Pertanyaan:

Terdapat dalam hadits yang diriwayatkan Muslim,

اَلْعَيْنُ حَقٌّ وَلَوْ كَانَ شَيْءٌ سَابَقَ الْقَدَرَ سَبَقَتْهُ الْعَيْنُ، وَإِذَا اسْتُغْسِلْتُمْ فَاغْسِلُوْا.

“Ain adalah nyata, dan seandainya ada sesuatu yang mendahului takdir niscaya ‘ain-lah yang mendahuluinya, dan apabila kalian diminta mandi, maka mandilah.”(HR. Muslim, no. 2188, Kitab as-Salam.)

Apakah ini berarti tidak berdosa meminta ‘a’in supaya mandi berdasarkan apa yang disinyalir dalam hadits. Apa nasihat Anda terhadap orang yang memintanya darinya, karena sebagian orang akan marah bila dirinya diminta demikian?

Jawaban:

Jika orang yang menimpakan ‘ain (‘a`in) diketahui dan terbukti bahwa dialah yang menimpakan kepada Ma`in (yang tertimpa ‘ain), maka ia diminta supaya mencuci kedua tangannya atau sebagian anggota badannya untuk diguyurkan kepada orang yang terkena ‘ain atau meminumkannya. Demikian pula jika orang yang menimpakan ‘ain itu mengakui sendiri bahwa dirinya telah menimpakan kepada orang yang terkena ‘ain, maka ia harus berlutut di hadapannya dengan mengucapkan: Ma sya`allah la quwwata illa billah. Setelah menimpakan ‘ain, ia harus meludah sedikit padanya atau mencuci sebagian tubuhnya dan mengguyurkannya padanya.

Ia tidak boleh menolak untuk mandi (atau mencuci sebagian tubuhnya), jika ia diminta demikian, baik ia sebagai tertuduh karena ucapan yang dinyatakannya atau secara pasti bahwa diri-nyalah yang menimpakan ‘ain tersebut.

Ia tidak boleh marah dengan hal itu, walaupun ia mengakui tidak melakukannya. Sebab ‘ain itu adakalanya mendahului pelakunya. Dan kebanyakan gangguan itu terjadi dengan tanpa dikehendaki oleh ‘ain sehingga kadangkala menimpa sebagian anak-anaknya atau sebagian hartanya. Kemudian ia menyesal atas ucapan yang pernah dinyatakannya. Wallahu a’lam.

Fatwa Syaikh Abdullah bin Jibrin yang ditandatanganinya

Sumber : Fatwa-Fatwa Terkini, jilid 3, hal:278-279, cet: Darul Haq Jakarta, diposting oleh Rifki Solehan