Dasar Kesepuluh : Kewajiban Cemburu Terhadap Wanita yang Beriman

Al Ghairah (cemburu) adalah pagar yang dapat melindungi hijab, dan menjadi benteng dari tindakan tabarruj, sufur (membuka muka) hijab dan ikhtilat (bercampur dengan lawan jenis). Al Ghairah (cemburu) adalah sebuah kekuatan jiwa yang dikaruniakan Allah subhanahu wata’ala kepada seorang hamba, sehingga dapat melindungi para muhrim, kehormatan dan kesucian dari gangguan orang-orang jahat dan licik. Di dalam Islam, Ghairah adalah akhlak yang terpuji dan suatu jihad yang disyariatkan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

إن الله يغار، وإن المؤمن يغار، وإن غَيْرَةَ اللهِ أن يأتي المؤمنُ ما حرم الله عليه

“Sesungguhnya Allah cemburu dan orang mukmin pun cemburu. Kecemburuan Allah adalah ketika seorang mukmin melakukan perbuatan yang dilarang Allah subhanahu wata’ala kepadanya”. (Muttafaq ‘Alaih).

Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

مَنْ قُتل دُوْنَ أَهْلِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ

“Barangsiapa yang mati dalam membela keluarganya maka ia mati sahid”.

Dan dalam lafadz lain disebutkan:

مَنْ مَاتَ دُوْنَ عِرْضِهِ فَهُوَشَهِيْدٌ

“Barangsiapa mati dalam membela kehormatannya, maka ia mati sahid”.

Hijab merupakan faktor terpenting untuk membangkitkan rasa ghairah terhadap para muhrimnya bila mereka dilecehkan atau dinodai, dan sebagai motifator yang signifikan dalam melestarikan warisan akhlak yang luhur pada keluarga dan anak perempuan. Yaitu kecemburuan kaum perempuan terhadap kehormatan dan harga dirinya, rasa kecemburuan para wali yang bertanggungjawab terhadap mereka dan kececmburuan kaum mukminin terhadap muhrim mereka bila hal yang haram dilanggar, atau ternodai dengan mencoreng kehormatan dan kesuciannya, meski hanya karena pandangan laki-laki lain yang bukan muhrimnya terhadapnya.

Lawan kata Ghairah adalah Diyatsah. Dan yang disebut “Dayyuts” (mucikari, germo) yaitu orang yang membiarkan kejelekan atau kehinaan yang terjadi pada keluarganya, tanpa rasa cemburu terhadap mereka.

Oleh karena itu syariat telah mengantisipasi faktor-faktor yang mengantarkan pada pelanggaran terhadap hijab dan sikap diyatsah (lawan cemburu). Berikut ini penjelasan yang sangat berharga dari Syeikh Ahmad Syakir rahimahullah, dengan mengutip hadis marfu’ riwayat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:

ما من امرأة تطيبت للمسجد فيقبل الله لها صلاة حتى تغتسل منه اغتسالها من الجنابة

“Seorang wanita bila berhias untuk pergi ke mesjid maka tidak akan Allah menerima salatnya sebelum ia bersuci dengan mandi besar seperti mandi jinabah”. (HR. Ahmad).

Beliau menjelaskan dalam tahqiq musnadnya (15/108-109): “Perhatikanlah wahai kaum muslimin dan muslimat, bagaimana Rasulullah bersikap keras dalam menangani masalah wanita yang memakai wewangian karena hendak pergi ke mesjid untuk beribadah kepada Tuhannya, bahwa salatnya tidak akan diterima kecuali jika wanita itu membersihkan wangi-wangiannya itu dengan mandi besar seperti mandi jinabah, sehingga hilang bekasnya.

Perhatikan, dan bandingkanlah dengan para wanita zaman ini yang tidak sopan, seronok dan binal, padahal mereka mengakui beragama Islam secara licik dan dusta. Mereka didukung oleh kaum pria jahat yang berlaku zalim kepada Allah, Rasul dan ketetapan-ketetapan Islam yang pasti. Mereka sama-sama menyatakan, bahwa wanita dibolehkan menanggalkan hijab, keluar rumah dengan busana mini lagi tak senonoh, bercampur dan berdesak-desakan dengan laki-laki di pasar-pasar dan tempat-tempat hiburan dan maksiat. Semuanya dengan berani mengatakan, bahwa Islam tidak melarang wanita melakukan perjalanan ekspedisi-ekspedisi ilmiah, dan membolehkan mereka menempati jabatan-jabatan politik.

Lebih dari itu, perhatikan penampilan para wanita jalang itu di pasar-pasar dan di jalan-jalan, mereka tidak segan-segan menampakkan aurat yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya untuk menutupnya; para wanita itu bersolek dan menampakkan muka, memamerkan bagian-bagian tubuh sensitifnya seperti, susu, dada, punggung dan rambut ketiak dengan pakaian yang seksi serta menampilkan kecantikannya seoptimal mungkin. Bahkan, kemungkaran semacam ini juga terjadi pada siang hari dalam bulan Ramadan, mereka tanpa merasa malu dan para walinya pun tidak mempedulikannya dan telah hilang rasa malunya, bahkan bagaikan mucikari. Maka jelaskanlah: Apakah mereka —laki-laki dan perempuan—masih mengaku dirinya muslim.

Di sini perlu saya jelaskan bahwa jika Anda ingin mengetahui keutamaan hijab dan menutup wajah dari pandangan laki-laki yang bukan muhrimnya, maka lihatlah keadaan wanita-wanita yang mengenakan hijab. Mereka diliputi rasa malu, menghindarkan diri dari suasana campur baur dengan laki-laki di pasar-pasar, menjaga diri agar tidak terperosok pada perbuatan yang hina atau terlibat oleh pandangan mata si hidung belang. Lihatlah juga keadaan para wali mereka, kemuliaan dan harga diri seperti apakah yang dimiliki untuk menjaga agar tidak terpuruk ke dalam hal-hal yang diharamkan? Bandingkanlah keadaan itu dengan keadaan wanita-wanita yang tidak mengenakan hijab dan tabarruj di tempat umum. Pada gilirannya kemuliaan yang dimiliki para wanita itu runtuh seiring dengan tindak menanggalkan hijab. Bisa kita lihat, seorang wanita yang tidak mengenakan hijab bercakap-cakap dengan laki-laki jalang yang bukan muhrimnya seperti layaknya suami istri, seperti halnya yang ditegaskan Abu Hurairah: “Apabila keadaan yang demikian itu dilihat oleh suaminya yang dayuts (tidak memiliki rasa cemburu), maka dia tidak akan bergeming sedikit pun karena perasaan cemburunya telah mati. Kita berlindung kepada Allah subhanahu wata’ala dari matinya rasa cemburu dan keburukan perubahan nasib.

Kini tipe suami yang mempunyai rasa cemburu telah langka. Dahulu laki-laki kaum badui memiliki rasa cemburu yang begitu besar, jika melihat laki-laki lain yang memandangi istrinya, langsung saja mentalak istrinya dikarenakan rasa cemburu yang menggelora. Maka ketika tindakannya itu dicemooh, ia melantumkan bait-bait syairnya:

Aku tinggalkan cintanya tanpa rasa benci,
Karena banyak orang turut mencintainya.
Bila seekor lalat hinggap pada makanan,
Kuangkat tanganku meski diriku menginginkannya
Singa saja menghindari sumber air,
Jika melihat anjing ikut meminum di situ.

Masih adakah sekarang tipe istri yang apabila penutup wajahnya jatuh, diambillah dengan tangannya sementara tangan yang satu lagi menutup wajahnya yang terbuka, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah syair:

Wanita yang jatuh jilbabnya tanpa sengaja,
Ia mengambilnya dan menutupi bagian yang terbuka dengan tangan.

Yang lebih mulia dari itu semua, adalah kisah dua putri sesepuh kaum Madyan yang disebutkan dalam al Qur’an:

فَجَآءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَآءٍ

Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan dengan kemalu-maluan, (QS. 28:25).

Diriwayatkan dengan sanad yang sahih dari Umar, ia berkata: “Wanita itu berjalan dengan kemalu-maluan, menutupi wajah dengan bajunya, dia bukanlah tipe wanita yang berani dan agresif, tidak pula wanita sembarangan yang suka keluar masuk. Hal ini telah disebutkan dalam tafsir Ibnu Katsir (3/384).

Ayat di atas juga menunjukkan betapa tinggi etika yang dimiliki oleh putri sang sesepuh kaum Madyan itu yang menjaga kehormatan, kesucian dan rasa malunya. Ia berkata:

إِنَّ أَبِى يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَاسَقَيْتَ لَنَا

“Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberi balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami” (QS. al-Qashash: 25).

Undangan yang disampaikan wanita itu sangat sopan, yaitu dengan mengatasnamakan undangan ayahnya, agar terhindar dari kecurigaan.