Sahnya suatu ibadah kembali kepada terpenuhinya syarat-syarat dan tidakadanya penghalang-penghalang, ini berarti bahwa jika syarat tidak terpenuhi atau jika penghalang datang menghadang maka suatu ibadah akan batal atau tidak sah, sesuatu yang membuat sebuah ibadah tidak sah disebut dengan mubthilat (pembatal atau perusak), mubthilat ini membatalkan karena ia merusak ibadah dari dasarnya dan ia selalu ada dalam setiap ibadah termasuk ibadah shalat.

1- Hadats

Hadats dalam shalat mempunyai dua kemungkinan: Pertama, hadats yang terjadi dengan keinginannya, ia membatalkan shalat tanpa perbedaan, baik disengaja maupun karena lupa, baik dia mengetahui bahwa dirinya dalam shalat atau tidak. Kedua, hadats yang terjadi tanpa keinginannya, di mana ia terjadi di luar kontrol diri, ia membatalkan thaharah tanpa perbedaan, apakah ia membatalkan shalat?

Madzhab Malik, Syafi’i dalam qaul jadidnya dan Ahmad menyatakan, membatalkan shalat, yang bersangkutan meninggalkan shalat untuk bersuci dan memulai dari awal.

Madzhab Abu Hanifah dan Syafi’i dalam qaul qadimnya menyatakan, yang bersangkutan meninggalkan shalat untuk bersuci kemudian dia melanjutkan shalat tanpa memulai dari awal.

Dalil madzhab pertama, rusaknya syarat sah shalat yaitu thaharah dengan hadats tersebut, jika syarat suatu rusak dalam arti tidak terpenuhi maka ibadah tersebut tidak sah sebagaimana yang telah dijelaskan.

Dalil pendapat kedua, dari Aisyah bahwa Rasulullah saw bersabda, “Jika salah seorang dari kalian muntah di dalam shalatnya atau mimisan maka hendaknya dia meninggalkan shalat untuk berwudhu lalu melanjutkan shalatnya selama tidak berbicara.” Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan al-Baihaqi.

Pendapat yang shahih adalah pendapat pertama, hadits Aisyah dhaif tanpa perbedaan di antara ahli hadits. Wallahu a’lam.

2- Najas

Shalat dengan najas pada badan atau pakaian atau tempat shalat. Jika terjadi dengan sengaja dan mengetahui sejak sebelum melaksanakannya maka shalatnya tidak sah, karena dia telah menghadirkan salah satu penghalang sahnya shalat dengan sengaja.

Jika terjadi karena lupa atau tidak mengetahui maka ada dua kemungkinan: Jika ingat atau mengetahui ba’da shalat maka shalatnya sah menurut pendapat yang shahih, lupa dan ketidaktahuannya dimaafkan. Jika ingat atau mengetahui pada saat shalat maka ada dua kemungkinan: Jika bisa dihindari, misalnya najasnya pada peci atau jaket maka ia dilepaskan dan shalatnya tetap diteruskan, dalilnya adalah perbuatan Rasulullah saw yang melepas sepasang sandal dalam shalat manakala beliau tahu bahwa pada keduanya terdapat najas. Jika tidak bisa, misalnya najasnya pada penutup aurat seperti kain sarung atau celana panjang maka dia membatalkan shalat dan menggantinya dengan yang suci.

3- Meninggalkan salah satu fardhu shalat

Berdasarkan hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim tentang seorang laki-laki yang datang ke masjid lalu dia shalat tanpa thuma`ninah, Nabi saw memintanya mengulang shalatnya sampai tiga kali.

Jika dia meninggalkannya dengan sengaja dan dia sudah berpindah kepada yang berikutnya maka shalatnya batal. Jika dia meninggalkannya karena lupa maka hukumnya telah dijelaskan sebelumnya dengan judul, meninggalkan rukun shalat terkait dengan sujud sahwi, silakan dirujuk.

4- Makan dan minum

Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ 4/90 menukil ucapan Ibnul Mundzir, “Para ulama sepakat melarang makan dan minum, jika seseorang makan atau minum dalam shalat fardhu dengan sengaja maka dia wajib mengulang, jika lupa maka Atha` bin Abu Rabah, -salah seorang tabiin- berkata, shalatnya tidak batal dan ini pendapatku (Ibnul Mundzir), al-Auza’i –salah seorang tabiin- berkata, batal. Adapun shalat sunnah maka diriwayatkan dari Abdullah bin az-Zubair -salah seorang sahabat- dan Said bin Jubair –salah seorang tabiin- bahwa keduanya minum dalam shalat sunnah. Thawus –salah seorang tabiin- berkata, tidak mengapa. Bagiku (Ibnul Mundzir) hal itu tidak boleh, ada kemungkinan mereka yang melakukan, melakukan karena lupa.”

Imam an-Nawawi menyebutkan beberapa cabang dari masalah ini, dia berkata, “Jika di antara giginya ada sesuatu lalu dia menelannya dengan sengaja maka shalatnya batal. Jika air mulut masuk membawa sisa makanan atau dahak turun tanpa bisa ditahan maka shalatnya tidak batal. Jika meletakkan gula atau semacamnya di mulutnya lalu ia mencair dan turun ke perutnya, maka ia batal menurut pendapat yang shahih karena ia menafikan shalat.” Wallahu a’lam.

5- Menambah Perbuatan

Yakni di dalam shalat, ada dua kemungkinan: Pertama, perbuatan yang termasuk perbuatan shalat, misalnya ruku’ atau sujud, misalnya dalam satu rakaat ruku’ dua kali, jika hal ini disengaja maka ia membatalkan, jika karena lupa maka tidak membatalkan karena Nabi saw pernah shalat lima rakaat sebagaimana dalam hadits Ibnu Mas’ud yang telah hadir dalam sujud sahwi.

Kedua, perbuatan yang tidak termasuk perbuatan shalat, jika ia sedikit maka tidak membatalkan dan jika ia banyak maka membatalkan, apa patokan sedikit dan banyak? Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ 4/93 berkata, “Pendapat yang shahih dan ia merupakan pendapat Jumhur ulama adalah bahwa masalah ini kembali kepada kebiasaan, apa yang dianggap oleh kaum muslimin sedikit maka ia sedikit dan tidak mempengaruhi shalat seperti isyarat untuk menjawab salam, melepas sandal, mengambil atau melepaskan surban, menggendong anak dan meletakkannya, menahan orang lewat dan yang semisalnya. Bahwa apa yang dianggap oleh kaum muslimin banyak maka ia banyak dan membatalkan seperti langkah yang banyak dan berturut-turut, perbuatan yang berulang-ulang dan berturut-turut. Kawan-kawan kami sepakat bahwa perbuatan yang banyak hanya membatalkan jika dilakukan berturt-turut.” Wallahu a’lam.
(Izzudin Karimi)