mukhatharah (pertaruhan) dan al-jahalah (ketidakjelasan). Hal ini masuk dalam perjudian.

Dari sini dapat diambil pengertian bahwa “jual-beli al-gharar adalah semua jual-beli yang mengandung ketidakjelasan atau pertaruhan atau perjudian; atau semua yang tidak diketahui hasilnya atau tidak diketahui hakikat dan ukurannya.”

Ketentuan Dasar Al-Gharar yang Dilarang dalam Muamalah

Kaidah ini merupakan kaidah yang telah disepakati para ulama dalam muamalah.

Mengenal kaidah Al-Gharar sangat penting dalam muamalah, karena banyak permasalahan muamalah yang bersumber dari ketidakjelasan dan ada unsur taruhan di dalamnya. Oleh karena itu Imam an-Nawawi rahimahullah menyatakan, “Adapun larangan jual-beli al-Gharar, maka ia merupakan pokok penting dari kitab jual-beli. Oleh karena itu, Imam Muslim rahimahullahu mengedepankannya. Dalam hal ini tercakup permasalahan yang sangat banyak, tidak terhitung.”

Demikianlah, al-Gharar menjadi salah satu pokok syariat dalam masalah muamalah baik jual-beli ataupun seluruh hukum-hukum mu’awadhah (barter).

Kaidah ini didasari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli al-hashah dan jual-beli al-gharar.” (Hr. Muslim)

Banyak permasalahan yang masuk dalam kaidah ini, di antaranya larangan jual-beli habalatul habalah (بيع حبلة الحبلة ), al-malaaqih (بيع الملاقيح), al-mudhamin (بيع المضامين), jual-beli buah-buahan sebelum tampak kepastian buahnya (بيع الثمار قبل بدو صلاحها), jual-beli mulamasah (بيع الملامسة), jual-beli munabadzah (بيع المنابذة), dan sejenisnya dari jual-beli yang terdapat gharar di dalamnya, yang tidak jelas hasilnya berkisar antara untung dan ‘buntung’, baik gharar-nya terdapat pada akad transaksi, pembayaran, atau tempo pembayaran.

Di antara hal yang harus diperhatikan dalam mengenal al-gharar yang terlarang adalah tidak boleh memahami larangan syariat Islam terhadap al-gharar secara mutlak yang telah ditunjukkan oleh lafal larangan tersebut. Namun, harus melihat dan meneliti maksud syariat dalam larangan tersebut, karena hal tersebut dapat menutup pintu keleluasaan jual-beli dan itu tentunya bukan tujuan syariat, sebab hampir semua bentuk muamalah tidak lepas dari al-gharar.

Oleh karena itu, para ulama memberikan syarat bagi al-gharar yang terlarang sebagai berikut:

1. Gharar-nya besar dan dominan pada akad transaksi (أَنْ يَكُوْنَ الْغَرَرُ كَثِيْراًَ غَالِباًَ عَلَى الْعَقْدِ)

Dengan demikian, gharar yang sepele (sedikit) diperbolehkan dan tidak merusak keabsahan akad. Ini perkara yang telah disepakati para ulama, sebagaimana disampaikan Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid (2/155) dan Imam Nawawi dalam al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (9/258). Para ulama memberikan contoh dengan masuk ke kamar mandi umum untuk mandi dengan membayar. Ini mengandung gharar, karena orang berbeda dalam penggunaan air dan lamanya tinggal di dalam. Demikian juga, persewaan (rental) mobil untuk sehari atau dua hari, karena orang berbeda-beda dalam penggunaannya dan cara pemakaiannya. Ini semua mengandung gharar, namun dimaafkan syariat, karena gharar-nya tidak besar.

2. Kebutuhan umum tidak membutuhkannya (أَلاَ تَدْعُو الْحَاجَةُ إِلَى هَذَا الْغَرَرِ حَاجَةً عَامَةً)

Kebutuhan umum (الْحَاجَةُ الْعَامَةُ) dapat disejajarkan dengan darurat.

Al-Juwaini rahimahullahu menyatakan,

الحَاجَةُ فِيْ حَقِّ النَّاسِ كَافَةً تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُوْرَةَ

“Kebutuhan pada hak manusia secara umum disejajarkan dengan darurat). Batasannya adalah semua hal yang seandainya tidak dilakukan orang, maka mereka akan merugi pada saat itu atau di kemudian hari.”

Ibnu Taimiyah rahimahullahu menyatakan,

وَالشَّارِعُ لاَ يُحَرِّمُ مَا يَحْتَاجُ النَّاسُ إِلَيْهِ مِنَ الْبَيْعِ لأَجْلِ نَوْعٍ مِنَ الْغَرَرِ بَلْ يُبِيْحُ مَا يَحْتَاجُ إِلَيْهِ النَّاسُ مِنْ ذَلِكَ.

“Syariat tidak mengharamkan jual-beli yang dibutuhkan manusia hanya karena ada sejenis gharar. Bahkan, syariat memperbolehkan semua hal yang dibutuhkan manusia dari hal itu.”

Kaidah yang disampaikan para ulama ini, harus terwujudkan kebutuhan tersebut secara pasti dan tidak ada solusi syar’i lainnya. Apabila kebutuhan ini telah menjadi kebutuhan umum, maka disejajarkan dengan darurat.

Dasarnya adalah hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma yang berbunyi,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الثِّمَارِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلاَحُهَا

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli buah-buahan hingga tampak kepastiannya menjadi buah.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan kemudahan menjual buah dari pohon kurma setelah tampak menjadi buah, lalu dibiarkan hingga sempurna kematangannya, walaupun sebagiannya belum ada. Hal ini menunjukkan kebolehan gharar karena hajat umum . Dengan demikian diambil kesimpulan dari hadits ini, bahwa apabila telah tampak menjadi buah seperti berwarna merah pada al-busr (kurma muda) atau menguning, maka jual-belinya sah, padahal sebagian dari buah-buah tersebut belum ada. Ini jelas gharar. Meskipun demikian, syariat memperbolehkannya karena kebutuhan umum.

3. Mungkin menghindarinya tanpa susah payah (أن يمكن التحرز من الغرر بلا حرج ولا مشقة)

Imam Nawawi dalam al-Majmu’ (9/258) dan Ibnul Qayyim dalam Zaad al-Ma’ad (5/820) menukilkan adanya ijma’ bahwa gharar yang tidak mungkin dihindari, kecuali dengan susah payah, maka diperbolehkan.

Para ulama mencontohkannya dengan pondasi rumah serta bangunan, dan isi kandungan hewan yang hamil. Seseorang membeli rumah dalam keadaan tidak mengetahui keadaan pondasi dan tiang-tiangnya, serta bagaimana proses finishing pembangunannya. Juga isi kandungan hewan yang hamil, apakah kandungannya jantan atau betina, berbilang atau hanya seekor, dan apakah hidup atau mati. Ini jelas gharar, namun diperbolehkan karena hal seperti ini tidak dapat diketahui jelas. Seandainya dipaksa mengetahuinya tentulah harus dengan sangat susah payah.

Imam an-Nawawi rahimahullahu menyatakan, “Pada asalnya, jual-beli gharar dilarang dengan dasar hadits ini, dan maksudnya adalah yang mengandung unsur gharar yang jelas dan mungkin dilepas darinya. Adapun hal-hal yang dibutuhkan dan tidak mungkin dipisahkan darinya seperti pondasi rumah, membeli hewan yang mengandung dengan adanya kemungkinan yang dikandung hanya seekor atau lebih dan jantan atau betina. Juga apakah lahir sempurna atau cacat. Demikian juga membeli kambing yang memiliki air susu dan sejenisnya. Semua ini diperbolehkan menurut ijma’. Demikian juga, para ulama menukilkan ijma’ tentang kebolehan barang-barang yang mengandung gharar yang sepele, di antaranya umat ini sepakat mengesahkan jual-beli baju jubah mahsyuwah….”

Ibnul Qayyim rahimahullahu pun menyatakan, “Tidak semua gharar menjadi sebab pengharaman. Apabila sepele (sedikit) atau tidak mungkin dipisah darinya, maka keberadaan gharar tidak menjadi penghalang keabsahan akad jual-beli, karena gharar (ketidakjelasan) yang ada pada pondasi rumah, isi perut hewan yang mengandung, atau buah terakhir yang tampak menjadi bagus sebagiannya saja, tidak mungkin dapat lepas darinya. Demikian juga, gharar yang ada dalam hammam (pemandian umum) dan minuman dari bejana dan sejenisnya adalah gharar yang sepele. Karenanya, keduanya tidak mencegah jual-beli. Hal ini tentunya tidak sama dengan gharar yang banyak, yang mungkin dapat dilepas darinya.”

4. Gharar yang dilarang hanya pada akad mu’awadhah (أن يكون الغرر المنهي عنه في عقود المعاوضات)

Inilah pendapat imam Malik rahimahullahu dan dirajihkan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu.

Adapun kewajiban larangan ghoror pada akad tabarru’at (التبرعات) seperti shadaqah, hibah, dan sejenisnya masih diperdebatkan dalam dua pendapat, setelah mereka (para ulama –ed) sepakat tentang tidak adanya larangan gharar pada al-washiyat.

a. Diperbolehkan adanya gharar dalam akad tabarru’at,

Inilah pendapat mazhab Malikiyah, serta dirajihkan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim . Mereka berdalil dengan hadits Amru bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya yang berbunyi,

فَقَامَ رَجُلٌ فِي يَدِهِ كُبَّةٌ مِنْ شَعْرٍ فَقَالَ أَخَذْتُ هَذِهِ لِأُصْلِحَ بِهَا بَرْذَعَةً لِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا مَا كَانَ لِي وَلِبَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَهُوَ لَكَ

“Maka ada seseorang yang membawa sekumpulan bulu rambut (seperti wig) berdiri di tangannya, lalu berkata, ‘Aku mengambil ini untuk memperbaiki pelana kudaku’. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun yang menjadi hakku dan bani Abdil Muthalib, maka itu untukmu.” (Hr. Abu Dawud dan dinilai hasan oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil 5/36–37)

Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadiahkan bagiannya dan bagian Bani Abdil Muthallib dari benda tersebut, dan tentunya ukurannya tidak jelas. Dengan demikian gharar tersebut tidak berlaku pada akad tabarru’at.

Pendapat ini dikuatkan dengan “kaidah asal dalam muamalah adalah sah”, baik dalam akad mu’awadhah ataupun tabaru’at. Asal hukum ini tidak berubah dengan larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari gharar dalam hadits Abu Hurairah terdahulu, karena itu menyangkut akad muawadhah saja. Apalagi perbedaan antara akad mu’awadhah dengan tabarru’at telah jelas. Akad mu’awadhah dilakukan oleh seseorang yang ingin melakukan usaha dan perniagaan, sehingga disyaratkan pengetahuan dan kejelasan yang tidak disyaratkan dalam akad tabarru’at. Hal ini terjadi, karena akad tabarru’at yang dilakukan oleh seseorang, tidaklah untuk usaha, namun untuk berbuat baik dan menolong orang lain.

b. Gharar berlaku juga pada akad tabarru’at; inilah pendapat mayoritas ulama.

Namun yang rajih adalah pendapat yang pertama.

Berdasarkan hal ini, maka muncullah banyak masalah yang disampaikan ulama, di antaranya:

Pemberian majhul. Bentuk gambarannya adalah, seorang menghadiahkan sebuah mobil yang belum diketahui jenis, merek dan bentuknya, atau memberi sesuatu yang ada di kantongnya. Ia berkata, “Saya hadiahkan uang yang ada di kantong saya kepadamu.” Pertanyaannya, apakah ini akad transaksi yang shahih atau tidak? Yang rajih adalah akad pemberian ini sah, sebab tidak disyaratkan hadiahnya harus jelas.

Demikian juga, seandainya ia menghadiahkan sesuatu miliknya yang telah dicuri atau dirampok, maka hukumnya sah. Juga, menghadiahkan barang-barang yang hilang atau budak yang kabur.

Dengan demikian jelas, bahwa permasalahan akad tabarru’at lebih luas dari permasalahan akad mu’awadhah.

5. Gharar terdapat pada asal, bukan sampingan (taabi’)

Gharar yang ikut kepada asal adalah gharar yang dimaafkan, karena terdapat kaidah bahwa sesuatu itu diperbolehkan apabila terikutkan dengan sesuatu yang lain, sedangkan dia menjadi tidak boleh bila ia terpisahkan darinya (hanya berdiri sendiri).

(يُغْتَفَرُ فِيْ شَيْئٍ إِذَا كَانَ تَابِعًا مَالاَ يُغْتَفَرُ إِذَا كَانَ أَصلاًَ)

Dalilnya adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi,

مَنْ اِبْتَاعَ نَخْلاً بَعْدَ أَنْ تُؤَبَّرَ فَثَمَرَتُهَا لِلْبَائِعِ إِلَّا أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ وَمَنْ ابْتَاعَ عَبْدًا وَلَهُ مَالٌ فَمَالُهُ لِلَّذِي بَاعَهُ إِلَّا أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ

“Barangsiapa yang membeli pohon kurma setelah dikawinkan, maka buahnya milik penjual, kecuali pembeli mensyaratkannya, dan barangsiapa yang membeli hamba (budak -ed) dan hamba (budak –ed) itu memiliki harta, maka hartanya milik pihak yang menjualnya, kecuali pembeli budak tersebut mensyaratkannya (mensyaratkan untuk juga memiliki harta si budak setelah dia membeli budak tersebut -ed).“ (Hr. al-Bukhari)

Dalam hadits ini pembeli diperbolehkan mengambil hasil talqih tersebut, apabila talqih tersebut ada setelah pembeli mensyaratkannya.

Padahal, hasilnya (buahnya) belum ada atau belum dapat dipastikan keberadaannya.

(بَيْعُ الثِّمَارِ قَبْلََ بُدُوِ صَلاَحِهَا)

Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu dalam menjelaskan dasar kaidah ini menyatakan, “Nabi memperbolehkan bila seorang menjual pohon kurma yang telah dikawinkan (talqih) untuk pembeli yang mensyaratkan (untuk juga mengambil) buahnya. Sehingga, ia telah membeli buah sebelum waktu baiknya. Namun, itu diperbolehkan karena (buahnya) terikut, bukan asal. Sehingga jelaslah, gharar yang kecil diperbolehkan apabila terikutkan (dengan sesuatu yang lain), yang (ini tentu) tidak boleh bila selain dari keadaan ini.”

Demikianlah beberapa kaidah dalam gharar yang dilarang syariat.

Aplikasi Kaidah al-Gharar

Di antara contoh muamalah yang memiliki gharar yang terlarang adalah:

1. Jual-beli al-hashah (بيع الحصاة)

Larangannya berdasar pada hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhua dalam Shahih Muslim yang berbunyi,

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

Dari Abu Hurairah-–semoga Allah meridhainya–, “Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli al-hashah dan jual-beli gharar.”

Para ulama rahimahumullah memberikan contoh jual-beli ini:

Seseorang memberi batu kepada temannya dan menyatakan, “Lemparlah batu ini pada tanahku! Sejauh mana lemparan batu tersebut dari tanah, maka tanah tersebut menjadi milikmu, dengan pembayaran sekian dirham darimu.” Apabila lemparannya kuat, maka pembeli beruntung dan penjual merugi. Bila lemparannya lemah, maka sebaliknya (si pembeli rugi dan si penjual yang untung).

2. Jual-beli mulamasah dan munabadzah (الملامسة والمنابذة)

Jual-beli mulamasah dan munabadzah adalah jual-beli yang dilarang pada hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dalam Shahihain (kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim) yang berbunyi,

أن النبي صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ نَهَى عَنْ الْمُلَامَسَةِ وَالْمُنَابَذَة

“Sesungguhnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli mulamasah dan munabadzah.”

Jual-beli mulamasah adalah jual-beli dengan bentuk seorang menyatakan kepada temannya, “Pakaian apa pun yang sudah kamu pegang, maka ia milikmu dengan pembayaran sekian rupiah darimu.” Oleh karena itu, bila ia memegang pakaian yang mahal, maka ia beruntung dan bila ia memegang pakaian yang murahan, maka ia merugi.

Adapun jual-beli munabadzah terjadi dengan menyatakan, “Ambil batu ini, lalu lemparkan kepada pakaian-pakaian tersebut! Pakaian yang terkena lemparan tersebut akan menjadi milikmu dengan pembayaran sekian rupiah darimu.”

3. Jual-beli calon anak dari janin yang dikandung (بيع حبل الحبلة)

Larangannya terdapat dalam hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi,

أن النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ حَبَل الحَبَلة

“Sesungguhnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli calon anak dari janin yang dikandung.”

Jual-beli habalul habalah yang merupakan menjual hasil produksi yang masih belum jelas termasuk jual-beli yang populer di masa jahiliyah. Mereka terbiasa menjual anak hewan yang masih dalam kandungan binatang yang bunting, dan menyerahkannya secara tertunda. Maka Islam melarangnya. Letak unsur gharar dalam jual-beli habalul habalah ini jelas sekali. Kalau tujuannya adalah menjual janin yang masih dalam perut induk unta, maka janin itu jelas belum jelas keberadaannya. Pembelinya berada dalam posisi yang mengkhawatirkan, karena ia bisa memperoleh barang yang dia beli, dan bisa juga tidak.

Kalau yang menjadi tujuannya adalah menjual dengan pembayaran di muka hingga lahirnya anak unta tersebut, unsur penjualan “kucing dalam karung”-nya pun amat jelas, karena sama saja menjual sesuatu dengan masa pembayaran yang tidak diketahui. Di dalam jual-beli ini tidak diketahui secara pasti, kapan unta tersebut akan lahir.

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang jual-beli habalul habalah, yakni sejenis jual-beli yang biasa dilakukan masyarakat jahiliyah. Pada jual beli tersebut, seseorang membeli seekor unta hingga melahirkan anak unta, kemudian anak dalam kandungan unta tersebut juga lahir pula (secara berantai).

4. Jual-beli buah sebelum tampak kepantasannya untuk layak dikonsumsi ( بَيْعُ الثِّمَارِ قَبْلََ بُدُوِ صَلاَحِهَا)

Jual-beli ini terlarang dalam hadits yang berbunyi,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الثِّمَارِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلاَحُهَا

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli buah-buahan hingga tampak kepastiannya menjadi buah (layak dikonsumsi).” (Muttafaqun ‘alaihi)

Hal tersebut disebabkan adanya kemungkinan rusak dan gagalnya hasil panen buah tersebut sebelum pembeli dapat memanfaatkannya.

5. Asuransi

Asuransi (ta’min) adalah satu transaksi yang tidak pernah ada di zaman dahulu. Asuransi didefinisikan sebagai sebuah sistem untuk merendahkan kehilangan finansial dengan menyalurkan risiko kehilangan dari seseorang atau badan ke lainnya.

Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang usaha, perasuransian adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.

Ahli fikih kontemporer bersilang pendapat dalam permasalahan ini. Ada yang memperbolehkan, dan ini sedikit jumlahnya. Mereka menyatakan bahwa yang dikeluarkan seseorang itu kecil sekali dibandingkan dengan yang akan didapatkannya, dan itu berarti al-gharar yang kecil. Namun bila dilihat pada jumlah orang yang ikut serta, dan keuntungan yang didapat perusahaan perasuransian, gharar yang terdapat dalam transaksi ini jelas besar sekali. Demikianlah, para ahli fikih melihat sesuatu itu bukan kepada seorang individu manusia saja, namun kepada perlindungan seluruh manusia, karena keberadaan syariat adalah untuk menjaga harta manusia. Oleh karena itu, Lajnah Daimah lil uhuts al-‘Ilmiyah wal-Ifta (Komite Tetap dalam Riset Ilmiyah dan Fatwa Negara Saudi Arabia) dalam ketetapan no. 55 tanggal 4/4/1397 H menetapkan ketidakbolehan asuransi seperti ini, karena termasuk akad pertukaran harta yang mengandung gharar besar dan termasuk jenis al-qimar (perjudian).

Hikmah Larangan Gharar

Hikmah dilarangnya jual-beli kamuflatif atau yang mengandung unsur “menjual kucing dalam karung” adalah karena jual-beli tersebut mengakibatkan seseorang memakan harta orang lain dengan cara haram. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan hal itu dalam sabda beliau tentang larangan menjual buah-buahan yang belum layak dikonsumsi atau belum tumbuh,

“Tidakkah kalian berpikir, kalau Allah tidak mengijinkan buah itu untuk tumbuh, dengan alasan apa si penjual memakan harta pembelinya?”

Jenis-jenis Gharar

Bila ditinjau pada terjadinya jual-beli, gharar terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:

1. Jual-beli barang yang belum ada (ma’dum), seperti jual-beli habal al-habalah (jual-beli tahunan), yakni menjual buah-buahan dalam transaksi selama sekian tahun. Buah-buahan tersebut belum ada, atau menjual buah yang belum tumbuh sempurna (belum layak dikonsumsi).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang jual-beli dengan sistem kontrak tahunan, yakni membeli (hasil) pohon selama beberapa tahun, sebagaimana dalam hadits yang berbunyi,

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْمُحَاقَلَةِ وَالْمُزَابَنَةِ وَالْمُعَاوَمَةِ وَالْمُخَابَرَةِ قَالَ أَحَدُهُمَا بَيْعُ السِّنِينَ هِيَ الْمُعَاوَمَةُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli muhaqalah, muzabanah, mu’awamah, dan mukhabarah. Salah seorang dari keduanya menyatakan, ‘Jual-beli dengan sistem kontrak tahunan adalah mu’awamah.’ ” (Hr. Muslim)

Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia menceritakan,

كَانَ النَّاسُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَبَايَعُونَ الثِّمَارَ فَإِذَا جَدَّ النَّاسُ وَحَضَرَ تَقَاضِيهِمْ قَالَ الْمُبْتَاعُ إِنَّهُ أَصَابَ الثَّمَرَ الدُّمَانُ أَصَابَهُ مُرَاضٌ أَصَابَهُ قُشَامٌ عَاهَاتٌ يَحْتَجُّونَ بِهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا كَثُرَتْ عِنْدَهُ الْخُصُومَةُ فِي ذَلِكَ فَإِمَّا لَا فَلَا تَتَبَايَعُوا حَتَّى يَبْدُوَ صَلَاحُ الثَّمَرِ

“Masyarakat di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan jual-beli buah-buahan. Kalau datang masa panen dan datang para pembeli yang telah membayar buah-buahan itu, para petani berkata, ‘Tanaman kami terkena diman , terkena penyakit, terkena qusyam , dan berbagai hama lain.’ Maka, ketika mendengar berbagai polemik yang terjadi dalam hal itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Bila tidak, jangan kalian menjualnya sebelum buah-buahan itu layak dikonsumsi (tampak kepantasannya).

Demikianlah, dengan melarang jual-beli ini, Islam memutus kemungkinan terjadinya kerusakan dan pertikaian. Dengan cara itu pula, Islam memutuskan berbagai faktor yang dapat menjerumuskan umat ini ke dalam kebencian dan permusuhan dalam kasus jual-beli tersebut.

2. Jual-beli barang yang tidak jelas (majhul)
– Mutlak, seperti pernyataan seseorang, “Saya jual barang ini dengan harga seribu rupiah”, padahal barangnya tidak diketahui secara jelas; atau
– Jenisnya, seperti ucapan seseorang, “Aku jual mobilku kepadamu dengan harga sepuluh juta,” namun jenis dan sifat-sifatnya tidak jelas; atau
– Tidak jelas ukurannya, seperti ucapan seseorang, “Aku jual kepadamu tanah seharga lima puluh juta,” namun ukuran tanahnya tidak diketahui.

Kesimpulannya:

Bisa jadi, objek penjualan itu tidak diketahui secara mutlak, seperti bila seorang penjual mengatakan, “Saya jual sebuah mobil kepada Anda.” Bisa juga, sesuatu yang tidak diketahui namun tertentu jenis atau ukurannya, seperti yang dikatakan seorang penjual, “Saya jual seluruh isi rumah saya kepada Anda,” atau, “Saya jual kepada Anda seluruh buku-buku perpustakaan saya,” dan sejenisnya.

Atau bisa juga sesuatu yang tidak diketahui macam dan kriterianya, namun jenis dan ukurannya diketahui, seperti yang dikatakan seorang penjual, “Saya jual kepada Anda pakaian yang ada dalam buntelan kainku,” atau, “Saya jual kepada Anda budak milik saya.”

3. Jual-beli barang yang tidak mampu diserahterimakan

Seperti jual-beli budak yang kabur atau jual-beli mobil yang dicuri. Ketidakjelasan ini juga terjadi pada harga, barang, dan pada akad jual-belinya. Ketidakjelasan pada harga dapat terjadi pada jumlahnya, seperti segenggam dinar. Sedangkan, ketidakjelasan pada barang– seperti dijelaskan di atas–dan ketidakjelasan pada akad, seperti menjual dengan harga sepuluh rupiah bila kontan dan dua puluh rupiah bila diangsur, tanpa menentukan salah satu dari keduanya sebagai pembayarannya.

Seperti juga jual-beli unta yang sudah hilang, ikan yang ada dalam air, dan burung yang terbang di langit. Bentuk penjualan ini ada yang dipastikan haram dan ada juga yang masih diperdebatkan. Di antara yang masih diperdebatkan adalah menjual barang jualan sebelum berada di tangan.

Syekh as-Sa’di rahimahullahu menyatakan, “Kesimpulan jual-beli gharar kembali kepada jual-beli ma’dum, seperti habal al-habalah dan as-sinin, atau kepada jual-beli yang tidak dapat diserahterimakan, seperti budak yang kabur dan sejenisnya, atau kepada ketidakjelasan–baik mutlak pada barangnya atau jenisnya atau sifatnya–.”

Gharar yang Diperbolehkan

Menurut hukumnya, jual-beli yang mengandung unsur gharar ada tiga macam, yaitu:

1. Yang disepakati larangannya dalam jual-beli, seperti jual-beli yang belum ada wujudnya (ma’dum).

2. Disepakati kebolehannya, seperti jual-beli rumah dengan pondasinya, padahal jenis dan ukuran serta hakikat sebenarnya (dari pondasi rumah tersebut) tidak diketahui.

Hal ini diperbolehkan karena kebutuhan dan tidak mungkin lepas darinya. Imam an-Nawawi rahimahullahu menyatakan, “Pada asalnya, jual-beli gharar dilarang dengan dasar hadits ini, dan maksudnya adalah yang mengandung unsur gharar yang jelas dan mungkin dilepas darinya.

Adapun hal-hal yang dibutuhkan dan tidak mungkin dipisahkan darinya, seperti pondasi rumah, membeli hewan yang mengandung–dengan adanya kemungkinan yang dikandung hanya seekor atau lebih dan jantan atau betina, apakah lahir sempurna atau cacat–, termasuk juga membeli kambing yang memiliki air susu dan sejenisnya. Seluruh hal tersebut diperbolehkan menurut ijma’.

Demikian juga, para ulama menukilkan ijma’ tentang kebolehan barang-barang yang mengandung gharar yang sepele, di antaranya: umat ini sepakat mengesahkan jual-beli baju jubah mahsyuwah….

Ibnul Qayyim rahimahullahu pun menyatakan, “Tidak semua gharar menjadi sebab pengharaman. Apabila sepele (sedikit) atau tidak mungkin dipisahkan darinya, maka gharar tidak menjadi penghalang keabsahan akad jual-beli, karena gharar (ketidakjelasan) yang ada pada pondasi rumah, dalam perut hewan yang mengandung, atau buah terakhir yang tampak menjadi bagus sebagiannya saja, tidak mungkin dapat lepas darinya. Demikian juga, gharar yang ada dalam hammam (pemandian) dan minuman dari bejana dan sejenisnya adalah gharar yang sepele. Dengan demikian, keduanya tidak mencegah jual-beli. Hal ini tentunya tidak sama dengan gharar yang banyak yang mungkin dapat dilepas darinya.”

Dalam kitab lainnya, beliau menyatakan, “Terkadang sebagian gharar dapat disahkan, apabila hajat menuntutnya, seperti ketidaktahuan akan mutu pondasi rumah, serta membeli kambing hamil dan masih memiliki air susu. Hal ini disebabkan karena pondasi rumah ikut dengan rumah, dan karena hajat menuntutnya, lalu tidak mungkin melihatnya.”

Dari sini dapat disimpulkan bahwa gharar yang diperbolehkan adalah gharar yang sepele atau gharar-nya tidak sepele, namun jika gharar tersebut dilepaskan maka akan terjadi kesulitan. Oleh karena itu, Imam Nawawi rahimahullahu menjelaskan kebolehan jual-beli yang mengandung gharar, apabila ada hajat untuk melanggar gharar dan jika gharar tersebut tidak dilakukan maka akan timbul kesulitan, atau gharar-nya sepele.

3. Yang masih diperselisihkan, apakah diikutkan pada bagian yang pertama atau kedua.

Misalnya: menjual sesuatu yang diinginkan tetapi masih terpendam di dalam tanah (seperti: wortel, kacang tanah, bawang, dan lain-lainnya). Para ulama sepakat tentang keberadaan gharar dalam jual-beli tersebut, namun para ulama masih berbeda pendapat dalam menghukuminya. Perbedaan mereka ini terjadi karena sebagian dari mereka, di antaranya Imam Malik rahimahullahu, memandang bahwa gharar-nya sepele atau tidak mungkin dilepas darinya dengan adanya kebutuhan menjual, sehingga ulama-ulama tersebut memperbolehkan gharar semacam ini. Adapun sebagian ulama yang lainnya, di antaranya Imam Syafi’i dan Abu Hanifah rahimahumallah, memandang bahwa gharar-nya besar dan memungkinkan untuk dilepas darinya, sehingga para ulama ini mengharamkan gharar tersebut.

Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim rahimahullahu merajihkan pendapat yang memperbolehkan gharar dalam hal ini.

Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahuh menyatakan, “Adapun Imam Malik, maka mazhabnya adalah mazhab terbaik dalam permasalahan ini. Menurut mazhab Imam Malik, hal-hal ini, semua hal yang dibutuhkan, atau hal-hal yang mengandung sedikit gharar, boleh diperjual-belikan… hingga (mazhab Imam Malik pun) memperbolehkan jual-beli benda-benda yang tidak tampak di permukaan tanah seperti wortel, lobak dan sebagainya.“

Sedangkan Ibnul Qayyim rahimahullahu menyatakan, “Jual-beli yang tidak tampak di permukaan tanah, tidak memiliki dua perkara tersebut, karena gharar-nya sepele (kecil) dan tidak mungkin dilepas darinya.”

Dengan demikian, jelaslah, tidak semua jual-beli yang mengandung unsur gharar dilarang. Hal ini membuat kita harus lebih mengenal kembali pandangan para ulama seputar permasalahan ini, dengan memahami kaidah-kaidah dasar yang telah dijelaskan. [Bersambung Insyaa Allah]