Definisi SANAD

Sanad adalah silsilah (rentetan) para perawi yang menyambungkan kepada Matan.

Dan Matan adalah perkataan yang terdapat di akhir Sanad itu.

Dengan bahasa lugasnya, Sanad adalah jalur transmisi periwayatan hadits, sedangkan Matan adalah teks atau nash yang terdapat di ujung Sanad itu. Wallahu a’lam.

Setelah Rasulullah saw wafat, para shahabat rhum saling meriwayatkan, satu sama lainnya apa yang mereka dengar dari Nabi saw. Demikian pula, generasi setelah mereka dari kalangan Tabi’in; mereka meriwayatkan dari para shahabat. Mereka tidak berhenti dalam menerima hadits apa saja yang diriwayatkan oleh seorang shahabat dari Rasulullah saw. Dan, kondisinya masih terus seperti itu hingga terjadi fitnah yang menyebabkan kematian khalifah ar-Rasyid, ‘Utsman bin ‘Affan rhu, yang diikuti terjadinya perpecahan dan perselisihan serta munculnya berbagai kelompok agama (firqah) dan mazhab-mazhab yang diada-adakan, sehingga mulailah as-Sunnah dimasuki ‘virus’ yang sedikit demi sedikit menjadi banyak. Lalu mulailah pula setiap kelompok mencari pembenaran terhadap bid’ah yang dibuatnya dengan mencari-cari nash-nash yang dinisbatkan kepada Nabi saw. Ketika itulah, para ulama dari kalangan para shahabat dan tabi’in mengambil sikap hati-hati dalam meriwayatkan hadits-hadits. Mereka tidak menerima darinya selain apa yang mereka ketahui jalurnya dan merasa yakin dengan ke-tsiqah-an (keterpercayaan) para perawinya dan keadilan mereka, yaitu melalui jalur Sanad.

Imam Muslim meriwayatkan di dalam mukaddimah Shahihnya dari Ibn Sirin rhm, yang berkata, “Dulu mereka tidak pernah mempertanyakan tentang Sanad, namun tatkala terjadi fitnah, mereka mengatakan, ‘Tolong sebutkan kepada kami para perawi kalian.!’ Lalu dilihatlah riwayat Ahlussunnah lantas diterima hadits mereka. Demikian pula, dilihatlah riwayat Ahli Bid’ah, lalu ditolak hadits mereka.”

Sejak itu, mulailah sikap Tatsabbut (cek ricek) dan berhati-hati ditunjukkan oleh para shahabat junior yang masih hidup saat terjadinya fitnah itu. Di dalam mukaddimah Imam Muslim, dari Mujahid, ia berkata, “Basyir al-‘Adawi mendatangi Ibn ‘Abbas rma, lalu menyampaikan hadits dan berkata, ‘Rasulullah saw bersabda …. Rasulullah saw bersabda….’ Lalu Ibn ‘Abbas tidak mengizinkannya menyampaikan hadits itu (tidak mendengarnya) dan tidak melihatnya. Maka orang itu berkata, ‘Hai Ibn ‘Abbas, kenapa aku tidak melihatmu mendengarkan haditsku ini? Aku menyampaikan hadits dari Rasulullah saw sedang engkau tidak mau mendengarkan.’ Ibn ‘Abbas berkata, ‘Pernah suatu kali, dulu kami bila mendengar ada orang yang mengatakan, ‘Rasulullah saw bersabda…,’ maka pandangan-pandangan kami langsung tertuju kepadanya dan telinga-telinga kami khusyu’ mendengarkan kepadanya. Namun tatkala manusia didera kesulitan dan kehinaan, kami tidak pernah mengambil dari orang-orang selain apa yang telah kami kenal.’”

Kemudian, para tabi’in mulai menuntut diadakannya Sanad, ketika kedustaan terhadap Rasulullah saw merejalela. Abu al-‘Aliyah berkata, “Dulu kami mendengar riwayat di Bashrah dari para shahabat Rasulullah saw. Kami tidak rela hingga berangkat ke Madinah, lantas mendengarnya langsung dari mulut-mulut mereka.”

Perhatian yang demikian besar terhadap Sanad ini, menampakkan kepada kita urgensi (pentingnya) dan pengaruhnya dalam ilmu hadits, yaitu melalui beragam aspek, salah satunya adalah bahwa Sanad merupakan salah satu karakteristik tersendiri dari umat ini, di mana tidak ada satu umat manusia pun di muka bumi ini memiliki keistimewaan seperti ini. Tidak pernah ada riwayat dari salah satu umat terdahulu mengenai perhatian mereka terhadap para perawi berita dan hadits-hadits para nabi mereka sebagaimana yang dikenal dari umat ini.

Abu ‘Ali al-Jiyani berkata, “Allah swt mengkhususkan umat ini dengan tiga hal, yang tidak pernah diberikan kepada umat sebelumnya: Sanad, Ansab (nasab-nasab) dan I’rab (penguraian dari segi bahasa).

Abu Hatim ar-Razi berkata, “Tidak ada satu umat pun sejak Allah menciptakan Adam, para ahli amanah yang menjaga berita-berita para Rasul kecuali pada umat ini.”

Melalui jalur Sanad, maka dimungkinkanlah penelitian terhadap kebenaran hadits-hadits dan berita-berita serta mengenali para perawi. Pencari hadits dapat mengetahui derajat (kualitas) hadits; mana yang shahih dan mana yang lemah. Dengan dengan Sanad pula, as-Sunnah ini dijaga dan dipelihara dari pengelabuan, penyimpangan, pemalsuan, penambahan dan pengurangan. Dengan Sanad juga umat menyadari kedudukan as-Sunnah dan betapa pentingnya memberikan perhatian terhadapnya, di mana ia ditetapkan dengan jalur-jalur kritik dan tahqiq (analisis) yang demikian detil, yang belum pernah dikenal manusia ada sepertinya sepanjang sejarah. Dengan begitu, klaim orang-orang yang batil dan senang membuat keraguan umat dapat ditolak, dan syubhat-syubhat yang mereka lontarkan seputar keshahihan hadits dapat dimentahkan.

Karena masalah-masalah tersebut dan masalah lainnya kemudian banyak sekali berita-berita yang datang dari para imam (tokoh-tokoh ulama) mengenai pentingya Sanad dan anjuran terhadapnya. Bahkan mereka menjadikannya sebagai ibadah dan dien. Abdullah bin al-Mubarak berkata, “Bagiku, Sanad merupakan bagian dari agama ini. Andaikata bukan karena Sanad, pastilah orang akan mengatakan semau-maunya. Bila dikatakan kepadanya, ‘siapa yang menceritakan kepadamu.?’ Ia diam (yakni diam kebingungan), tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Sebab ia tidak memiliki Sanad yang melaluinya ia dapat mengenali keshahihan atau kelemahan suatu hadits.” Ia juga mengatakan, “Antara kami dan orang-orang adalah Qawa`im, yakni Sanad.”

Ats-Tsauri berkata, “Sanad adalah senjata seorang mukmin. Bila ia tidak memiliki senjata, maka dengan apa ia akan berperang.?”

Syu’bah berkata, “Setiap hadits yang tidak terdapat di dalamnya (kalimat) ‘Haddatsana dan Akhbarana’, maka ia seperti seorang laki-laki di tanah lapang bersama seekor keledai yang tidak memiliki tali kekang.”

Diriwayatkan dari Ibn Sirin, ia berkata, “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Maka lihatlah dari siapa kamu mengambil agamamu.!”

Al-Auza’i berkata, “Tidaklah hilang ilmu melainkan karena hilangnya Sanad.”

Sebagian ulama mengumpamakan hadits tanpa Sanad itu sebagai sebuah rumah yang tanpa atap dan tiang. Hal ini terlontar dari untaian syair mereka,
“Jika ilmu kehilangan Sanad Musnid (orang yang memberinya Sanad)
Maka ia seperti rumah yang tidak beratap dan berpasak.”

Sebagain akibat dari penegasan tuntutan diadakannya Sanad, dan demikian besar perhatian terhadapnya, kita mendapati kitab-kitab hadits yang dikarang sejak paruh pertama dari abad ke-2 H telah berkomitmen dengan hal itu. Buku-buku itu disebut dengan Masanid (jamak dari musnad), yaitu sebuah nama yang memiliki hubungan yang jelas dengan masalah Sanad. Di antara musnad-musnad yang paling masyhur adalah Musnad Ma’mar bin Rasyid (152 H), Musnad ath-Thayalisi (204 H), Musnad al-Humaidi (219 H), Musnad Ahmad bin Hanbal (241 H), Musnad asy-Syafi’i (204 H) dan buku-buku Musnad lainnya.

Musnad-musnad tersebut merupakan pegangan pokok bagi para pengarang yang datang setelah itu. Mereka merujuk kepadanya dan menjadikannya sebagai sumber mereka. Lalu para ulama yang menulis kitab-kitab shahih, musnad, sunan, mushannaf dan muwaththa` terus menjalani cara seperti ini dengan berkomitmen secara detil dan teliti terhadap Sanad.

Semua ini menegaskan kepada kita betapa pentingnya Sanad dalam ilmu hadits, dan betapa perhatian besar yang diberikan umat terhadapnya, serta betapa Allah menjaga agama ini dengannya dari upaya menghilangkan dan merubahnya. Hal ini sebagai realisasi dari janji Allah swt dalam menjaga adz-Dzikr yang diturunkannya, sebagaimana firmanNya dalam surat al-Hijr, ayat 9. (AH)