PASAL
PERINTAH UNTUK IKHLAS DAN BERNIAT BAIK DALAM SELURUH PERBUATAN LAHIR MAUPUN BATIN

Firman Allah Subhanahu wata’ala,

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

“Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (Al-Bayyinah: 5).

(مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ “Dengan memurnikan ketaatan kepadaNya,” maksudnya, benar (dan jujur) menghadap kepadaNya dengan ibadah. حُنَفَاء “Dalam (menjalankan) agama dengan lurus,” yakni, meniti jalan kebenaran menjauhi jalan kebatilan.)

Firman Allah Subhanahu wata’ala ,

لَن يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِن يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنكُمْ

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (Al-Hajj: 37).

(Maksudnya, Allah hanya mensyariatkan kepadamu sembelihan-sembelihan ini -hadyu dan udhiyah- agar kamu mengingat-Nya dan bersyukur kepadaNya pada saat penyembelihan, agar Dia membalasmu dengan sebaik-baiknya, karena jika tidak maka Dia adalah Mahakaya, tidak membutuhkan daging dan darah (hadyu dan udhiyah tersebut).)

Ibnu Abbas berkata, “Maknanya adalah: akan tetapi yang mencapaiNya adalah niat.”

(2) Syaikh kami Imam al-Hafizh Abu al-Baqa’ Khalid bin Yusuf bin al-Hasan bin Sa’ad bin al-Hasan bin al-Mufarij bin Bakkar al-Maqdisi an-Nabulusi kemudian ad-Dimasyqi Rahimahullah memberitakan kepada kami, Abul Yumni al-Kindi memberitakan kepada kami, Muhammad bin Abul Baqi al-Anshari memberitakan kepada kami, Abu Muhammad al-Hasan bin Ali al-Jauhari memberitakan kepada kami, Abul Husain Muhammad bin al-Muzhaffar al-Hafizh memberitakan kepada kami, Abu Bakar Muhammad bin Muhammad bin Sulaiman al-Wasithi memberitakan kepada kami, Abu Nuaim Ubaid bin Hisyam al-Halabi menyampaikan hadits kepada kami, Ibnu al-Mubarak menyampaikan hadits kepada kami dari Yahya bin Sa’id yaitu al-Anshari dari Muhammad bin Ibrahim at-Taimi dari Alqamah bin waqqash al-Laitsi dari Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.

“Sesungguhnya segala amal hanya tergantung pada niat-niat(nya) dan sesungguhnya setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang diniatkannya; maka barangsiapa yang hijrah kepada Allah dan RasulNya, maka (nilai) hijrahnya adalah kepada Allah dan RasulNya. Dan barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia yang ingin diraihnya, atau karena seorang wanita yang ingin dini-kahinya, maka (nilai) hijrahnya adalah kepada apa yang dia niatkan dengan hijrahnya.”

Ini adalah hadits shahih, keshahihannya disepakati, keagungan dan kebesaran sasa-rannya diakui. Ia adalah salah satu hadits yang menjadi inti ajaran Islam. as-Salaf ash-Shalih dan orang-orang yang mengikuti mereka menganjurkan membuka kitab-kitab yang mereka tulis dengan hadits ini, sebagai pengingat bagi pembaca (pencari ilmu) untuk memperbaiki niat, memperhatiakan dan menjaganya.

Kami telah meriwayatkan dari Imam Abu Sa’id Abdurrahman bin Mahdi Rahimahullah (Dia adalah seorang imam, hujjah, teladan, kritikus, pemuka para hafizh, Abu Sa’id. Lahir tahun 135 H, wafat tahun 198. Biografinya tercantum dalam Hilyat al-Auliya 9/3, dan Siyar A’lam an-Nubala’ 9/192.) berkata, “Barangsiapa ingin menyusun sebuah kitab, maka hendaknya dia memulai dengan hadits ini.”

Imam Abu Sulaiman al-Khaththabi Rahimahullah (Seorang alim besar, ahli bahasa, seorang hafizh, Hamd bin Muhammad penulis banyak kitab. Lahir sekitar tahun 310 sekian H, dan wafat tahun 388 H. Biografinya terdapat dalam Wafayat al-A’yan 2/2140 dan Siyar A’lam an-Nubala’ 17/23.) berkata, “Syaikh-syaikh kami yang menda-hului kami menganjurkan meletakkan hadits “Amal dengan niatnya”, di depan segala sesuatu yang dimulai dan diawali dari perkara-perkara agama karena kebutuhan kepadanya yang bersifat umum dalam segala bentuknya.”

Telah sampai kepada kami dari Ibnu Abbas bahwa dia berkata, “Seorang laki-laki hanya (bisa) menghafal sesuai dengan kadar niatnya.”

Yang lain berkata, “Manusia hanya diberi sesuai dengan kadar niatnya.”

Kami meriwayatkan dari seorang pemuka yang mulia Abu Ali Al-Fudhail bin Iyadh Rahimahullah (Dia adalah seorang imam, teladan, kuat pemikiran, ahli zuhud, Syaikhul Islam yang tinggal di al-Haram, salah seorang ulama abad kedua hijriyah. Biografinya tercantum dalam Hilyat al-Auliya 8/64 dan Siyar A’lam an-Nubala’ 8/421.) berkata, “Meninggalkan amal demi manusia adalah riya, amal demi manusia adalah syirik dan keikhlasan itu adalah bahwa Allah menyelamatkanmu dari keduanya.”

Imam al-Harits al-Muhasibi Rahimahullah (Dia adalah seorang ahli zuhud, seorang yang arif, syaikh orang-orang sufi, penulis kitab-kitab zuhud yang terjatuh ke dalam sedikit ilmu kalam maka ia dikritik karenanya. Biografinya tercantum dalam Hilyat al-Auliya 10/73 dan Siyar A’lam an-Nubala’ 12/110) berkata, “Orang yang benar itu adalah orang yang tidak peduli seandainya seluruh kemuliaannya yang ada di hati manusia tercerabut demi kebaikan hatinya, dia tidak ingin orang-orang mengetahui sekecil apa pun dari amal ke-baikannya dan dia tidak membenci orang-orang mengetahui amal buruknya.” (Yang terakhir ini tidak diterima, karena ia termasuk –atau hampir- ke dalam sikap bermaksiat secara terang-terangan dan itu termasuk perkara yang dilarang dan diperingatkan oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam . Di samping itu ia mengandung efek negatif yang besar dengan membuka peluang bagi penuntut ilmu dan orang-orang awam untuk berani bermaksiat dan ia bisa dijadikan alasan bagi para pelaku dosa dan kemaksiatan untuk melakukannya dan masih banyak lagi dampak negatif yang semestinya membuat orang yang benar membenci diketahuinya amal buruknya oleh manusia, bukan karena takut kedudukannya akan jatuh di mata mereka, akan tetapi karena takut terhadap mereka dan menyebarnya kemaksiatan di kalangan mereka karenanya.)

Dari Hudzaifah al-Mar’asyi Rahimahullah (Dia adalah Ibnu qatadah, salah seorang ahli ibadah yang terkenal, pernah berguru kepada ats-Tsauri dan meriwayatkan darinya. Biografinya terdapat dalam Hilyat al-Auliya 8/ 267 dan Siyar A’lam an-Nubala’ 9/ 283).) dia berkata, “Ikhlas itu adalah hendaknya amal perbuatan seorang hamba sama secara lahir maupun batin.”

Kami meriwayatkan dari imam, sang guru Abu al-Qasim al-Qusyairi Rahimahullah dia berkata, “Ikhlash adalah mengesakan Allah yang Mahahaq dalam ketaatan dengan tujuan, yakni dengan ketaatannya dia ingin mendekatkan diri kepada Allah bukan kepada selainNya baik itu kepura-puraan kepada manusia atau mendapatkan pujian di kalangan manusia atau keinginan untuk disanjung oleh mereka, atau sebuah maksud dari maksud-maksud yang lain selain mendekatkan diri kepada Allah.

Seorang pemuka yang mulia Abu Muhammad Sahl bin Abdullah at-Tustari Rahimahullah (Seorang sufi, ahli zuhud, syaikh orang-orang arif. Wafat tahun 283 dalam usia 80 tahun atau lebih. Biografinya terdapat dalam Hilyat al-Auliya, 10/189 dan Siyar A’lam an-Nubala’ 13/330.), dia berkata, “Orang-orang cerdik mengkaji keikhlasan maka hanya ini yang mereka dapatkan, ‘Hendaknya gerakan dan diamnya baik secara rahasia maupun terbuka adalah untuk Allah, tidak dicampuri oleh jiwa, keinginan dan dunia’.”

Kami meriwayatkan dari sang guru Abu Ali ad-Daqqaq Rahimahullah (Dia adalah al-Hasan bin Ali, seorang sufi dari Naisabur. Dia ahli memberi wejangan dan berbicara mengkritik keadaan dan ma’rifat. Biografinya terdapat dalam al-Muntazham 15/150, dan al-Bidayah wa an-Nihayah 8/130.) berkata, “Ikhlas adalah menjaga diri dari perhatian manusia. Kejujuran adalah membersihkan diri dari ambisi hawa nafsu. Orang yang ikhlas tidak memiliki riya, orang yang jujur tidak bersikap ujub.”
Dari Dzin Nun al-Misri Rahimahullah (Seorang ahli zuhud, Syaikh Mesir. Namanya diperselisihkan, lahir di akhir kekuasaan al-Manshur dan wafat tahun 245 H. Biografinya terdapat dalam Hilyat al-Auliya 9/331 dan Siyar A’lam an-Nubala’ 11/ 532.), dia berkata, “Tiga perkara dari tanda-tanda keikhlasan: Samanya (sikap terhadap) pujian dan celaan dari masyarakat umum, lupa bahwa amal-amalnya dilihat orang saat beramal dan hanya mencari pahala amal di akhirat.”

Kami meriwayatkan dari al-Qusyairi Rahimahullah berkata, “Kejujuran minimal itu adalah antara amal yang tersembunyi dengan yang terlihat adalah sama.”

Dan dari Sahl at-Tustari berkata, “Seorang hamba yang berpura-pura kepada diri sendiri atau orang lain tidak akan mencium aroma kejujuran.”

Ucapan-ucapan mereka dalam hal ini tidak terbatas, dan apa yang saya sebutkan adalah cukup bagi orang yang diberi taufik.
Bersambung…

Sumber: dikutib dari Buku “Ensiklopedia Dzikir dan Do’a Al-Imam An-Nawawi Takhrij & Tahqiq: Amir bin Ali Yasin. Diterbitkan oleh: Pustaka Sahifa Jakarta. Oleh: Abu Nabiel)