1. Asal dalam Muamalah Adalah Halal

(الأَصْلُ فِي الْمُعَامَلاَتِ الْحِلُّ)

Inilah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, bahkan Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan bahwa sebagian ulama menyampaikan ijma’ (kesepakatan) dalam hal ini. Namun, hikayat ijma’ ini tidak benar karena mazhab azh-Zhahiriyah menyelisihinya (tidak menyetujui kaidah ini).

Pengertian Kaidah

Pengertian kaidah ini adalah “kaidah dalam semua akad yang terjadi antara dua pihak adalah halal dan mubah secara umum”. Sehingga semua bentuk muamalah yang belum ada atau telah ada terdahulu, pada asalnya boleh, kecuali ada dalil yang shahih dan jelas melarangnya, sehingga keluar dari asalnya dengan dalil dan diberi hukum lain di luar hukum asal.

Adapun bila tidak ada dalil yang melarangnya, maka ia berlaku sesuai asal, yaitu boleh dan mubah.

Dasar Kaidah

Dalil kaidah dasar ini adalah:

1. Ayat-ayat yang menunjukkan perintah menunaikan akad transaksi dan perjanjian, seperti Firman Allah ‘Azza wa Jalla,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ

“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (Qs. al-Maidah: 1)

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَأَوْفُواْ بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولاً

“Dan penuhilah janji. Sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungan jawabnya.” (Qs. al-Isra`: 34)

Kedua ayat ini berisi perintah menunaikan transaksi dan muamalah secara mutlak, baik bentuk dan lafalnya ada pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau belum ada. Oleh karen itu, hal ini menunjukkan bahwa asal dalam muamalah adalah halal.

2. Ayat-ayat yang menunjukkan pambatasan hal-hal terlarang pada perbuatan dan sifat tertentu, seperti firman Allah ‘Azza wa Jalla,

قُل لاَّ أَجِدُ فِي مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَّسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقاً أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Katakanlah, ‘Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi–karena sesungguhnya semua itu kotor–atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedangkan dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’ “ (Qs. al-An’am: 145)

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

قُلْ تَعَالَوْاْ أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلاَّ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً وَلاَ تَقْتُلُواْ أَوْلاَدَكُم مِّنْ إمْلاَقٍ نَّحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلاَ تَقْرَبُواْ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلاَ تَقْتُلُواْ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

“Katakanlah, ‘Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu-bapak, dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan–kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka–dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, serta janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.’ Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami-(nya).” (Qs. al-An’am: 151)

Serta firman-Nya ‘Azza wa Jalla,

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُواْ بِاللّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَاناً وَأَن تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

“Katakanlah, ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji (baik yang tampak atau yang tersembunyi), perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu, dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah sesuatu yang tidak kamu ketahui.” (Qs. al-A’raf: 33)

Dalam ayat-ayat di atas, Allah membatasi hal-hal terlarang pada jenis dan sifat tertentu saja, sedangkan yang tidak diketahui ada pengharamannya, maka diberlakukan hukum halal, karena tidak boleh ada hukum untuk para mukallaf tanpa dasar dalil.

3. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيماً

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (Qs. an-Nisa`: 29)

Dalam ayat ini, Allah tidak memberikan syarat dalam perdagangan kecuali saling suka (taradhi). Ayat ini menunjukkan bahwa asal dalam muamalah adalah halal.

4. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ

“Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu.” (Qs. al-An’am: 119)

5. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَا أَحَلَّ اللهُ فِيْ كِتَابِهِ فَهُوَ حَلاَلٌ وَمَا حَرَّمَ فَهُوَ حَرَامٌ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ عَفْوٌ فَاقْبَلُوْا مِنَ الله عَافِيَتَهُ { وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا }

“Semua yang Allah halalkan dalam al-Quran maka ia halal, yang diharamkan maka ia haram, dan yang didiamkan maka itu tidak ada hukumnya (boleh). Terimalah dari Allah kemudahan-Nya. (Allah berfirman), ‘Rabbmu tidak pernah lupa.’ ” (Hr. ad-Daraquthni dalam Sunan-nya: 2/137/12; dinilai shahih oleh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah, no. 2256)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut hukum sesuatu yang tidak diharamkan dan dihalalkan dengan kata “afwun” (dimaafkan atau boleh). Ini menunjukkan bahwa asal sesuatu dalam muamalah adalah halal.

6. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إنَّ أَعْظَمَ النَّاسِ جُرْماًَ مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لمَ ْيُحْرَمْ فَحُرِمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ ” متفق عليه

“Sungguh, orang yang paling besar kejahatannya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang tidak diharamkan, lalu diharamkan dengan sebab pertanyaannya.’ (Muttafaqun ‘alaihi)

7. Ditinjau secara dalil aqli (akal) dengan tiga hal:

a. Akad transaksi termasuk perbuatan dan aktivitas yang sudah menjadi adat kebiasaan. Manusia sudah biasa melakukannya dalam mendapatkan kebutuhan dunia mereka, maka asal hukumnya adalah boleh dan tidak dilarang. Sehingga dijadikan dasar sampai ada dalil yang mengharamkannya.

b. Syariat tidak mengharamkan jenis akad kecuali hanya beberapa saja, maka tidak adanya dalil pengharaman menunjukkan ketidakharamannya.

c. Dalam keabsahan akad transaksi, tidak disyaratkan adanya izin khusus dari syariat. Ibnu Taimiyah rahimahullahu menyatakan, “Kaum muslimin apabila melakukan transaksi tertentu dan belum mengetahui keharaman dan kehalalannya, maka seluruh ahli fikih–yang aku ketahui–menghukumi keabsahannya, apabila mereka tidak meyakini keharamannya. Walaupun transaktor (orang yang bertransaksi –ed) tersebut belum mengetahui penghalalannya–baik dengan ijtihad atau taklid–, dan juga tidak ada seorang pun yang menyatakan bahwa akad transaksi tidaklah sah kecuali untuk orang yang meyakini bahwa syariat menghalalkannya. Seandainya izin khusus syariat menjadi syarat keabsahan transaksi, maka transaksinya tidak sah, kecuali setelah adanya izin kebolehannya.”