8. Kaidah Saddu Adz Dzari’ah dan Pembatalan Al Hielah

(سَدُّ الذَّرَائِعِ وَ إِبْطَالُ الْحِيَلِ)

Definisi “Saddu adz-Dzari’ah” (سد الذرائع)

Kata (السد) dalam etimologi bahasa Arab, bermakna: menutupi kekurangan, menyumbat lubang, dan menahan sesuatu. Sedangkan, kata (الذرائع) adalah bentuk plural dari kata (ذريعة), yang berarti wasilah (sarana).

Dalam terminologi, para ulama mengungkapkannya dengan beberapa ungkapan yang hampir serupa:

Ibnul ‘Arabi rahimahullahu menyatakan, “Semua amalan yang tampaknya diperbolehkan, namun dapat mengantar kepada perkara yang dilarang.”

Ibnu an-Najjar rahimahullahu menyatakan, “Semua yang tampak (zahir-nya) mubah, namun mengantarkan kepada perkara yang diharamkan.”

Asy-Syaukani rahimahullahu menyatakan, “Ia adalah masalah yang tampak (zahir-nya) mubah dan menjadi sarana kepada perbuatan terlarang.”

Kalau demikian, maka pengertian “saddu adz-dzari’ah” adalah:

(منع الوسائل التي ظاهرها مباح والتي يتوصل بها إلى محرم حسمًا لمادة الفساد و دفعًا لها)

“Melarang sarana-sarana, yang zahir-nya mubah dan dapat menjadi sarana kepada keharaman, untuk mencegah kerusakan dan menolaknya.”

Pembagian Kaidah Saddu adz-Dzara`i

Adz-dzara`i dalam tinjauan pernyataan para ulama, terbagi menjadi tiga, yaitu:

1. Ijma’ menyatakan wajib untuk mencegahnya dan itu terjadi pada perbuatan yang menjadi sarana kerusakan dalam perkara agama dan dunia, karena perbuatan tersebut memang menjadi sarana kerusakan secara pasti. Contohnya, larangan minum minuman memabukkan, karena dia adalah sarana yang mengantar kepada keadaan mabuk yang merusak akal. Demikian juga, zina terlarang karena dia menjadi sarana ketidakjelasan dan kerusakan nasab.

2. Ijma’ menyatakan itu sebagai dzari’ah namun tidak wajib dicegah. Seperti, menanam anggur adalah perbuatan yang tidak wajib dicegah, walaupun mungkin ada orang yang membeli dan memiliki serta memerasnya untuk dijadikan khamr. Demikian juga, berdempetan dalam membuat rumah yang dapat menjadi sarana berbuat zina.

3. Yang masih diperselisihkan para ulama, yaitu sarana mubah yang mengantar kepada keharaman secara mayoritas atau dominan.

Dalam masalah ini, pendapat para ulama dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu:
a. Harus dicegah (diberlakukan kaidah saddu adz-dzari’ah). Inilah pendapat Mazhab Malikiyah dan Hanabilah.
b. Tidak memberlakukan kaidah ini. Inilah pendapat Mazhab Syafi’iyah dan Hanafiyah. Namun, mereka pun tetap memberlakukan kaidah ini dalam realitas dan aplikasinya pada ijtihad-ijtihad mereka, tetapi dimasukkan dalam kaidah lainnya.

Yang rajih adalah pendapat pertama. Inilah yang dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam pernyataan beliau, “Apabila dzari’ah-dzari’ah ini mengantar kepada kerusakan (mafsadat) secara pasti (yakin) atau dominan, maka syariat mengharamkannya secara mutlak.

Juga, Ibnul Qayyim rahimahullahu merajihkannya, hingga beliau menjelaskan sembilan puluh sembilan dalil kewajiban saddu adz-dzari’ah, apabila mengantar kepada keharaman. Kemudian, beliau menyatakan, “Bab Saddu adz-Dzara`i adalah salah satu pokok penting taklif, karena taklif adalah perintah dan larangan. Perintah itu ada dua jenis: pertama, yang dimaksudkan (menjadi tujuan); kedua, yang menjadi wasilah kepada kerusakan (mafsadah). Oleh karena itu, saddu adz-dzari’ah menjadi salah satu pokok penting agama.”

Ketentuan Dasar Mengamalkan Kaidah Ini (ضَوَابِطُ فِيْ إِعْمَالِ قَاعِدَة سَدِّ الذَّرَائِع)

Saddu adz-dzara’i merupakan salah satu kaidah penting dalam agama, sehingga para ulama memberikan ketentuan dasar dalam mengamalkan kaidah ini. Ketentuannya adalah sebagai berikut:

1. Perbuatan yang diperbolehkan tersebut menjadi sarana kerusakan atau kerusakan secara dominan.

(أَنْ يَكُوْنَ الْفِعْلُ الْمَأْذُوْنُ فِيْهِ مُؤَدِّياً إِلَى الْفَسَادِ أَوْ إِلىَ مَفْسَدَةٍ غَالِبَةً)

“Apabila perbuatan tersebut menjadi sarana kerusakan dalam keadaan kadang-kadang dan tidak dominan, maka perbuatan tersebut tidak dilarang dan dia tetap pada hukum asalnya, tidak dibutuhkan untuk mencari dalil kebolehannya.”

2. Mafsadah yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut harus sama atau lebih besar dari maslahatnya.

(أَنْ تَكُوْنَ الْمَفْسَدَةُ النَّاتِجَةُ عَنْ الفِعْلِ الْمَأْذُوْنِ مُسَاوِيَةً لِمَصْلَحَتِهِ أَوْ أَكْثَرَ)

“Apabila maslahat melakukan perbuatan tersebut lebih besar dari mafsadat yang timbul, maka tidak dilarang, sebab keberadaan syariat adalah untuk mendapatkan maslahat dan memperbanyaknya, serta menghilangkan atau mengurangi mafsadat.”

Dari sinilah terdapat larangan mencaci-maki sesembahan orang kafir musyrik di hadapan mereka, dalam firman Allah,

وَلاَ تَسُبُّواْ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللّهِ فَيَسُبُّواْ اللّهَ عَدْواً بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena nantinya mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas, tanpa pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka segala sesuatu yang dahulu mereka kerjakan.” (Qs. al-An’am: 108)

Padahal, ada kemaslahatannya. Itu karena mencacinya menjadi sebab timbulnya mafsadat yang lebih besar dari maslahat tersebut, yaitu mencaci maki Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dengan dasar ini, terdapat tiga kategori, antara lain:
a. Mafsadat yang timbul dari perbuatan tersebut sejajar dan sama dengan maslahatnya, maka kaidah saddu adz-dzara`I berlaku.
b. Mafsadat yang timbul dari perbuatan tersebut lebih besar dari maslahat yang timbul dari mencegahnya, maka kaidah ini berlaku.
c. Mafsadat yang timbul dari perbuatan tersebut lebih sedikit dari maslahatnya, maka kaidah ini tidak berlaku.

3. Dalam mengamalkan kaidah ini, tidak disyaratkan adanya tujuan mukallaf berbuat kerusakan, bahkan cukup dengan banyaknya tujuan itu secara adat, sebab niat, atau tujuan tersebut pada umumnya tidak dapat dibuat baku, karena masalah batin yang sulit dijadikan pedoman.

4. Semua yang dilarang dalam rangka saddu adz-dzara`I menjadi diperbolehkan apabila terdapat kebutuhan. Contohnya, melihat wanita yang bukan mahram (an-nazhar) bagi orang yang akan melamar wanita tersebut. Juga, dokter yang melihat lawan jenisnya. Dikarenakan oleh adanya hajat (kebutuhan), maka kedua hal ini diperbolehkan apabila aman dari mafsadat.

Berbicara tentang saddu adz-dzara`i tidak lepas dari pembicaraan tentang pembatalan semua bentuk al-hilah (tipu muslihat dalam pembenaran yang dilarang). Pembatalan al-hilah adalah bagian dari saddu adz-dzari’ah, karena pengertian al-hilah adalah mengamalkan satu amalan yang tampaknya diperbolehkan, untuk membatalkan satu hukum syar’i dan mengubahnya secara zahir kepada hukum lainnya, atau tujuan menggugurkan kewajiban dan menghalalkan keharaman dengan perbuatan yang tidak dimaksudkan kepada keharaman dan tidak disyariatkan untuknya.

Ibnu Taimiyah menjelaskan hubungan antara kaidah saddu adz-dzari’ah dengan ibthalul hiyal (pembatalan al-hilah), dengan menyatakan, “Kemudian, dzari’ah ini ada yang mengantarkan kepada hal-hal yang terlarang, tanpa niat dari pelakunya, dan ada juga yang kebolehannya mengantarkan kepada sarana menuju keharaman. Bagian yang kedua ini menyerupai al-hilah. Terkadang (dia) disertai al-hilah dan terkadang tidak, sebagaimana terkadang al-hilah menggunakan dzari’ah (sarana) dan terkadang menggunakan sebab-sebab yang hukum asalnya mubah dan bukan dzari’ah.

Dengan demikian, ada tiga klasifikasi:
1. Ia adalah dzari’ah yang digunakan untuk al-hilah, seperti menyatukan antara jual-beli dengan utang.
2. Ia adalah dzari’ah, namun tidak digunakan untuk al-hilah, seperti: mencela berhala, karena dia menjadi sarana (dzari’ah) mencela Allah; mencela orangtua orang lain yang menjadi sarana orang tersebut untuk mencela orang tuanya, walaupun tidak menjadi tujuan seorang mukmin.
3. Yang digunakan al-hilah dari hal-hal yang asalnya mubah, seperti menjual nishab di pertengahan tahun agar lepas dari zakat; meninggikan harga untuk menggugurkan asy-syuf’ah.

Ibnul Qayyim menyatakan, “Apabila anda menelaah syariat, tentulah anda mendapati bahwa syariat membawa kaidah saddu adz-dzari’ah yang mengantar pada keharaman. Itu kebalikan pembahasan pembatalan semua bentuk al-hilah yang mengantar kepadanya. Al-hilah adalah sarana dan pintu menuju keharaman, dan saddu adz-dzari’ah adalah lawannya. Kerananya, antara keduanya ada kontradiksi yang besar. Syariat mengharamkan dzara’i (sarana) walaupun sarana tersebut bukanlah tujuan yang dimaksudkan keharamannya karena dzara’i tersebut mengantar kepada keharaman. Lalu, bagaimana bila keharaman tersebut sebagai tujuan?

Jenis-jenis al-Hilah

Ada dua cara dalam pembagian al-hilah, menurut para ulama: pembagian versi Ibnu Taimiyah dan muridnya (Ibnul Qayyim), serta pembagian versi asy-Syathibi.

Pembagian al-Hilah versi Ibnu Taimiyah.

Ibnu Taimiyah membagi al-hilah menjadi beberapa bagian, di antaranya:

Cara tersembunyi yang dipakai untuk memperoleh perkara terlarang. Hal ini tidak diperbolehkan, dengan kesepakatan kaum muslimin, seperti: tipu muslihat untuk bunuh diri, mengambil harta orang lain, merusak hubungan antara dua orang, tipu muslihat setan dalam menyesatkan manusia, dan lain-lain.

Demikianlah, delapan kaidah dasar yang penting dalam memahami fikih muamalah maliyah, yang diringkas dari keterangan para ulama dan didasarkan kepada al-Quran dan as-Sunnah. Mudah-mudahan, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kepada kita kepahaman dalam masalah agama ini dan menjadikan tulisan ini sebagai amalan shalih penulisnya. Tidak lupa penulis memohon kepada pembaca makalah ini untuk mendoakannya dan keluarganya dengan kebaikan dan ampunan Allah ‘Azza wa Jalla. Wabillahit taufik.

Selesai ditulis menjelang zuhur, hari Rabu tanggal 1 Rabi’ ats-Tsani 1431 H/17 Maret 2010 M. Di Ponpes Abdullah bin Abbas, Kliwonan, Masaran, Sragen.

Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.

=======
Referensi:

1. Al Hawafiz Al Tijariyah At Taswiqiyyah Wa Ahkamuha Fil Fiqh Al Islami, Syekh Kholid bin Abdillah Al Mushlih, cetakan pertama tahun 1420 H Dar Ibnul Jauzi.
2. Muamalah Al Maliyah Al Mu’ashorah,–diambil dari pelajaran Syekh Khalid bin ‘Ali Al Musyaiqih, dalam Daurah Al Ilmiyah di Masjid Ar Rajihi di kota Buraidah tahun 1424 H –-yang ditranskrip.
3. Syarhul Mumti’ ‘Ala Zaad Al Mustaqni’, Syekh Ibnu Utsaimin, tahqiq DR. Khalid Al Musyaiqih dan Sulaimin Abu Khail, cetakan kedua tahun 1414 H, Muassasatu Aasaam.
4. Al Majmu’ Syarhul Muhadzab, imam Nawawi dengan penyempurnaan Muhammad Najieb Al Muthi’i, cetakan tahun 1419H, Dar Ihyaa Al Turats Al ‘Arabi, Beirut.
5. Bahjah Qulub Al Abrar Wa Qurratu ‘Uyuuni Al Akhyaar Fi Syarhi Jawaami’ Al Akhbaar, Abdurrahman bin Naashir Al Sa’di, tahqiq Asyraf Abdul Maqshud, cetakan kedua tahun 1992 M, Dar Al jail.
6. Al Waajiz Fi Fiqhu Sunnah Wa Kitab Al ‘Aziz, Abdul’adzim badawi, cetakan pertama tahun 1416 H, Dar Ibnu Rajab.
7. Mukhtashar Al Fatawa Al Mishriyah, Ibnu Taimiyah, Tahqiq Abdulmajid Sulaim, Dar AL Kutub Al Ilmiyah.
8. Al Fiqhu Al Muyassar –bag. Fiqih Muamalah- karya Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Al Thayar, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Al Muthliq dan Dr. Muhammad bin Ibrahim Alimusaa. Cetakan pertama tahun 1425 H.
9. Al Mughni karya Ibnu Qudamah, tahqiq Abdullah bin Abdulmuhsin Al Turki, cetakan kedua tahun 1412H, penerbit Hajr.
10. Al Syarh Al Mumti’ ’Ala Zaad Al Mustaqni’ karya Ibnu Utsaimin tahqiq.
11. Al Bunuk Al Islamiyah Baina An Nadzoriyat Wa Tathbiq, karya Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Al Thayaar, cetakan kedua tahun 1414 H, Muassasah Al Jurais, Riyaadh, KSA.
12. Al Ribaa Wa Muamalah Al Mashrafiyah Fi Nazhari Al Syariat Al Islamiyah, Dr. Umar bin Abdilaziz Al Mutrik, Muraja’ah Syekh Bakar bin Abdillah Abu Zaid, cetakan ketiga tahun 1418H, Dar Al ‘Ashimah, Riyadh KSA.
13. Taisir Al Fiqh Al Jaami’ Liikhtiyaaraat Al Fiqhiyah Lisyekhul Islam Ibnu Taimiyah, Dr. Ahmad Muwaafie, cetakan kedua tahun 1416 H, Dar Ibnul Jauzi, KSA.
14. Fatawa lajnah Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wal Ifta, disusun Ahmad Al Duwaisy, cetakan pertama tahun 1419 H, Dar Al ‘Ashimah, KSA.
15. Majmu’ Fatawa Syekhul Islam Ibnu Taimiyah.
16. Al Fatawa Al Kubra.
17. Maqaashid Al Syari’ah Al Islamiyah Wa ‘Alaqatuha Bil Adillah Al Syar’iyah. Dr. Muhammad bin Sa’ad Alyubi, cetakan pertama tahun 1418H, Darl Hijrah, KSA.
18. Ma’alim Ushul Fiqh ‘Inda Ahlussunnah Wal Jama’ah, Dr. Muhammad bin Husein bin Hasan Al Jizaani, cetakan kedua tahun 1419H, Dar Ibnul Jauzi, KSA.
19. Al Muwafaqaat Fi Ushul Al Syariat, Abu Ishaaq Al Syathibi, Tahqiq Abdullah Darraaz, Darul Kutub Al Ilmiyah, Baerut.
20. Irwa’ Al Ghalil Fi Takhrij Ahaadits Manar Al Sabil karya Syekh Muhammad Nashiruddin Al Albani, cetakan kedua tahun 1405 H. Al maktab Islami, Beirut.
21. Kitab Maa La Yasa’u Al Taajir Jahlulu, karya Prof. Dr. Abdullah Al Mushlih dan Prof. Dr. Shalah Al Shawi yang diterjemahkan dalam edisi bahasa Indonesia oleh Abu Umar Basyir dengan judul Fiqh Ekonomi Keuangan Islam, penerbit Darul Haq, Jakarta.
22. Mausu’ah Al Qadhaayaa Al Fiqhiyah Al Mu’asharah wa Al Iqtishad Al Islami, Prof. Dr. Ali Ahmad As-Salusi, cetakan ke 7, tahun 2002 M, Maktabah Daar al-Qur`aan.
23. Syarhu Shahih Muslim, An Nawawi, dan lain-lain.

[Sumber:www.ekonomisyariat.com]